Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat meniadakan perayaan “Lebaran Topat” sebagai tradisi warga seminggu setelah Idul Fitri, bertepatan dengan 8 Syawal, guna mendukung upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona jenis baru (COVID-19).
Wali Kota Mataram Ahyar Abduh di Mataram, Selasa, mengatakan “Lebaran Topat” (ketupat) merupakan kegiatan yang mengandung nilai agama sekaligus nilai budaya yang tinggi, untuk merawat adat istiadat yang ditinggalkan para leluhur.
Namun, kata dia, tahun ini harus ditiadakan untuk menghindari terjadinya kerumunan massa yang tidak sesuai dengan protokol penanganan COVID-19.
“Semua makam yang dikeramatkan, objek wisata, serta kawasan pantai yang biasa menjadi tujuan wisata saat ‘Lebaran Topat’ kita tutup. Kami juga akan melakukan rekayasa lalu lintas guna mencegah keramaian,” katanya.
Keputusan peniadaan “Lebaran Topat”, kata dia, segera disosialisasikan kepada camat dan lurah untuk diteruskan hingga lingkungan agar masyarakat bisa merayakan “Lebaran Topat” di rumah masing-masing bersama keluarga.
“Karena itu, tim gugus juga akan melakukan pengawasan dengan menempatkan sejumlah aparat dari tim terpadu pada titik-titik yang berpotensi menjadi pusat keramaian saat ‘Lebaran Topat’,” katanya.
Tahun ini merupakan pertama kalinya Pemerintah Kota Mataram tidak menggelar perayaan “Lebaran Topat” yang biasanya dipusatkan di dua makam yang dikeramatkan warga di Pulau Lombok.
Sebanyak dua makam yang menjadi pusat perayaan “Lebaran Topat” di Mataram adalah Makam Bintaro di Kecamatan Ampenan dan Makam Loang Baloq di Kecamatan Sekarbela yang merupakan makam ulama besar yang berhasil menyebarkan agama Islam di Pulau Lombok.
Perayaan “Lebaran Topat” diawali dengan ziarah makam, kemudian dirangkai dengan kegiatan selakaran, zikir, doa, dan “ngurisan” atau cukur rambut bayi, dilanjutkan dengan sejumlah acara adat, salah satunya pemotongan “Topat Agung Kote Mentaram” sebagai tanda dimulainya perayaan itu.
Saat “Lebaran Topat” hampir seluruh garis pantai Kota Mataram sepanjang sembilan kilometer dipenuhi masyarakat.
Kondisi serupa juga terjadi di kabupaten lainnya di Pulau Lombok, baik Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, maupun Lombok Timur. (Ant)