Mataram (Inside Lombok) – Budaya Bima merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang kaya akan nilai-nilai lokal, tradisi, serta pandangan hidup yang telah diwariskan secara turun-temurun. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, budaya ini tetap memiliki relevansi yang signifikan, terutama dalam konteks sains modern. Salah satu konsep kunci dalam budaya Bima adalah “Ngaha Aina Ngoho”, yang berarti dapat dimaknai dengan “menjaga alam.”
Konsep ini menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan, serta bagaimana menjaga keseimbangan alam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima. Dalam konteks sains modern, Ngaha Aina Ngoho dapat dipahami sebagai pandangan ekosentris, di mana manusia tidak hanya sebagai penguasa alam tetapi bagian dari sistem alam yang lebih besar. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang diakui dalam sains modern, terutama yang berkaitan dengan mitigasi bencana dan pelestarian lingkungan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai lokal seperti Ngaha Aina Ngoho dapat diintegrasikan dengan pengetahuan sains untuk menghasilkan solusi inovatif dalam menghadapi berbagai tantangan lingkungan dan bencana alam di masa depan (Munir, 2018; Haryati, 2024).
Mitigasi Bencana dalam Budaya Bima dan Sains Modern
Dalam hal mitigasi bencana, budaya Bima menawarkan pendekatan yang sangat berharga. Pengetahuan lokal tentang tanda-tanda alam dan perilaku seismik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi memainkan peran penting dalam mengantisipasi bencana, khususnya gempa bumi. Hariyanto et al. (2021) dalam penelitiannya menyoroti bahwa masyarakat Bima memiliki kebiasaan untuk memperhatikan perubahan-perubahan kecil di lingkungan mereka, seperti perilaku hewan atau gejala-gejala alam lainnya yang sering dianggap sebagai tanda-tanda awal bencana.
Pengetahuan semacam ini sering kali diabaikan oleh pendekatan sains modern yang lebih mengandalkan alat teknologi dan data statistik. Namun, gabungan antara kearifan lokal dan teknologi modern justru dapat menciptakan strategi mitigasi bencana yang lebih komprehensif. Dalam konteks urbanisasi dan pembangunan perkotaan di wilayah-wilayah rawan gempa seperti Bima, pemanfaatan budaya lokal untuk mengedukasi masyarakat tentang mitigasi bencana dapat menghasilkan ketahanan yang lebih baik di tingkat lokal. Misalnya, dengan mengintegrasikan pendidikan berbasis nilai-nilai “Ngaha Aina Ngoho” ke dalam kurikulum sekolah, anak-anak muda Bima dapat belajar bagaimana membaca tanda-tanda alam sekaligus memahami konsep-konsep ilmiah tentang gempa bumi, tsunami, atau perubahan iklim. Hal ini akan menciptakan masyarakat yang lebih tanggap terhadap bencana dan mampu meminimalisir risiko bencana di masa depan.
Keberlanjutan Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Budaya Bima, melalui konsep “Ngaha Aina Ngoho”, juga sangat erat kaitannya dengan upaya keberlanjutan lingkungan. Masyarakat Bima secara tradisional sangat memperhatikan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Mereka memahami bahwa alam menyediakan sumber daya yang penting untuk kehidupan, tetapi pemanfaatannya harus dilakukan secara bijak agar keberlangsungan ekosistem tetap terjaga. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan konsep keberlanjutan dalam sains modern, di mana pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah eksploitasi yang berlebihan.
Salah satu contoh nyata dari penerapan nilai-nilai “Ngaha Aina Ngoho” dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bima adalah dalam praktik reforestasi dan konservasi lahan. Dalam penelitian Taufiqurrahman dan Suharno (2021), mereka menunjukkan bahwa masyarakat Bima memiliki tradisi untuk melakukan penanaman kembali hutan yang rusak sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap alam. Partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan tidak hanya berfungsi untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam tetapi juga untuk mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir atau tanah longsor yang seringkali disebabkan oleh deforestasi. Dalam konteks sains modern, tradisi seperti ini dapat dioptimalkan melalui program-program reforestasi yang didukung oleh teknologi modern dan pengetahuan ilmiah tentang ekologi. Penggunaan teknologi drone, misalnya, dapat membantu masyarakat dalam memantau kondisi hutan dan menentukan area-area yang membutuhkan intervensi lebih lanjut. Dengan menggabungkan pendekatan tradisional dan teknologi modern, program-program keberlanjutan lingkungan di Bima dapat menjadi lebih efektif dan efisien.
Tantangan Integrasi Nilai Budaya dan Sains Modern
Meskipun terdapat banyak keselarasan antara nilai-nilai budaya Bima dan prinsip-prinsip sains modern, tantangan tetap ada dalam mengintegrasikan kedua pendekatan ini. Salah satu tantangan terbesar adalah perubahan sosial yang disebabkan oleh modernisasi dan urbanisasi. Generasi muda Bima, terutama mereka yang pindah ke kota-kota besar untuk melanjutkan pendidikan, sering kali mengalami kesulitan dalam mempertahankan nilai-nilai budaya mereka. Jusmika (2022) dalam penelitiannya mencatat bahwa mahasiswa Bima yang belajar di luar daerah sering kali mengalami “culture shock”, di mana mereka merasa terasing dari nilai-nilai tradisional yang telah mereka pelajari sejak kecil.
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi sistem pendidikan di Bima untuk menyeimbangkan antara pelestarian nilai-nilai lokal dan pengajaran sains modern. Pendidikan yang berbasis nilai-nilai budaya seperti “Ngaha Aina Ngoho” dapat membantu generasi muda memahami bahwa tradisi dan sains bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi. Misalnya, dengan mengajarkan konsep-konsep ilmiah tentang ekosistem dan perubahan iklim yang dihubungkan dengan nilai-nilai lokal tentang pelestarian alam, generasi muda dapat lebih mudah memahami pentingnya menjaga keseimbangan alam tanpa kehilangan identitas budaya mereka.
Solusi dan Masa Depan Budaya Bima dalam Sains Modern
Solusi jangka panjang untuk mempertahankan relevansi budaya Bima dalam konteks sains modern terletak pada integrasi nilai-nilai lokal ke dalam kebijakan publik dan program-program pendidikan. Pemerintah dan lembaga pendidikan di Bima perlu mengembangkan kurikulum yang menggabungkan nilai-nilai “Ngaha Aina Ngoho” dengan prinsip-prinsip sains modern, terutama dalam hal mitigasi bencana dan keberlanjutan lingkungan. Penelitian Munir (2018) dan Haryati (2024) juga menunjukkan bahwa melalui pendidikan berbasis budaya, masyarakat Bima dapat lebih siap menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, krisis lingkungan, dan peningkatan frekuensi bencana alam.
Selain itu, upaya untuk menghidupkan kembali semboyan “Ngaha Aina Ngoho” sebagai bagian dari gerakan masyarakat untuk menjaga lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi juga menjadi solusi yang potensial. Nurjumiati et al. (2020) menekankan bahwa revitalisasi budaya lokal di tengah krisis ekonomi menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu tetapi juga alat yang efektif untuk menghadapi tantangan masa depan. Dengan memanfaatkan potensi budaya ini, masyarakat Bima dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, baik secara ekologis maupun sosial.
Budaya Bima, dengan nilai-nilai seperti “Ngaha Aina Ngoho”, tidak hanya relevan dalam konteks lokal tetapi juga memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada sains modern, khususnya dalam hal mitigasi bencana dan keberlanjutan lingkungan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam pendidikan, kebijakan publik, dan program keberlanjutan, masyarakat Bima dapat menghadapi tantangan global dengan lebih baik sambil tetap menjaga identitas budaya. Pada akhirnya, kombinasi antara tradisi lokal dan sains modern akan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh, adaptif, dan berkelanjutan di masa depan.
Artikel ini ditulis oleh Fitria Sarnita, mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha.