Lombok Tengah (Inside Lombok) – Kasus penipuan/penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan CW (40) dan LB (49) akan dilimpahkan ke pengadilan paling lambat minggu depan. Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, Herlambamg Surya Arfa’i mengatakan pihaknya telah mengajukan perpanjangan penahanan kepada pengadilan sampai dengan 18 Agustus 2022 karena ada perbaikan surat dakwaan.
“Karena banyak yang harus kita inventarisir, tuduhan kita memang harus betul-betul matang terkait seluruh barang bukti dan alat bukti yang harus kita masukkan ke dalam berkas yang ada,” katanya saat ditemui di kantornya, Rabu, (20/7/2022).
Dikatakan Arfa’i, pihaknya tidak ingin tergesa-gesa dan masih mempelajari lebih dalam kasus tersebut untuk mematangkan dakwaan. Sehingga pihaknya lebih siap untuk melakukan pembuktian dalam perkara tersebut.
“Insyaallah kalau tidak minggu ini, paling tidak di awal minggu depan kita sudah limpahkan,” ujarnya.
Terkait barang bukti pihaknya juga akan lebih meneliti sehingga menjadi antisipasi jika ada sangkut pautnya terhadap hak orang lain. “Kita lebih teliti, jangan sampai ada sangkut pautnya dengan hak orang lain yang terselip,” tandasnya.
Sebelumnya CW (40) dan LB (49) diketahui melakukan penipuan jual-beli tanah milik orang lain seluas 1.698,56 are seharga Rp16,985 miliar. Terhadap kasus penipuan jual-beli tanah yang dilakukan oleh kedua tersangka, disangkakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan atau Pasal 372 tentang penggelapan, dan sangkaan Kedua Pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun, juncto pasal 55 dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Kasus bermula ketika pada periode Mei 2019 sampai dengan Maret 2021 kedua tersangka secara bersama-sama menawarkan lahan seluas kurang lebih 1.698,56 Are yang terdiri dari 32 bidang dalam satu hamparan yang disebut main area. Tanah itu sebelumnya dinyatakan sebagai milik tersangka LB yang terletak di Desa Kateng, Praya Barat, Lombok Tengah.
Kepada korban sekaligus saksi, keduanya menjual tanah tersebut dengan harga Rp10 juta per are atau senilai keseluruhan Rp16,985 miliar lebih. Oleh tersangka CW menyanggupi syarat tersebut dengan mengalihkan nama sertifikat seluruh bidang tanah yang dimaksud menjadi atas nama saksi korban, dengan syarat saksi korban membayar 70 persen dari seluruh nilai jual lahan tanah tersebut. Namun, dalam perjanjiannya tersangka tidak mengalihkan nama sertifikat kepada nama saksi korban selambat-lambatnya 10 Desember 2019, maka uang jaminan yang diserahkan oleh saksi korban kepada CW harus dikembalikan utuh.
Setelah uang jaminan sebesar Rp11,889 miliar lebih atau 70 persen dari nilai jual diserahkan, lanjut Artanto, saksi korban melalui transfer rekening kepada tersangka CW pada 25 November 2019. Sejak 27 November 2019 hingga 20 Maret 2020 telah habis ditarik tunai ataupun transfer ke beberapa rekening oleh tersangka CW.
Uang tersebut, oleh tersangka CW habis untuk membayar hutang, membeli tanah, transfer ke rekening tersangka LB dan LB menarik tunai dan mentransfer kembali ke rekening lain, sehingga uang senilai 70 persen tersebut tidak disimpan sebagai jaminan oleh tersangka melainkan digunakan untuk keperluan tersangka.
Setelah diselidiki, ternyata hanya seluas 269,50 are saja luas tanah yang bisa dialihkan nama pemilik dalam sertifikatnya menjadi nama saksi korban, selebihnya tidak ada. Karena 27 bidang lainnya yang semula dikatakan milik tersangka LB, ternyata milik para warga desa setempat. (fhr)