Lombok Tengah (Inside Lombok) – Ombudsman RI Perwakilan NTB telah melakukan serangkaian investigasi terhadap pelayanan RSUD Praya. Terutama setelah muncul dugaan maladministrasi terkait meninggalnya pasien atas nama Lailan Mahsyar Zainudin yang baru berusia 4 bulan, yang ditolak pihak rumah sakit dengan alasan tempat tidur di IGD sudah penuh.
Kepala Keasistenan Pemeriksa Ombudsman RI Perwakilan NTB, Arya Wiguna menyampaikan hasil investigasi yang dilakukan pihaknya mencatat bahwa pelayanan RSUD Praya tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam kasus meninggalnya bayi Lailan Mahsyar.
“Yang menjadi catatan kita adalah pasien ini (bayi meninggal) tidak ada catatan rekam medis di rumah sakit yang berkaitan dengan penanganannya. Kalau kita mengacu pada Permenkes itu setiap pasien yang masuk wajib dibuatkan rekam medis. Sehingga ada riwayatnya seperti apa penanganannya,” jelasnya usai bertemu Wakil Bupati (Wabup) Loteng, H. M. Nursiah, Rabu (26/10/2022). Catatan dari investigasi itu pun telah disampaikan kepada Pemda Lombok Tengah dalam hal ini Wabup Loteng sebagai bahan evaluasi pelayanan di rumah sakit plat merah tersebut.
Diterangkan, bayi yang meninggal tersebut juga tidak ada ringkasan atau keterangan terkait dengan kepulangannya, serta alasan kenapa dia dibawa berobat ke rumah sakit lain. Semestinya rekam medis wajib dibuat oleh pihak rumah sakit jika memang telah ada penanganan sebelumnya. Sehingga dalam peristiwa ini menjadi terang dan jelas seperti apa riwayat tindakan yang dilakukan terhadap pasien.
Arya juga menyebut, mekanisme menyarankan keluarga pasien untuk mencari rumah sakit lain saat berobat seperti yang terjadi dalam kasus Lailan tidak ada di dalam aturan pelayanan kegawatdaruratan maupun mekanisme rujukan yang diatur di dalam Permenkes. “Dalam kasus bayi meninggal ini, dia disarankan ke Rumah Sakit Cahaya Medika (RSCM) oleh pihak RSUD Praya dengan alasan IGD penuh dan tidak ada oksigen,” ungkapnya.
Padahal, dalam aturan yang ada hanya ada dua pilihan, yakni rumah sakit harus langsung melakukan pelayanan dengan mencari tempat yang memiliki fasilitas yang dibutuhkan seperti oksigen. Kalaupun tidak, RSUD Praya bisa melakukan rujukan ke rumah sakit yang tipenya lebih tinggi dari RSUD Praya atau rumah sakit yang tipenya sama.
“Hanya itu pilihannya. Tidak ada menyarankan dirujuk. Dalam kasus ini kan yang dibutuhkan oksigen. Sehingga di rumah sakit ini dicari apakah yang punya oksigen itu di mobil ambulans gawat darurat atau di tempat lain,” katanya.
Di sisi lain, RSUD Praya sendiri diakui memiliki SOP untuk menyarankan pasien mencari rumah sakit lain apabila tempat tidur mereka penuh. Namun, SOP yang diatur sendiri oleh pihak rumah sakit itu pun ditegaskan Arya bermasalah.
“Artinya SOP-nya (yang dibuat RSUD Praya) ini juga tidak sesuai dengan Permenkes, terkait dengan sistem rujukan maupun pelayanan kedaruratan,” tambahnya. Dikatakan, RSUD Praya ini menjadi rumah sakit rujukan. Namun sering mengalami overload, sehingga kelengkapan sarana dan prasarana perlu diperhatikan lagi.
Sementara itu, disinggung mengenai keberadaan CCTV RSUD Praya saat kejadian penolakan pelayanan bayi Lailan, dia menuturkan bahwa pihak rumah sakit menyebut kalau CCTV tersebut sudah lama tidak beroperasi. “Informasinya CCTV tidak berfungsi. Kami sudah tanyakan katanya CCTV tidak berfungsi,” tandas Arya. (fhr)