Mataram (Inside Lombok) – Setiap Lebaran Idulfitri akan tersaji berbagai kue kering hingga jajanan khas dari masing-masing daerah, termasuk di Lombok. Sayangnya, beberapa jajanan justru ada yang hampir hilang atau punah lantaran tidak banyak yang tertarik lagi belajar membuatnya.
Salah satunya seperti jaje tujak, jajanan yang terbuat dari ketan yang biasa dihidangkan bersama tape ini menjadi jajan yang pasti ada setiap kali lebaran di masyarakat Lombok. Namun jajanan ini mulai jarang diproduksi, seiring dengan perkembangan zaman sehingga proses pembuatannya tidak banyak diketahui generasi muda.
“Kalau waktu kita kecil dulu itu hampir semua keluarga buat jajan ini. Sekarang mungkin kalah sama jajan yang tinggal dibeli,” ungkap Marinun, salah satu warga Dusun Langko Timuq Desa Langko, Lingsar Lombok Barat, Rabu (4/5).
Jaje tujak masih dibuatnya lantaran sudah menjadi kebiasaan dan sulit dihilangkan di keluarganya. Bukan soal rasa, melainkan seperti sudah menjadi kebiasaan keluarga turun temurun. Pasalnya, jaje tujak menjadi hidangan yang biasa tersaji karena sudah menjadi ciri khas dari masyarakat Lombok.
“Harapannya jajanan tradisional seperti jaje tujak bisa dilestarikan buat masyarakat Lombok. Saya tidak tahu juga sampai kapan jaje tujak ini masih dibuat oleh warga. Kalau anak-anak sekarang mana mau diajak buat jajanan begini,” tuturnya.
Senada, Rahimin mengatakan untuk di wilayah Lombok Barat jaje tujak biasanya di produksi tiga hari menjelang Idulfitri. Panganan ini biasa dibuat dari ketan hitam maupun ketan putih, di mana proses pembuatannya memang membutuhkan waktu lama.
Hal tersebut yang memungkinkan tidak banyak lagi orang yang belajar membuatnya. Padahal pangan tradisional ini cukup banyak digemari, karena memiliki cita rasa yang berbeda dari jajanan tradisional lainnya.
“Proses pembuatannya, dikukus dulu sampai matang ketannya, baru di campur kelapa parut dan di tumbuk sampai lengket atau menyatu antara ketan dan parutan kelapanya,” jelasnya.
Setelah tercampur rata, kemudian dibentuk bulat maupun kotak dan disimpan di tempat yang sejuk agar tidak mudah mengeras. Atau biasanya dibungkus dengan daun pisang. Setalah jadi, jaje tujak siap dihidangkan dengan tape setelah dipotong dadu berukuran sekitar 3 centimeter.
“Kata tujak itu (artinya) ditumbuk, jaje ya jajan. Jadi kalau jaje tujak itu proses pembuataanya ditumbuk dan harus berdua kalau di tujak, ada yang pegang loyangnya ada yang tukang numbuknya,” paparnya.
Nantinya, jika tidak habis dikonsumsi saat lebaran. Jaje tujak akan dipotong memanjang dan berukuran tipis menggunakan alat sederhana yang disebut “pejangke”. Pejangke dibuat menggunakan bambu berukuran panjang 40×5 centimeter.
“Kalau tidak habis, jaje tujaknya dijemur sampai kering. Itu bisa disimpan sampai berbulan-bulan. Setelah kering bisa dibakar atau digoreng, jadi teman minum kopi atau teh,” ungkapnya. (dpi)