Mataram (Inside Lombok) – Berdasarkan survei yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi NTB, elektabilitas pasangan Zulkieflimansyah – Moh. Suhaili FT (Zul – Uhel) menempati posisi teratas, yaitu sebesar 59,0 persen. Survei dilaksanakan selama empat hari di Kabupaten Lombok Tengah.
Berdasarkan data yang ada, setelah pasangan calon nomor urut 2 Zul-Uhel, disusul pasangan calon nomor urut 3 Iqbal-Dinda sebesar 29,0 persen, dan terakhir pasangan calon nomor urut 1 Rohmi-Firin sebesar 7,0 persen. Direktur Fitra NTB, Ramli Ernanda mengatakan survei elektabilitas ini menjadi temuan FITRA Provinsi NTB di lapangan. “Ini memang betul jadi temuan kami,” ujarnya, Senin (18/11) sore.
Ditegaskan Ramli, survei elektabilitas yang dilakukan untuk mengetahui pola pemilih, sehingga nantinya menjadi dasar memetakan politik uang. “Untuk dimaklumi survei kami lakukan untuk tahu pola pemilih sebagai dasar memetakan potensi kerawanan vote buying atau politik uang. Itu saja,” ungkapnya.
Pada sisa waktu pelaksanaan kampanye kandidat yang makin mendekati hari pemungutan suara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta meningkatkan upaya pengawasan pelanggaran tindak pidana pemilu. Khususnya praktik politik uang atau membeli suara pemilih (vote buying), baik menggunakan barang maupun uang. “Penggunaan fasilitas negara, APBD dan pengerahan ASN untuk kepentingan kandidat tertentu,” katanya.
Berdasarkan hasil Supimda 2024 ini, sekitar 10 persen responden menyatakan akan merubah keputusan politiknya jika diberikan barang atau uang oleh kandidat atau timsesnya. Meskipun angka permintaan (demand) politik uang oleh pemilih tercatat kecil. Namun dengan ketatnya persaingan antar kandidat diprediksi sisi penawaran (supply) akan cukup tinggi. Bentuk beli suara yang paling banyak diprediksi dalam bentuk uang, berikutnya sembako.
Di sisi lain, angka pemilih yang menganggap politik uang atau membeli suara pemilih sebagai praktik wajar tergolong tinggi, yaitu sekitar 33,75 persen. Sementara itu, tingkat kesadaran pemilih untuk melaporkan praktik politik uang atau beli suara oleh kandidat dan timsesnya pada Pilkada serentak 2024 ini sangat rendah (6,25 persen).
Pengawasan politik uang atau vote buying oleh Bawaslu agar difokuskan di wilayah-wilayah dengan profil pemilih paling berisiko. Kelompok paling berisiko sebagai sasaran politik uang adalah pemilih dengan tingkat pendidikan <SD (53,3 persen), kelompok pekerja informal (56,7 persen), ibu rumah tangga (30 persen), dan pemilih dengan tingkat pendapatan <Rp 1 juta (90 persen). (azm)