31.5 C
Mataram
Sabtu, 23 November 2024
BerandaBerita UtamaMemilah Masalah Gunung Sampah: Jalan Panjang Pencemaran TPAR Kebon Kongok dan Keresahan...

Memilah Masalah Gunung Sampah: Jalan Panjang Pencemaran TPAR Kebon Kongok dan Keresahan Masyarakat – Bagian I

Mataram (Inside Lombok) – Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gerung, Lombok Barat setiap harinya menampung ratusan ton sampah dari Kota Mataram dan Lombok Barat. Keberadaan TPAR itu pun meresahkan masyarakat di desa sekitar, yang khawatir terhadap dampak pencemarannya.

Pemerintah Kota Mataram sebagai penyumbang jumlah sampah terbanyak di TPAR Kebon Kongok sejak 2008 menjalin kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat untuk bersama-sama mengelola dan membuang sampah di fasilitas tersebut. Kemudian pada 2018 pengelolaan TPAR itu diserahkan kepada Pemerintah Provinsi NTB, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB.

Potret keseharian masyarakat di areal Kebon Kongok (Insidelombok)

Zaini menoleh ke arah timur laut, melihat gundukan sampah TPAR Kebon Kongok yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat. Lahir di desa tersebut, ia dan sekitar 4.100 orang warga lainnya (data desa per 2019) merasakan bagaimana tumbuh di lingkungan yang begitu dekat dengan gunungan sampah itu.

Melihat anak-anak yang tengah bermain pun membuat Zaini terus berpikir; ia mengaku khawatir tentang kesehatan anak-anak itu, yang setiap hari harus menghirup aroma sampah hingga bermain-main di Sungai Babak yang airnya menghitam karena pencemaran dari TPAR Kebon Kongok dan aktivitas masyarakat sekitar.

“Dampak lingkungan itu yang terasa setiap hari. Misalnya, seperti kemarin terjadi ledakan gas di sana (TPAR Kebon Kongok, Red), itu kan dampak asap-nya ke sini, dan kita terganggu pernapasan kita pas beberapa hari itu. Kebakaran juga pernah di sana, dan ada masalah air lindi itu juga,” ujar Zaini.

Menurutnya, dampak TPAR Kebon Kongok bagi kehidupan masyarakat di Desa Taman Ayu adalah persoalan jangka panjang. Seperti anak-anak yang bermain di Sungai Babak yang tercemar, lanjut Zaini, tentu tidak langsung mengalami gatal-gatal atau diare. Namun masalah kesehatan itu bukan berarti tidak akan muncul belakangan dengan kualitas lingkungan hidup masyarakat saat ini.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Lombok Barat yang diperoleh dari Puskesmas Gerung, para periode Januari-Agustus 2022 ini ada 136 orang warga Desa Taman Ayu yang menderita penyakit kulit, dan 36 orang lainnya yang dilaporkan menderita diare.

Diakui Zaini, masalah kesehatan seperti penyakit kulit dan diare itu adalah sedikit dari dampak pencemaran TPAR Kebon Kongok yang dikhawatirkannya. “Anak-anak itu kan seolah-olah tidak ada yang kemudian langsung gatal-gatal, tapi efek-efek yang lain mungkin bisa saja terjadi di belakang hari, karena air limbah yang mengalir itu,” jelasnya.

Situasi Pencemaran

Berdasarkan hasil penelitian Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL) Mataram yang dilakukan Nurhidayah, Azwarudin, dan Sri Nuryanti dan dipublikasikan pada Juni 2021 ditemukan beberapa parameter kandungan air sungai yang melebihi standar baku mutu yang diatur dalam Permenkes RI No. 32 tahun 2017. Penelitian itu mengambil tempat di tiga titik sungai setelah Bendungan Karet Baturiti di dekat TPAR Kebon Kongok. Tepatnya di aliran sungai sebelum TPAR Kebon Kongok, di tengah bantaran sungai yang berdekatan dengan TPAR Kebon Kongok, dan 50 meter dari tengah bantaran Sungai Babak yang berdekatan dengan TPAR Kebon Kongok.

Pencemaran air sungai akibat adanya TPAR Kebon Kongok salah satunya terlihat dari jumlah coliform yang sudah melebihi baku mutu kelas IV sebesar 10.000. Di mana dari tiga titik yang diperiksa dalam penelitian tersebut, total coliform paling rendah adalah 16.000 MPN/100 mL dan yang tertinggi mencapai 24.000 MPN/100 mL. Tingginya total coliform ini menunjukan bahwa kualitas air sungai di sekitar TPAR Kebon Kongok telah tercemar, baik di tengah bantaran sungai serta sebelum dan sesudah bantaran sungai. Menurut Permenkes RI No. 32 tahun 2017 baku mutu coliform adalah 50 MPN/100 mL, mengingat bakteri coliform memiliki kemampuan untuk memproduksi bermacam-macam racun yang dapat menimbulkan penyakit bila masuk hingga jumlahnya berlebih di dalam tubuh.

Selain itu, di aliran sungai tersebut juga ditemukan konsentrasi chemical oxygen demand (COD) atau jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan benda organik dalam kondisi khusus secara kimiawi yang melebihi baku mutu yang diatur dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Nilai uji konsentrasi COD yang diperoleh pada ketiga titik pengambilan sampel secara berurutan sebesar 40 mg/L. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengolahan kualitas air dan pengendalian pencemaran air kadar maksimum COD yang diperkenankan untuk air minum dan untuk menopang kehidupan organisme akuatik serta untuk keperluan irigasi dan perikanan tidak boleh lebih dari 10 mg/L. Konsentrasi COD yang melebihi baku mutu ini dapat berdampak terhadap kesehatan dan lingkungan, terutama biota dan tumbuhan air yang terancam mati dan tidak dapat berkembang dengan baik.

Pada penelitian lain yang dilakukan peneliti dari Program Studi Fisika, FPMIPA, Universitas Mataram, Alfina Taurida Alaydrus, Suhayat Minardi, dan Teguh Ardianto pada 2013, didapati air lindi yang dihasilkan TPAR Kebon Kongok juga sudah meresap, mencemari air tanah dangkal di sekitar wilayah tersebut hingga kedalaman 13,9 meter. Penelitian itu dilakukan menggunakan metode geolistrik 3 dimensi di tiga buah lintasan atau titik penelitian yang ada berlokasi antara hilir dan hulu di wilayah sungai sebelum Bendungan Karet Baturiti di sebelah barat TPAR Kebon Kongok. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari perlu menggali hingga kedalaman lebih dari 14 meter untuk mendapatkan air tawar yang belum terkontaminasi.

Lindi secara umum adalah cairan yang mengandung zat padat tersuspensi yang sangat halus dari hasil penguraian mikroba. Limbah ini biasanya mengandung kalsium (Ca), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), besi (Fe), klorida, sulfat, fosfat, seng (Zn), nikel (Ni), karbon dioksida (CO2), air (H2O), nitrogen (N2), amonia (NH3), hidrogen sulfida (H2S), asam organik dan hidrogen (H2). Tergantung dari kualitas sampah, maka lindi juga biasanya membawa mikroba patogen, logam berat dan zat lainnya yang berbahaya.

Penelitian tingkat pencemaran yang disebabkan oleh lindi TPAR Kebon Kongok pada air tanah dangkal juga dilakukan oleh peneliti dari Program Studi Tadris Fisika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Mataram, Amalia Syuzita, Lalu Ahmad Didik Meiliyadi, dan Bahtiar. Pada penelitian yang dilakukan di area sebelah timur kolam lindi TPAR tersebut diketahui pada jarak yang cukup dekat dengan zona aktif pencemar, terdeteksi logam tembaga (Cu)  sebesar 0,029 mg/l yang melampaui batas ambang tembaga untuk keperluan hygiene sanitasi sesuai standar WHO, dan mangan (Mn) sebesar 1,457 mg/l yang berada di atas ambang batas yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2017.

Tembaga termasuk dalam jenis logam beracun yang dapat ditemukan di alam dalam keadaan bebas dan berbentuk senyawa. Meski memiliki banyak manfaat dalam bidang elektronik dan tidak berdampak buruk bagi aktivitas makhluk hidup jika dalam jumlah kecil, tembaga bisa jadi beracun jika jumlahnya banyak hingga mengganggu aktivitas makhluk hidup seperti alga, fungi dan bakteri. Batas ambang tembaga yang ditetapkan untuk keperluan hygiene sanitasi yakni 0.02 ppm.

Di TPAR Kebon Kongok sendiri berdasarkan hasil penelitian Amalia, Didik, dan Bahtiar ditemukan mayoritas kandungan tembaga pada sampel air tanah dangkal masih jauh di bawah batas ambang yang telah ditentukan. Namun pada jarak 50 meter dari lokasi TPAR, kandungan tembaga terdeteksi sebesar 0,029, sehingga air tanah dangkal yang berada pada jarak 50 meter dari TPA tersebut tidak direkomendasikan untuk digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, dari hasil penelitian itu juga ditemukan konsentrasi mangan sebesar 1,457 mg/l pada jarak 50 meter dari sumber tercemar lindi, jauh di atas batas ambang 0,5 ppm yang ditetapkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 2017. Mangan yang terkandung pada air tanah dangkal menandakan kurangnya oksigen terlarut serta adanya kandungan karbon dioksida yang tinggi sehingga air tanah di sekitar lokasi tersebut tidak dapat dikonsumsi ataupun untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Pasalnya, konsentrasi mangan yang berlebihan pada air dapat menyebabkan keracunan, menyerang saraf otak dan menyebabkan penyakit Parkinson.

Pada dokumen Addendum Andal & RKL-RPL TPA Sampah Regional Kebon Kongok di Kabupaten Lombok Barat yang disusun Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB pada 2020 lalu bahwa sampah di TPAR Kebon Kongok seharusnya dipadatkan dan ditutup dengan tanah setiap hari. Namun karena kurangnya alat berat dan sarana pendukung lain seperti dump truck, penutupan harian itu tidak pernah dilakukan sejak awal TPAR tersebut beroperasi. Sebagai gantinya, penutupan tanah dilakukan hanya pada saat timbunan sampah tidak bisa dilewati kendaraan akibat penuh dengan sampah.

Di sisi lain, lindi yang dihasilkan tumpukan sampah di sana seharusnya dikelola melalui pipa bawah tanah menuju bak pengolah lindi. Namun, karena debit lindi yang sangat banyak, pipa lindi tersebut tidak bekerja maksimal hingga mengalami bocor dan penyumbatan. Tidak adanya penutupan harian tanah pada tumpukan sampah pun menyebabkan banyak air lindi mengalir ke saluran drainase, sungai dan jalan-jalan di sekitar TPAR.

Kondisi tersebut diakui sulit untuk diatasi karena timbunan sampah yang sudah terlalu banyak hingga 2020 lalu. Selain itu, instalasi pengolahan air lindi yang ada di TPAR sempat tidak berfungsi lantaran hanya berupa bangunan saja, tanpa ada peralatan pengolah lindi yang dibutuhkan.

Setelah dilakukan analisa kualitas air lindi di TPAR Kebon Kongok diketahui memiliki kadar keasaman air (pH), BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD yang melampaui baku mutu sesuai Kepmen Negara Lingkungan Hidup Dan kehutanan Nomor 59/2016 tentang Baku Mutu Air Lindi Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Pemrosesan Akhir Sampah, di mana kadar maksimum yang diperbolehkan untuk pH adalah 6-9, BOD 150 mg/L dan COD 300 mg/L.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB juga sempat melakukan investigasi terkait dugaan pencemaran limbah di TPAR Kebon Kongok. Dalam investigasi tersebut, ditemukan cairan lindi mengalir ke sungai hingga membuat air sungai di dekat lokasi TPAR tercemar.

Hasil investigasi teman-teman dia (tampungan air lindi) over kapasitas, sehingga meluap lah air lindinya itu, ada mengalir ke Sungai Babak di situ,” ujar Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadi.

Berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, pencemaran sungai akibat rembesan air lindi TPAR Kebon Kongok tersebut melingkupi aliran sepanjang 1 kilometer, tepatnya hingga Pantai Jeranjang. Kondisi ini pun disebut Amri membuat sungai tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan warga sekitar untuk aktivitas ekonomi. “Tentu ini mengganggu masyarakat, dulu sungai sebesar itu digunakan untuk memancing ikan masyarakat, mengambil pasir, aktivitas ekonomi, dan pencemaran ini sudah terjadi bertahun-tahun,” bebernya.

Memiliki luas tempat pembuangan sampah mencapai 13 hektare, beban ideal TPAR Kebon Kongok sendiri adalah 991.800 meter kubik. Batasan itu sudah terlampaui sejak 2021 lalu. Namun TPAR tersebut masih haus menampung sekitar 300-400 ton sampah dari Kota Mataram dan Lombok Barat setiap harinya. Meski Pemerintah Provinsi NTB tengah mencanangkan solusi dengan melarang sampah yang belum terpisah masuk ke TPA, serta mengupayakan perluasan TPA dengan penambahan beberapa fasilitas pengolahan, dampak yang timbul dari penumpukan sampah yang sudah berlangsung bertahun-tahun di sana bukanlah hal yang bisa hilang tiba-tiba. Terlebih rencana perluasan TPAR dengan lahan seluas 4,9  hektare hingga ke Desa Taman Ayu mendapat penolakan dari warga setempat.

Komposisi Gunung Sampah

Berdasarkan Adendum Andal & RKL-RPL TPAR Kebon Kongok, target produksi sampah tahunan TPAR Kebon Kongok sepanjang 2017 -2022 diproyeksikan meningkat 7.863,84 per tahun. Jumlah tersebut diambil dari proyeksi penambahan sekitar 8.618 orang penduduk per tahun yang terlayani dengan adanya TPAR tersebut.

Jika pada tahun 2017 TPAR Kebon Kongok hanya melayani 469.338 orang dengan produksi sampah tahunan 428.271,18 meter kubik dan persentase pemadatan 256.962,71 meter kubik, maka pada 2022 jumlahnya diprediksi mencapai 506.926 orang dengan produksi sampah tahunan 462.569,70 meter kubik dan persentase pemadatan 277.541,82 meter kubik.

Tidak bisa dipungkiri, jumlah sampah yang masuk ke TPAR Kebon Kongok memang meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan rekap neraca yang disusun Pengelola TPAR Kebon Kongok saja, jumlah sampah yang ditangani dan dikurangi dengan pengolahan setiap tahunnya terus bertambah. Rinciannya, pada 2020 setiap bulannya ada 1.011,03 ton sampah yang ditangani dan dikurangi sepanjang tahun, kemudian pada 2021 ada 1.200,42 ton, dan pada 2022 hingga Juli ada 1.283,35 ton. Di mana penanganan adalah jumlah sampah yang dikelola oleh pemerintah, terutama yang masuk ke TPAR Kebon Kongok, sedangkan pengurangan adalah jumlah sampah yang diselesaikan di tingkat sumber penghasil sampah atau dikelola oleh masyarakat, sehingga tidak masuk ke TPAR Kebon Kongok.

Pengelola TPAR Kebon Kongok mencatat rata-rata sampah yang masuk ke fasilitas pembuangan itu setiap harinya mencapai sekitar 300 ton. Untuk tahun ini, hingga Juli 2022 ada 65.600 ton sampah dari Kota Mataram dan Lombok Barat yang berakhir di fasilitas pembuangan itu.

Gunungan sampah di TPAR Kebon Kongok pun meliputi sampah plastik 23,28 persen atau 79,15 ton, ranting/daun 20,40 persen atau 69,36 ton, kertas 14,66 persen atau 49,84 ton, kaca/beling 10,63 persen atau 36,14 ton, sampah dapur 8,62 persen atau 29,31 ton, logam, 7,76 persen atau 26,38 ton, tekstil 7,18 persen atau 24,41 ton, karet-kulit 2 persen atau 6,81 ton, dan sampah lainnya 5,47 persen atau 18,60 ton.

Kepala TPAR Kebon Kongok, Radyus Ramli H mengakui, meski Surat Keputusan (SK) Kepala DLHK NTB Nomor: 660/530/PSPPL-DISLHK/2022 tentang Ketentuan Sampah Terpilah ke TPAR Kebon Kongok telah diterbitkan, saat ini upaya pemilahan sampah di sana hingga September 2022 baru bisa mencapai 5 persen. Secara gradual, pihaknya berharap pemilahan sampah itu bisa mencapai 10 persen di November 2022 dan 30 persen di Desember 2022.

“Mungkin nanti beroperasi tahun 2023 di pertengahan bulan Maret bisa lebih dari 50 persen, kita berharap sampah sudah terpilah. Kenapa kita mulai secara gradual, karena perubahan itu memang kalau kita mau langsung drastis agak sulit,” ujarnya.

Diterangkan, sampah yang sudah terpilah saat ini dikirim juga ke TPST Lingsar untuk pengolahan sampah organik. Kemudian sampah organik kiriman Kota Mataram juga sebagian akan diuraikan secara alami, yakni menjadi pakan lalat Black Soldier dengan dikirim ke Maggot Center yang dibuat Pemerintah Kota Mataram di wilayah Kebon Talo, Ampenan. Upaya serupa diharapkan dapat berjalan juga di Lombok Barat untuk mengurangi sampah yang berakhir ke TPAR Kebon Kongok.

“Lombok Barat sudah ada dia TPST di Senteluk kapasitas (pengolahan) 25 ton sampah per hari. Dia lakukan pengolahan di sana dengan komposting, maggot, dan sampah anorganiknya dia kelola; yang bernilai jual mereka ambil, kalau yang low value yang plastik-plastik dia sudah bekerja sama dengan Bank Sampah Mandiri namanya di Selong, nanti mereka bawa ke sana,” jelasnya.

Artikel ini merupakan bagian dari Data Journalism Climate Hackathon 2022 yang diadakan Indonesian Data Journalism Network (IDJN). Insidelombok.id menjadi salah satu peraih grant untuk pembuatan laporan terkait isu lingkungan.

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer