Mataram (Inside Lombok) – Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian dan perkebunan menjadi salah satu penyumbang angka kemiskinan ekstrem di NTB. Ironisnya, jika melihat pertumbuhan ekonomi NTB, sektor pertanian masih menjadi salah satu penyumbang teratas. Sayangnya capaian itu berbanding terbalik dengan kesejahteraan petaninya.
Menurut Anggota Komisi II Perekonomian DPRD NTB, H. Abdul Hadi kondisi ini memang menjadi pekerja rumah buat semua pihak. Pasalnya, posisi petani masih belum berbahagia dengan harga bahan pertanian, hasil jual produksinya, serta sulitnya mendapat pupuk terutama yang bersubsidi.
“Ini menjadi tantangan tersendiri di kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, kebijakan impor hasil petani itu juga akan menyingkirkan kita punya produk, turun harga produk petani,” jelas Abdul, Rabu (21/12).
Dikatakan kebijakan terkait petani memang lebih banyak ada di pemerintah pusat. Dimana pusat memberikan anggaran lebih besar kepada petani. Hanya saja masih belum fokus kepada hal yang dibutuhkan petani, seperti belum fokus mengangkat nilai tukar petani, kebahagiaan petani, sumbangsih petani itu belum nampak.
“Itu yang kita harapkan pemerintah daerah maupun pusat. Itu betul-betul komitmen memperhatikan petani,” ujarnya.
Nilai tukar itu dapat terlihat dari nilai tambah hasil produksi pertanian. Jadi pasca panen, hasil panen dapat dilakukan pengolahan, berikutnya dengan proses industrialisasi menjadi produk yang baru.
“Itu yang kita harapkan dari industri, nilai-nilai itu kemudian yang mengangkat petani kita disini. Tapi ini butuh proses, tidak bisa dalam waktu cepat,” tutur mantan Wakil Ketua DPRD NTB tersebut.
Untuk membawa petani cepat berubah yang perlu dilakukan adalah konsisten. Terutama oleh Pemerintah, khususnya NTB upaya untuk industrialisasi pengolahan daripada petani-petani yang ada. Apalagi didukung dengan adanya anggaran untuk bisa menjalankan industrialisasi tersebut.
“Alhamdulillah (ada anggaran, red) pemerintah cepat untuk menyelesaikan, dan saya rasa dibutuhkan aplikasi ilmu dari para teknisi kita untuk segera menciptakan, atau memproduksi alat-alat yang bisa mengelola hasil tani kita,” terangnya.
Sementara itu, diakuinya memang upaya untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan ekstrem, terutama yang bekerja di sektor petani banyak faktor yang membuatnya sulit bergeser. Apalagi pasca covid ini memang tidak terlalu berpengaruh bagi mereka petani, tetapi hasil pertanian mereka yang berpengaruh.
“Kita lihat kemampuan daya beli masyarakat yang kemudian berdampak pada hasil nilai tukar petani itu rendah. Jangan petani, orang yang beli juga tidak uang buat beli hasil petani itu,” tandasnya. (dpi)