Lombok Barat (Inside Lombok) – Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Lombok Barat (Lobar) selesai membahas dan menghitung kenaikan upah minimum kabupaten (UMK). Untuk wilayah Lobar, besarannya ditetapkan naik Rp23.883 untuk 2022 mendatang.
Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jamsostek Disnaker Lobar, Imron Rosidin menuturkan besaran UMK Lobar untuk tahun ini berkisar Rp 2.184.425. Dengan kenaikan tersebut UMK Lobar tahun depan menjadi Rp 2.208.308.
Dalam penghitungan kenaikan UMK ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Antara lain daya beli masyarakat, ketenagakerjaan maupun laju inflasi. “Jadi naiknya sekitar 1,9 persen atau Rp 23.883,” ungkapnya saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (03/12/2021).
Kenaikan Masih Kecil
Pihaknya mengakui kenaikan UMK Lobar memang tidak signifikan. Karena persentase yang diperoleh dari berbagai penghitungan mentok di angka tersebut. Hal itu pun disebutnya terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
“Rekomendasi sudah kita sampaikan ke provinsi, tinggal kita menunggu SK dari provinsi tentang penetapan UMP itu sendiri,” paparnya.
Kondisi ini, diakuinya tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Di mana daya beli masyarakat terus mengalami penurunan, sehingga perputaran uang pun menjadi terbatas.
Diterangkan, ihaknya akan segera mensosialisasikan kenaikan UMK Lobar tersebut jika besarannya telah mendapat persetujuan Pemprov NTB. Dengan begitu informasi kenaikan UMK dapat merata diterima seluruh perusahaan dan karyawan.
“Kita juga nanti akan bersurat ke perusahan-perusahaan, agar informasi ini bisa tersebar luas. Jangan sampai informasinya hanya kita saja yang tahu,” ujarnya.
Perusahaan Tidak Terapkan UMK
Terkait masih adanya perusahaan yang disinyalir belum menaati aturan pengupahan hingga jaminan perlindungan kesehatan bagi karyawannya, Imron menjelaskan bahwa pemberian upah berdasarkan UMK, itu idealnya hanya diberikan kepada karyawan yang bekerja masih berjalan 0-1 tahun. Ada pun bagi pekerja yang sudah berjalan 13 bulan ke atas, itu akan diberikan pengupahan dengan pola struktur skala upah.
“Di mana itu tergantung dari perjanjian antara serikat pekerja dengan pekerjanya dengan perusahaan. Mereka ada kesepakatan lain lagi, sehingga nanti upah yang ditetapkan berdasarkan pola struktur skala upah itu, nilainya bisa diatas UMK,” jelasnya.
Namun terkait jaminan kesehatan dan lainnya, kata dia, pihaknya sudah beberapa kali berkoordinasi dengan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan. Di mana untuk jaminan kecelakaan dan keselamatan kerja, mulai dijalankan sejak Agustus 2021 ini.
Diakuinya, rata-rata pekerja sudah ditanggung oleh BPJS. Yang dibayarkan menggunakan anggaran Pemda. “Jadi semua honor dan kontrak yang ada di Lombok Barat, sudah terdaftarkan semua di BPJS,” ungkap dia.
Kendati banyak perusahaan yang disebutnya belum memberikan BPJS ketenagakerjaan, alasannya disebabkan kemampuan finansial perusahaan itu sendiri. Terlebih selama pandemi, banyak karyawan yang jam kerjanya harus bergantian dengan pengaturan sif kerja. Sehingga banyak pekerja yang justru merangkap pekerjaan, agar pembayaran gajinya menjadi lebih efektif.
“Sehingga lambat laun, teman-teman pekerja ini kan banyak yang menarik uang BPJS-nya untuk menarik kehidupan,” bebernya. Dari 500 lebih perusahaan di Lobar, pihaknya mengakui bahwa belum sampai 50 persen perusahaan yang sudah patuh terhadap regulasi pengupahan dan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan bagi pekerjanya.
“Kalau upah idealnya memang harus tetap dilaksanakan, karena ketentuan undang-undang. Tapi kalau BPJS mungkin tidak semua bisa memberikan itu, persentasenya paling sekitar 20 persen yang menerapkan itu,” jelasnya.
Sejauh ini, pemberian sanksi kepada perusahaan yang belum menaati aturan tersebut masih bersifat sanksi administrasi. Namun, selama ini, disebutnya belum ada perusahaan di Lombok Barat yang diganjar sanksi. (yud)