Jakarta (Inside Lombok) – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengusulkan minuman berpemanis dalam kemasan dapat menjadi objek cukai dengan tarif mulai Rp1.500 per liter hingga Rp2.500 per liter, tergantung pada jenisnya.
“Banyak negara yang telah melakukan pengenaan cukai untuk barang yang membahayakan, salah satunya minuman mengandung pemanis,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani mengatakan pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis itu bertujuan untuk mengurangi penderita penyakit diabetes miletus di Indonesia yang semakin tahun terus bertambah dan menyerang penduduk dengan umur mulai 15 tahun.
“Kita semua tahu diabetes salah satu penyakit yang jadi paling tinggi fenomenanya dan tumbuh, terutama seiring kenaikan income masyarakat. Mungkin ini salah satu yang sumbang biaya besar dari BPJS Kesehatan,” katanya.
Sri Mulyani merinci tarif cukai Rp1.500 per liter akan dikenakan untuk teh kemasan yang produksinya mencapai 2.191 juta liter per tahun, sehingga melalui kebijakan itu diharapkan dapat menekan menjadi 2.015 juta liter per tahun dengan potensi penerimaan Rp2,7 triliun.
Selanjutnya, tarif cukai Rp2.500 per liter akan berlaku untuk karbonasi yang produksinya mencapai 747 juta liter per tahun dan jika diterapkan cukai produksinya hanya menjadi 687 juta liter per tahun dengan potensi penerimaan Rp1,7 triliun.
Tak hanya untuk karbonasi, tarif cukai Rp2.500 per liter juga akan diterapkan untuk minuman berpemanis lainnya seperti produk kopi, konsentrat, dan energi yang per tahunnya mencapai 808 juta liter.
“Produk seperti energy drink dan kopi saset yang produksinya 808 juta liter jadi dengan tarif Rp2.500 per liter dan elastisitas 0,8 maka estimasi produksi setelah cukai 743 juta liter dengan potensi penerimaan Rp1,85 triliun,” katanya.
Ia menyatakan jika pengenaan tarif cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan ini disetujui oleh DPR RI maka potensi penerimaan negara secara total bertambah Rp6,25 triliun.
Sri Mulyani mengatakan kebijakan tersebut tidak berlaku untuk produk yang dibuat dan dikemas secara nonpabrik seperti UMKM, madu dan jus sayur tanpa penambahan gula, dan barang untuk diekspor maupun yang rusak serta musnah.
“Untuk subjek cukai ini adalah pabrikan atau produksi dalam negeri dan importir atau produksi luar negeri,” ujarnya.
Pembayaran cukai dilakukan ketika produk dikeluarkan dari pabrik atau pelabuhan secara berkala tiap bulan, sedangkan pengawasan dilaksanakan melalui registrasi pabrikan, pelaporan produksi, pengawasan fisik dan audit.
Di sisi lain, Sri Mulyani menuturkan pihaknya belum dapat menjelaskan terkait dampak dari penerapan cukai minuman pemanis dalam kemasan terhadap inflasi, namun ia memproyeksikan akan lebih besar dibandingkan cukai plastik sebesar 0,045 persen.
Menanggapi hal tersebut, para anggota Komisi XI DPR RI dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta kepada pemerintah untuk membentuk road map secara rinci terhadap perluasan barang kena cukai ini.
“Komisi XI DPR RI meminta pemerintah membuat road map terhadap perluasan barang kena cukai tersebut,” ujar Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto. (Ant)