Mataram (Inside Lombok) – Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, menjelaskan sejumlah indikator yang dapat menjadi celah aparat penegak hukum dalam membongkar kasus pencucian uang.
“Ada pola-pola profil orangnya. Kalau Warga Negara Indonesia kan gaji rupiah, kalau ada hasil dollar atau euro kan itu tidak lazim, ada yang menyimpang,” kata Muhammad Yusuf yang ditemui Antara usai memberikan pelatihan “In House Training” Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Penyelamatan Aset di Polda NTB, Kamis.
Indikator lainnya, kata dia, dapat dilihat dari gaji seorang pegawai negeri dalam satu bulan. Bila transaksinya di luar standar gajinya, hal tersebut harus menjadi pertanyaan penyidik.
“Kalau itu tidak ada penjelasan, maka itu tidak wajar,” ujar Muhammad Yusuf yang saat ini duduk dalam jabatan Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.
“Setor ke bank pakai rekening orang lain yang disuruh dia, kemudian uang dicairkan dan disimpan langsung ke brankas, bukan ke rekening, itu juga modus supaya tidak terlacak,” tambahnya.
Penyidik juga dapat melihat dari harta kekayaannya. Jika hartanya melimpah tidak sesuai penghasilan, maka hal tersebut dapat diindikasikan sebagai pintu masuk modus pencucian uang.
Kemudian bagaimana cara untuk menelusuri hal tersebut, jelasnya, penyidik bisa langsung meminta bantuan PPATK untuk melakukan analisa.
“Iya seperti apa saja yang dia punya, misal bisa ditelusuri dari sertifikat rumah yang tidak atas nama dia, beli mobil terus BPKB atas nama orang lain,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yusuf mengharapkan, kegiatan pelatihan yang diikuti oleh penyidik jaksa, Polri, dan hakim pengadilan ini dapat membangun komitmen penegakan hukum di NTB, khususnya dalam upaya pengembalian aset negara.
“Bila komitmen sudah terbangun, pastinya para koruptor itu tidak punya modal lagi untuk bangkit, tentu proses pemberantasan dapat dikatakan lebih efektif,” ujarnya. (Ant)