Lombok Timur (Inside Lombok) – Berapa desa di Lombok bagian timur atau saat ini dikenal sebagai Kabupaten Lombok Timur (Lotim) pernah dikuasai dan dipimpin oleh penguasa dari Pulau Bali sebelum tahun 1825 sampai 1891. Pengaruh budaya Bali di Lotim pun tidak lepas dari empat kerajaan, yakni Karang Asem Sasak, Mataram, Pagutan, dan Pagesangan.
Meski kepemimpinan dari kerajaan Bali itu telah hilang sejak pecahnya peperangan, di beberapa desa yang sempat menjadi wilayah kekuasaan kerajaan tersebut masih bisa dilihat adat dan budaya peninggalan dari kerajaan Bali. Salah satunya seperti di Desa Aikdewa, Kecamatan Pringgasela, Lotim. Kini, berbagai adat dan budaya pengaruh Bali itu pun seiring berjalannya waktu bertransformasi mengikuti syariat Islam yang telah berkuasa setelah runtuhkan kepemimpinan kerajaan Bali di Lotim.
Sesepuh Desa Aikdewa, Sahirudin menuturkan desa tersebut menjadi saksi dan bahkan menjadi tempat peribadatan dari etnis Bali di zaman dahulu. Hal itu dibuktikan dengan adanya pura di sekitar mata air yang begitu besar. Namun karena sudah berkuasanya Islam dan runtuhnya kerajaan Bali, maka pura-pura itu pun dihancurkan dan tanpa ada jejaknya sampai saat ini.
Kendati, beberapa adat dan budaya yang peninggalan kerajaan Bali masih dilakukan oleh masyarakat Aikdewa pada tahun 1970 sampai 1990-an, antara lain seperti ritual ngalun aiq kokok dan poposan. Bahkan nama Desa Aikdewa pun ditaksir merupakan nama peninggalan dari pengaruh Bali.
“Secara bentuk sejarah tertulis memang sulit kita buktikan karena kita tidak tahu nama Desa Aikdewa pada saat berjaya Bali di Lotim disebut sebagai desa apa, tapi peninggalan ritual adat dan peninggalan lainnya pada saat itu masih dapat kita lihat secara nyata,” ungkapnya, Selasa (13/08/2024).
Seperti misalnya ritual adat poposan yang merupakan berugak atau gazebo setinggi lima meter dengan empat tiang pancang dari kayu dan tanpa menggunakan atap. Poposan itu sendiri dulunya merupakan panggung dari ritual ngaben yang menjadi bagian dari tradisi Bali. “Poposan itu sebenarnya seperti berugak yang tinggi dan digunakan untuk ngaben dulunya, tapi begitu masuknya Islam, adat itu tidak dihilangkan tapi ditransformasikan sesuai syariat Islam,” jelas Sahirudiin.
Seperti cara pendekatan Islam yang dilakukan oleh Wali Songo di Pulau Jawa dengan tetap menggunakan adat dan budaya warga setempat. Begitu pula yang terjadi di Aikdewa, di mana Poposan tetap diadakan namun diganti dengan tradisi sunatan atau khitanan yang dilakukan diatas berugak atau gazebo tersebut. “Begitu masuknya Islam, poposan yang dulunya digunakan untuk ngaben diganti dengan tempat prosesi khitanan anak laki-laki,” terangnya.
Poposan itu sendiri memiliki tujuh anak tangga yang dimaknai sebagai tujuh lapisan langit, kemudian empat tiang pancang sebagai bentuk kejayaan dan kebenaran atau diartikan sebagai empat rasul penerima kitab Allah, tinggi pancang mencapai lima meter diartikan sebagai tiang keselamatan seperti salat lima waktu untuk mengingat sang pencipta. “Semua makna sudah bertransformasi pada syariat Islam, sehingga dengan begitu dengan mudah diterima oleh masyarakat di zaman dahulu,” katanya.
Sunat yang dilakukan di atas poposan sendiri dipercayai dapat membuka aura anak laki-laki dan menguatkan mental sejak dini. Nantinya dipercaya setelah anak itu besar dapat membuat mentalnya tangguh tanpa takut dengan rintangan apapun, termasuk saat mencari rezeki ke luar daerah atau negeri.
Sementara itu, salah seorang warga yang disunat pada poposan yakni Saripudin menuturkan bahwa dirinya dulu disunat pada poposan. Di mana ia diarak terlebih dahulu menggunakan praja diiringi dengan gendang beleq untuk dimandikan terlebih dahulu di sumber mata air.
Setelah itu, barulang ia diarak ke atas poposan dengan dibarengi oleh Mantri Sunat dan orangtua disertai dengan tabuhan gendang beleq. Di mana Saripudin mengaku, itu prosesi Poposan yang terakhir kali dilihatnya di tahun 1960an sampai saat ini tidak pernah ada lagi. “Saya menduga itu merupakan proses Poposan terakhir yang saya ketahui,” pungkasnya.
Adat budaya yang dulunya sempat disakralkan oleh masyarakat dan saat ini mulai kehilangan eksistensinya. Kini melalui Gawe Desa Aikdewa prosesi adat dan budaya leluhur tersebut mulai diangkat kembali dengan tujuan untuk memperkenalkannya pada generasi bahwa dulunya pernah ada di Desa Aikdewa. “Jadi apa yang hilang kita angkat melalui Gawe Desa, dalam artian kita hanya memperkenalkan adat dan budaya kita yang sudah hilang kepada anak cucu selanjutnya,” ucap Marzuki Ketua Panitia Gawe Desa 4 Aikdewa.
Diharapkan dengan gelaran Gawe Desa dapat mengangkat adat budaya yang telah hilang, kata Marzuki kemajuan sebuah daerah adalah daerah yang tak melupakan sejarahnya dan mengingat dari mana mereka berasal. “Besarnya sebuah bangsa adalah yang tak melupakan sejarahnya, begitu pula yang coba kami tanamkan dari gelaran Gawe Desa ini,” pungkasnya. (den)