Ada maksud dan manfaat mengapa gunung dan hutan itu tak boleh seramai kota, seriuh pesta. Sebelum mendaki 16 Maret ini, ada baiknya kita saling mengingatkan diri.
Berhentilah mengglorifikasi kata-kata basi bahwa semua orang berhak menikmati alam sama seperti ketika orang bilang semua orang berhak menikmati mall dan pusat hiburan. Gunung dan hutan itu mungkin menerima siapa saja saja di hulu, tapi juga bisa menghukum siapa saja di hilir.
Gunung dan hutan adalah penyangga hidup manusia. Bahkan dalam kitab suci disebutkan demikian. Kita menjaganya dengan berinteraksi secara etis dengannya. Jika hutan rusak maka bersiaplah kita berebut air dan makanan. Bersiaplah menghadapi bencana alam.
Ekonomi berbasis konsumsi sudah menunjukkan dampak buruknya. Kata KLHK Provinsi, Pulau Lombok dan Sumbawa telah kehilangan 300 dari 700 dari mata air alaminya. Jika tak sanggup mengurangi kerusakan, sudah saatnya kau tanggalkan kaos my trip my adventure itu. Healing-mu di rumah saja. Ndot-ndot ndak melitik.
Untuk pendaki baik veteran maupun newbie, bayarlah asiknya dan hebatnya petualangan dengan mengurangi dan membayar jejak karbon. Batasi romantisme konsumtif-mu terhadap alam dan pemandangan. Untuk pemerintah, tolong regulasi pariwisata massal eksploitasi alam ini dengan baik. Untuk kita semua, selalu take nothing but pictures, leave nothing but footprints, kill nothing but time.
Ada pelajaran berharga dari para pendaki veteran. Dulu, senior-seniorku di Mapala FKIP Unram memanggul semen, besi, drum bekas, dan peralatan lainnya untuk membuat bak sampah darurat di puncak Rinjani. Lalu generasiku setiap tahun melanjutkannya dengan berusaha membersihkan sebanyak mungkin sampah di sepanjang jalur dalam pendakian; tak sekadar naik gunung. Ada persiapan dan pelajarannya. Cara packing yang baik, manajemen ekspedisi, pertolongan pertama pada kecelakaan, dan tentu saja etika pendakian di mana mengelola sampah adalah bahasan besar.
Jadi ketika melihat postingan sampah Rinjani, ada rasa tak mengenakkan ketika begitu ringannya mulut-mulut itu berkomentar: “Katanya Pencinta Alam, tapi sampahnya bergelimpangan.”
Begitulah komentar banyak pihak yang mungkin belum pernah naik gunung. Mereka menganggap sampah di Rinjani ditinggalkan oleh mahasiswa, siswa, atau kelompok Pencinta Alam sebagai pihak yang mereka tahu paling gemar naik gunung. Bahkan sampai sering lupa turun.
Izinkan saya sedikit meluruskan. Saat ini, para Pencinta Alam itu adalah minoritas di gunung. Mayoritas yang kalian lihat mengantri adalah turis gunung, pemburu memori, dan pendaki sosial yang naik gunung untuk menunjukkan betapa besar dan hebat dirinya di media sosial. Sebelum berangkat naik, saya tak yakin mereka punya target apa-apa tentang sampah. Gunung adalah pasar konsumerisme romantisnya. Yang mengira nanti sampahnya akan disapu petugas pasar. Jadi siapa yang punya sampah? Silahkan mengambil kesimpulan sendiri.
Maka ada baiknya menunjukkan identitas ketika mendaki. Jika ada yang kalian lihat meninggalkan sampahnya, mohon ditegur. Lihatlah slayer, emblem, atau benderanya agar gampang ditandai dan dilaporkan. Agar dapat diberikan pelajaran oleh TNGR atau dijadikan duta Zero Waste oleh Pak Gub, atau kalau mereka anak organisasi Pencinta Alam, agar dididik ulang, dihukum oleh seniornya yang dulu capek-capek memanggul drum sampah ke puncak.
Ada baiknya gunung itu tidak seramai kota. Harus dibatasi dengan bijak untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan ekosistemnya. Begitu ramainya gunung sekarang, tidak hanya dipanjati dan didaki tebing dan track-nya, tapi juga dipenuhi pemanjat media sosial.
Ini bukan berarti pendaki sekarang dengan petualangan dan medsos-nya adalah pendaki kampungan. Saya ingin menekankan satu hal agar kita tidak terjebak ego generasi, atau ego identitas. Di setiap generasi ada pendaki baik, ada yang buruk. Nilai-nilai yang dipegang beda, tantangannya berbeda, cara menghabiskan waktu juga berbeda, dorongan sosial untuk naik gunung juga berbeda. Ada yang naik karena gunung memberinya penghidupan, ada yang karena ingin menikmatinya dengan bijak, ada yang hanya menjadi turis gunung.
Untuk yang tidak menyukai istilah ‘turis gunung’, saya terangkan sedikit maksud saya. Memang banyak turis yang baik dan bisa mengelola sampahnya. Tapi saya memakai istilah itu untuk memanggil mereka yang ke gunung dengan mindset dilayani bak turis yang sudah membayar semua jasa. Kelompok ini masih ada. Karena turis adalah analogi saya untuk mereka yang menganggap gunung semacam punya petugas cleaning service yang bersihkan sampah layaknya di kamar hotel. Bahkan jika pun ada porter yang melayani perjalanan, apakah untuk sampah juga harus dibebankan pada mereka?
Ada maksud mengapa gunung dan hutan tidak boleh seramai kota. Hanya yang punya otak saja yang bisa turun tanpa memanggul dosa. Dan ini tak ada hubungannya dengan generasi atau label organisasi. Generasi pendaki tua tidak selalu lebih bijak, pendaki muda tidak berarti lebih hebat. Menjadi bagian dari organisasi tidak berarti menjalankan nilainya. Pertanyaan yang selalu menjadi ukuran adalah apakah kita membawa kebaikan bagi ekosistem gunung? Di situlah perenungannya.
Ada maksud mengapa gunung dan hutan itu tidak boleh saramai kota. Sehat terus gunung Indonesia. Sehat terus para pendaki. Salam lestari dari Rinjani.
Ahmad Junaidi, penggagas dan pegiat Jage Kastare Foundation. Mengajar di FKIP Universitas Mataram. Pembina Mapala FKIP Unram.