Mataram (Inside Lombok) – Kemampuan anak untuk membaca, menulis, dan berhitung atau calistung sampai saat ini masih menjadi tuntutan sebagian orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke taman kanak-kanak (TK). Padahal, mengikuti Kurikulum Merdeka yang diterapkan secara nasional, calistung tidak termasuk dalam kurikulum nasional untuk pendidikan anak usia dini.
Kurikulum Merdeka yang diterapkan pada PAUD/TK menekankan pada pembelajaran yang menyenangkan dan berbasis bermain, bukan pada penguasaan calistung. Hal ini lantaran Kurikulum Merdeka menekankan pada transisi PAUD ke sekolah dasar yang menyenangkan dan tidak membebani anak dengan tuntutan penguasaan calistung.
Di sisi lain, memaksa anak usia dini untuk menguasai calistung dapat berdampak negatif pada perkembangan psikis anak, seperti stres, gangguan emosi, dan penurunan minat belajar. Karena itu, beberapa PAUD/TK di Pulau Lombok mulai mengedepankan metode montessori, pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak untuk mendorong kemandirian, pembelajaran aktif, dan eksplorasi melalui lingkungan yang disiapkan.
Penerapan metode montessori ini salah satunya dapat dilihat di Taman Kurcil TK-KB Islamic Montessori, Jalan Metro Utama Bellpark 2, Kekeri, Gunungsari. Di mana para peserta didik di TK-KB ini diajarkan utamanya soal kemandirian, practical life, praktik riil, dan pemahaman akan lingkungan.
“Kita mengedepankan kemandirian dan bagaimana anak-anak memahami aktivitasnya sehari-hari, seperti pakai baju, gosok gigi, membersihkan tempat makan sendiri. Anak-anak juga diajarkan berhitung dan membaca bukan dalam angan-angan, tapi bagaimana mengenal konsep berhitung dan membaca itu dalam kehidupan sehari-harinya,” ujar Joko Jumadi, pendiri Taman Kurcil.
Menurutnya, orang tua perlu memahami bahwa calistung bukan satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan anak usia dini. Aspek-aspek lain seperti kemandirian, kreativitas, dan kemampuan sosial juga penting untuk dikembangkan.
“Karena itu, kita sangat memperhatikan apa yang menjadi keinginan anak, apa yang menjadi minatnya mereka. Di sini (Taman Kurcil, Red) anak-anak belajar sesuai minatnya. Pusat pembelanjaran pada anak-anak, bukan pada guru,” jelasnya.
Dicontohkan, di Taman Kurcil peserta didik bisa memilih mengikuti pembelajaran yang mana. Selain pembelajaran dalam kelas, ada banyak aktivitas yang bisa dilakukan, seperti berkebun, beternak, dan memahami lingkungan secara terintegritas mulai dari memilah sampah, memprosesnya, dan memelihara maggot daur ulang.
Para orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya di Taman Kurcil pun diakui sempat mempertanyakan metode montessori yang diterapkan. Namun setelah ada sosialisasi dari pihak sekolah, orang tua mulai menerima.
“Kita memberikan pemahaman bahwa calistung itu pada stimulusnya dulu. Awal orang tua memang agak kaget, karena banyak ekspektasi orang tua anaknya TK sudah bisa baca-tulis. Padahal di kurikulum nasional belum boleh, hanya dikenalkan,” jelas Joko. Karena itu, di sekolahnya pembelajaran utamanya untuk memperkuat motorik, sensorik, kemandirian, dan pengembangan karakter anak. “Pengajaran soal antre, hal yang sederhana, itu yang utama. Salam dan doa, tidak diperbolehkan suara keras, tata krama, etiket, itu semua menjadi bagian dari pembelajaran,” lanjutnya.
Munculnya ide membuat TK-KB berbasis metode montessori ini pun diakui Joko dari keresahan melihat perkembangan dunia pendidikan saat ini. Di mana anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah seringkali masih sulit mengendalikan diri. “Hal itu kita khawatirkan karena dari kecil tidak dididik secara terpola. Maka, pondasinya ada saat pembelajaran di TK, sehingga ini sangat penting,” pungkasnya. (r)

