Mataram (Inside Lombok) – NTB masuk dalam daftar 10 besar daerah dengan kemiskinan tertinggi se-Indonesia dan berada di urutan kedelapan dengan angka kemiskinan 13,68 persen. Posisi ini lantaran masih kecilnya penurunan angka kemiskinan, kemudian masih banyaknya bantuan-bantuan sosial tidak tepat sasaran, sehingga angka kemiskinan hanya turun tipis.
Untuk mengeluarkan NTB dari daftar 10 besar daerah dengan kemiskinan tertinggi itu, pemerintah daerah perlu bekerja keras. Antara lain mengejar penurunan angka kemiskinan NTB sampai di bawah 10 persen dari posisi saat ini di 13,68 persen.
“Kita harus punya semangat untuk dapat menurunkan kemiskinan sampai di bawah 10 persen. Mengingat optimisme kita kalau benar-benar ya (serius menurunkan sampai dibawah 10 persen, Red),” ungkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BAPPEDA) NTB, H. Iswandi, Selasa (19/7).
Adanya bantuan pusat untuk menurunkan angka kemiskinan daerah, seperti beberapa bantuan sosial yang disalurkan dinilai dapat mengakselerasi upaya tersebut. Kemudian program kabupaten, program provinsi dan program desa dapat mengakomodir sasaran-sasaran yang termasuk dalam kelompok masyarakat miskin.
“Semua harus serius. Semua program dipastikan terlaksana, semua SKPD-SKPD serius untuk memastikan programnya tepat sasaran menyasar kelompok kemiskinan ekstrem yang di sektor pertanian tadi,” tuturnya.
Diakui Iswandi, masih ada data-data bantuan untuk masyarakat miskin tidak tepat sasaran. Bahkan penyalurannya tidak menyasar pada kelompok kemiskinan, terutama kelompok kemiskinan ekstrem. Dimana kelompok kemiskinan ekstrem ini adalah orang miskin yang dibawah miskin.
“Secara nasional itu diakui penyaluran bantuan-bantuan, intervensi yang belum tepat sasaran, nah ini maksudnya terus dilakukan proses validasi dan pemutakhiran (data),” ujarnya.
Untuk itu pemerintah menargetkan pada 2024 mendatang NTB zero kemiskinan ekstrem. Sebelumnya di 2020 kemiskinan ekstrim berada di posisi 5,57 persen hampir 6 persen. Kemudian di 2021 NTB mengalami penurunan 2 persen menjadi 4 persen. Dibandingkan dengan nasional justru naik dari 3,7 persen menjadi 4 persen. Angka 4 persen ini ditargetkan hingga 2024 menjadi 0 persen kemiskinan ekstrim di NTB.
Kemiskinan ekstrim di NTB sendiri berada di sektor pertanian. Untuk itu pemerintah harus mengoptimalkan sektor pertanian guna mempercepat penurunan kemiskinan, oleh karena itu solusinya adalah transformasi dalam sektor pertanian harus ada penambahan skill. Sehingga petani itu multi usaha bertani, beternak dan berdagang.
“Di sini sudah tepat kebijakan kita untuk mengembangkan desa wisata, jadi menggandeng sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa apa saja,” terangnya.
Selain itu menguatkan kebijakan-kebijakan yang sudah diambil dan implementasikan di provinsi NTB akan dapat menyasar kepada kelompok miskin, yang memang paling prioritas ini adalah kemiskinan ekstrim di sektor pertanian.
Di sisi lain adanya data-data bantuan yang memang tidak tepat sasaran, itulah maksudnya perlu ada akselerasi. Apalagi ini banyak sektor, nanti sektor-sektor di luar pertanian itu juga harus dapat memperhatikan dalam memberikan bantuan. Jadi ketika mau memberi bantuan pastikan yang menerima bantuan itu adalah termasuk golongan dalam data DTKS, kemudian ada upaya untuk menggalang dari semua sektor untuk turut mengintervensi penanggulangan kemiskinan ini berbasis pada data DTKS
“Jadi apakah masyarakat sudah masuk di DTKS atau belum? Maksudnya sudah masuk yang sudah dimutakhirkan apa tidak, jadi nanti dinas-dinas ini cek and ricek data yang digunakan di dalam melakukan proses intervensi atau penyaluran bantuan,” paparnya.
Terpisah, pengamat ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mataram (UNRAM) Iwan Harsono mengatakan, mengikuti arahan Presiden Joko Widodo, Pemprov NTB juga menargetkan 2024 zero (nol) kemiskinan ekstrim. Di mana orang miskin 55 persen dari sektor pertanian. Di NTB kemiskinan ekstrimnya 5,57 persen hampir 6 persen 2020 karena ada Covid-19. Tetapi NTB berhasil menurunkan di 2021 kemiskinan ekstrim itu jadi 4 persen. Sementara nasional meningkat dari 3,7 persen menjadi 4 persen.
“Jadi ada celah kita optimis, kita setahun kemarin bisa menurunkan hampir 2 persen. Kemiskinan ekstrim ini lebih banyak di pedesaan sektor pertanian,” ujarnya.
Menurutnya yang harus dilakukan agar kemiskinan ekstrem di NTB bisa mencapai targetnya menjadi nol adalah perbaikan kinerja sektor pertanian, artinya porsi pendapatan pada PDRB itu harus banyak di sektor pertanian. Harus ada peningkatan upaya-upaya serius untuk peningkatan pendapatan sektor pertanian dengan cara industrialisasi yang dilakukan oleh Gubernur NTB selama ini.
“Kemiskinan ekstrim adalah orang memang yang paling miskin dari yang miskin. Kalau kemiskinan biasa diukur di NTB ini biasanya dengan standar BPS yang 2,25 dollar PPP (purchasing power parities),” tuturnya.
Dijelaskan 2,25 dolar Purchasing power parities (PPP) itu bukan dikonversikan dengan langsung kali Rp14.000. Tetapi 2,25 dollar setara dengan Rp11.000 per hari. Sementara jumlah kemiskinan yang biasa dengan batas garis kemiskinan yang 2 dolar tadi jumlahnya adalah 730.000 orang di NTB yang kemiskinan ekstrem itu 254.000 orang.
“Target kita 2024 itu adalah bagaimana membuat yang miskin ekstrim itu tidak ada, artinya yang miskin ini naik pangkat lah mau mendekati hampir miskin,” paparnya.
Dimana diartikan ada kedalaman dan keparahan kemiskinan tidak terlalu dalam. Jika batas garis kemiskinan itu Rp470.000 dan yang ekstrem ini dia uangnya kurang dari Rp300.000. Tapi berbeda di tiap kabupaten/kota, contoh di Dompu itu Rp370.000 dan di kota Mataram Rp490.000 karena di kota Mataram beberapa barang mahal. Untuk bisa mencapai target tersebut salah satunya bantuan itu harus tetap sasaran. Tetapi masih saja tidak tepat sasaran.
“Contoh di lapangan saja ada orang yang tidak tercatat sebagai miskin tetapi dia ada terima (bantuan, red). Kemudian bantuan untuk orang miskin dibagi rata di kampung itu banyak, saya pengalamannya. Anggaran banyak kalau bagi rata nggak turun-turun (kemiskinan, red),” tandasnya. (dpi)