32.5 C
Mataram
Sabtu, 23 November 2024
BerandaTradisi BudayaKisah Para Penenun Sasak, Siapkan Kain Kafan dengan Menenun Sendiri

Kisah Para Penenun Sasak, Siapkan Kain Kafan dengan Menenun Sendiri

Lombok Barat (Inside Lombok) – Menenun menjadi salah satu sumber pencarian para perempuan penenun Suku Sasak. Di sisi lain, menenun sebagai bagian dari warisan budaya yang dilestarikan para perempuan penenun yang tersebar di desa-desa di Pulau Lombok itu juga punya arti lebih, yaitu untuk mempersiapkan kain kafan untuk pemakaman mereka nanti.

Selain mewarisi harta dan benda, para perempuan penenun Suku Sasak memang dipersiapkan juga untuk mewarisi ilmu menenun secara turun temurun. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang sudah diajari menenun sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.

Dengan penuh cinta, para penenun ini pun mulai menguntai kapas nan lembut menjadi sebuah benang, kemudian ditenun menjadi selembar kain. Kain itulah yang dijahit menjadi sebuah sandang atau pakaian, hingga kain kafan yang telah mereka simpan di rumah-rumah mereka.

“Biasanya dari kapas untuk kita jadikan benang seperti ini, butuh waktu satu minggu,” tutur Papuq Aris, salah seorang penenun yang usianya hampir menginjak 70 tahun saat ditemui di Dusun Gumisa, Desa Giri Tembesi, Gerung, Lombok Barat.

Setelah itu, mereka rata-rata membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menenun benang tersebut menjadi sebuah kain kafan, atau pun produk sandang lainnya. “Iya, rata-rata penenun sudah menyiapkan kain kafannya dengan ditenun sendiri,” ungkapnya.

Papuq Aris pun bercerita sembari mengenang masa kecilnya ketika diajari menenun oleh sang ibu. Dia mengakui, bahwa alat tenun tradisional yang dimilikinya saat ini merupakan warisan turun temurun yang terus dijaganya. “Saya dari SD (diajari menenun), ya namanya juga ibu kita mengerjakan itu (menenun), jadi kita juga ikut menenun,” terangnya seraya tersenyum.

Hasil produksi tenunnya pun tergantung dari seberapa rajin ia meluangkan waktu istirahatnya untuk menenun setiap harinya. Karena untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, dirinya juga kadang ikut berladang dan bertani dengan sang suami. “Sebulan kira-kira bisa kita dapat Rp500 ribu sebulan kalau rajin nenun. Karena nenun-nya kan kita sesuaikan dengan waktu senggang kita saat bertani,” bebernya.

Namun jika tak ada kesibukan bertani, perempuan yang berpakaian mengenakan lambung dan kain tenun, hingga penutup kepala khas Sasak yang merupakan hasil produksinya sendiri itu, mengakui bahwa hari-harinya memang harus diisi dengan menenun. “Ini kan kain, baju, selendang yang saya pakai ini hasil tenunan sendiri,” katanya, seraya menunjukkan pakaiannya.

Dari lokasi yang sama, Ela seorang penenun muda menuturkan bahwa mereka memerlukan waktu paling lama sekitar satu bulan untuk dapat menghasilkan sebuah kain yang bermotif. Karena diakuinya membuat motif itu tidaklah mudah dan harus dilakukan dengan penuh ketelitian. “Kalau ini lumayan lama, ngerjainnya sekitar 2 minggu sampai 1 bulan karena ada motifnya,” terang perempuan 20 tahun ini.

Ela menuturkan, dirinya mulai diajari menenun oleh sang ibu saat dia lulus SMA. Saat ini dia sudah berhasil memproduksi songket tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga mulai dipajang di galeri-galeri songket yang bekerjasama dengannya. “Kalau sebulan itu bisa menghasilkan sekitar dua kain songket,” jelasnya.

Kendati ia saat ini mengaku belum bisa mengolah kapas menjadi benang. Sehingga yang dia kerjakan hanya lah benang-benang yang sudah jadi. Namun, semangatnya untuk terus melestarikan warisan ilmu dari sang ibu, tetap ia jaga. “Hari-harinya saya nenun sejak lulus sekolah, saya juga nyaman menenun,” pungkasnya seraya malu-malu. (yud)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer