25.5 C
Mataram
Kamis, 25 April 2024
BerandaBerita UtamaMemilah Masalah Gunung Sampah: Jalan Panjang Pencemaran TPAR Kebon Kongok dan Keresahan...

Memilah Masalah Gunung Sampah: Jalan Panjang Pencemaran TPAR Kebon Kongok dan Keresahan Masyarakat – Bagian II

Mataram (Inside Lombok) – Masyarakat di Desa Taman Ayu di Kecamatan Gerung, Lombok Barat yang tinggal berdekatan dengan gunungan sampah TPAR Kebon Kongok sempat menyuarakan keresahan mereka terkait keberadaan fasilitas tersebut. Mengingat dampak sampah mulai dari aroma dekomposisi hingga rembesan lindi justru lebih mempengaruhi desa mereka ketimbang Desa Sukamakmur yang menjadi lokasi dibuatnya TPAR tersebut. Keresahan warga pun menjadi-jadi saat Pemprov NTB merencanakan perluasan areal TPAR Kebon Kongok lebih mendekat lagi ke arah Desa Taman Ayu.

Salah satu warga Desa Taman Ayu, Zaini misalnya, berharap pemerintah tetap memantau efek keberadaan TPAR Kebon Kongok terhadap kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat di desanya. Dicontohkan seperti air lindi yang mencemari sebagian aliran Sungai Babak yang melintasi desanya. “Kalau kita perhatikan secara kasat mata, kalau (aliran Sungai Babak) airnya itu tidak besar, airnya itu hitam, dan itu masih terjadi sampai sekarang. Itu yang ingin kita ingatkan kepada pemerintah, supaya sama-sama kita jaga komitmen antara masyarakat dan pemerintah itu (untuk penanggulangan dampak TPAR Kebon Kongok pada masyarakat),” ujarnya.

Diakuinya, hidup berdampingan dengan gunung sampah TPAR Kebon Kongok menjadi dilema tersendiri bagi dirinya, keluarga, dan masyarakat lainnya di Desa Taman Ayu. “Dilemanya itu tidak saja soal terkena dampak lingkungannya, tapi identitas kampung dan identitas dusun itu jadi berubah. Dulu kan di sini identitas produksi pertanian, akan bertambah (dikenal) menjadi tempat pembuangan dan pengolahan sampah. Itu sama beratnya dengan dampak lingkungan,” ujarnya.

Hal itu disebutnya berhubungan langsung dengan perubahan mata pencaharian masyarakat setempat. Dicontohkan seperti penamban batu tradisional yang sebelumnya beroperasi di lokasi TPAR Kebon Kongok, kini tak bisa lagi melakukan pekerjaan yang sama di sana. “Mereka tidak bisa menambang batu lagi di sana. Itu kita minta diperhatikan juga sama pemerintah, bagaimana tenaga kerja bisa terserap,” paparnya.

- Advertisement -

Diakui, masyarakat bersama pihak desa saat ini memang membangun kesepahaman dengan pemerintah terkait keberadaan TPAR Kebon Kongok, termasuk rencana perluasannya. Beberapa persyaratan pun telah diajukan masyarakat. Salah satunya terkait penanganan dampak pencemaran, termasuk untuk penanganan lindi.

“Salah satu item yang masuk di persyaratan yang diajukan masyarakat untuk perluasan TPA itu sistem penanganan pencemaran lingkungan, termasuk air lindi, dan kemarin memang itu sudah dilakukan pihak TPA dan DLHK. Sudah ada beberapa perbaikan terkait masalah ini, tapi itu kemudian masih di tatanan depannya saja, di tatanan hulu titik pembuangan itu saja. Sedangkan kalau berbicara lingkungan itu kan air lindi itu merembes dan mengikuti aliran sungai ini. Kami ingin penangan itu dari hulu hingga hilir. Karena pencemaran itu tidak terjadi di depan, tapi di belakang juga terjadi,” ujar Zaini.

Ilustrasi peta pencemaran TPAR Kebon Kongok

Hal senada disampaikan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Taman Ayu, Sarahan yang menyebut situasi yang dihadapi masyarakat yang tinggal di dekat TPAR Kebon Kongok saat ini sangat membutuhkan komitmen pemerintah. Terutama untuk menghadirkan solusi atas dampak pencemaran fasilitas tersebut.

Penolakan sendiri bukan tanpa alasan. Diterangkan Sarahan, kualitas air Sungai Babak yang melintasi desa mereka saat ini telah tercemar di bagian hulu. Alhasil, air sungai yang tercemar itulah yang melintasi desa mereka. “Itu yang harus diperbaiki Pemprov NTB sekarang. Ketika lindi itu tercecer, sehingga mengganggu akses warga, kita komplain dan diperbaiki,” ujarnya.

Kondisi pencemaran saat ini diakui berdampak juga pada aktivitas ekonomi masyarakat, seperti berkurangnya masyarakat yang mencari nafkah dengan menambang pasir di Kali Babak, lantaran air sungai yang tercemar dan mengeluarkan aroma tak sedap setelah tercampur lindi TPAR Kebon Kongok. Hal itu pun diharapkan menjadi perhatian pemerintah daerah untuk menyediakan solusi konkret, selain untuk penanggulangan dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat, juga untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

“Harapan kami kepada pemerintah sesuai yang kita bahas, pertama tentu komitmen-komitmen kepentingan masyarakat ke depannya. Seperti adanya lowongan pekerjaan, kesehatan, dan kalau ada hal-hal yang sifatnya harus dikritisi kita siap. Sudah ada point-point perjanjian dengan pemerintah. Kesepakatan desa dengan pengelola TPA Kebon Kongok alhamdulillah masih jalan komunikasinya melalui Ketua TPA,” jelasnya.

Jalan Panjang Penanganan Sampah

Kepala TPAR Kebon Kongok, Radyus Ramli H menyebut berbagai upaya pembenahan pada pengelolaan sampah dan limbah di TPA tersebut telah dilakukan, termasuk menanggulangi risiko pencemaran yang terjadi. Untuk mengurangi rembesan lindi mencemari air sungai misalnya, pihaknya memperdalam saluran lindi untuk mencegah limbah tersebut tumpah.  Kendati, berbagai solusi yang disiapkan tersebut masih membutuhkan waktu lama untuk memberi dampak signifikan sesuai proyeksi pemerintah.

“Kami membuat sistem pipa untuk mengalirkan lindi itu ke bak kontrol kami. Itu ada kami buat lubang besar di dekat TPA, supaya begitu lindi mencapai level, pipa itu akan langsung mengalirkan (lindi) ke bak kontrol. Kemudian kami sedot dengan pompa dan dimasukkan ke IPL (instalasi pengolahan lindi),” jelas Radyus.

Mengingat rencana perluasan TPAR Kebon Kongok saat ini, pihaknya juga mencanangkan pembuatan IPL baru guna mengelola lindi yang dihasilkan dari tumpukan sampah saat ini. “Kita akan proses lindi yang ada di bak penampungan sekarang ke bak yang baru, kami akan alirkan ke sana untuk diproses. Begitu dia sudah di bawah baku mutu lingkungan, kita lepaskan dia ke badan air. Setelah bak itu kosong kami akan melakukan revitalisasi terhadap lindi yang lama ini. Karena bagaimanapun nanti walaupun kita sudah tutup landfill yang lama, tapi lindi akan masih tetap ada sisa-sisa yang dulu. Treatment akan kami tetap lakukan,” jelasnya.

Diakuinya, lindi yang dihasilkan TPAR Kebon Kongok harusnya bisa diolah juga menjadi pupuk agar lebih bermanfaat. Namun masih tercampurnya sampah yang masuk dikhawatirkan memuat unsur-unsur berbahaya seperti logam berat, sehingga pengolahan lindi menjadi pupuk tersebut belum juga bisa dijalankan.

“Makanya kami tidak berani menggunakan lindi itu (sebagai pupuk). Biasanya bisa kita pakai lindi itu  untuk mempercepat dekomposisi sampah organik,” jelasnya. Untuk itu, pihaknya berharap upaya pemerintah dengan mengatur sampah yang masuk ke TPAR Kebon Kongok dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala DLHK NTB `bisa mendukung upaya tersebut, meski saat ini aturan tersebut baru bisa efektif berjalan 5 persen.

Infografis sampah TPAR Kebon Kongok

Di sisi lain, sampah-sampah di TPAR Kebon Kongok juga disiapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menerapkan pengelolaan sampah dengan memanfaatkan fasilitas Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) RDF/SRF (Refuse Derived Fuel/Solid Recovered Fuel) di TPAR Kebon Kongok. Fasilitas itu saat ini sedang dalam tahap pembangunan.

RDF/SRF sendiri merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil melalui pencacahan sampah atau dibentuk menjadi pelet. Hasilnya akan dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran co-firing batubara untuk pembangkit tenaga listrik. “RDF/SRF ini sudah kami jalankan sejak 2020-2021,” ujar Radyus.

TPST yang direncanakan mulai selesai pada Maret 2023 tersebut nantinya memiliki kapasitas pengelolaan sekitar 120 ton sampah per hari, di mana 15-45 ton ditargetkan bisa diolah menjadi bahan bakar alternatif. Tujuan utamanya, mengolah sampah yang masuk ke TPAR Kebon Kongok menjadi barang dapat dimanfaatkan kembali, baik untuk energi, kompos dan lainnya.

Di TPST yang akan dibangun akan memuat beberapa fasilitas pengolahan. Mulai dari tempat pemilahan sampah, tempat pengolahan RDF, tempat pengolahan kompos, tempat pengolahan lindi, tempat daur ulang, dan lain-lain. Saat ini proses pengolahan sampah di TPAR Kebon Kongok menjadi RDF/SRF masih dilakukan secara manual. Hasil pengelolaannya pun terbilang belum begitu besar, yaitu 100- 200 kilogram per hari.

RDF yang dihasilkan kemudian dibawa untuk menjadi bahan bakar tambahan batubara di PLTU Jeranjang. Proses co-firing batubara dan RDF yang dihasilkan TPAR Kebon Kongok itu pun baru berjalan 3 persen, dengan target kenaikan bertahap paling dekat sekitar 10 persen. Konsumsi batubara harian di PLTU Jeranjang sendiri mencapai 1500 ton, sementara kemampuan pasokan RDF/SRF dari TPAR Kebon Kongok baru 5 ton per bulan.

Diterangkan Radyus, sampah yang diolah pihaknya baru mencapai 0,5-1 ton per hari, menghasilkan sekitar 400-500 kilogram RDF yang siap dibawa ke PLTU Jeranjang. “Biasanya sebulan sekali diambil oleh PLTU sekitar 5-6 ton per bulan. Nah itu lah fasilitas yang kita bangun sekarang, dibangun dengan dana dari PUPR dana pinjaman dari Bank Dunia untuk membangun tempat pengolahan SRF/RDF itu, sampah organik dan anorganik. Organiknya 95 persen dan anorganiknya 5 persen. Karena itu kita menyesuaikan dengan alat yang tersedia di PLTU Jeranjang. Burnernya di jeranjang itu pasnya (komposisi) segitu. Karena waktu di pengembangan sudah kita coba semuanya, mulai dari (komposisi RDF) 100 persen organik, 50 persen organik,” jelasnya.

Dilansir dari https://pu.go.id, pengembangan TPAR Kebon Kongok menjadi TPST adalah bagian dari sistem sanitasi perkotaan dan kawasan pariwisata di Lombok, khususnya Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN)/Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Mandalika, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kunjungan wisatawan, dan produksi sampah rumah tangga dari masyarakat.

Kepala DLHK NTB, Julmansyah mengakui saat ini proses penanganan sampah di TPAR Kebon Kongok memang belum berjalan maksimal. “Tidak ada processing-nya, sehingga semua tertumpah ke landfill yang lama,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya optimis rencana perluasan TPAR Kongok di lahan seluas 4,9 hektare dan juga pembangunan TPST bisa menjadi solusi jangka panjang.

Pembangunan TPST di lahan perluasan TPAR Kebon Kongok sendiri diketahui menelan anggaran Rp 30.552.000.000, bersumber dari pinjaman dana Bank Dunia Indonesia Tourism Development Project (ITDP). “Di landfill baru tidak akan lagi seperti itu. Karena sebagian besar sampah yang masuk itu sudah terpilah. Yang terpilah sudah ada prosesnya yang masuk sebagai RFD/SRF, cacahan sampah yang lainnya bisa menjadi kompos. Sehingga yang lain itu masuk ke landfill menjadi residu. Sehingga tidak menekan landfill baru,” ujar Julmansyah. (r)

Artikel ini merupakan bagian dari Data Journalism Climate Hackathon 2022 yang diadakan Indonesian Data Journalism Network (IDJN). Insidelombok.id menjadi salah satu peraih grant untuk pembuatan laporan terkait isu lingkungan.

- Advertisement -

Berita Populer