Lombok Barat (Inside Lombok) – Usaha homestay di Desa Wisata Sesaot, Lombok Barat (Lobar) terus dikembangkan. Salah satu daya tarik yang menjadi kekuatannya adalah nilai adat istiadat yang menjadi promosi utama homestay bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Homestay berbasis masyarakat yang lokasinya berada di tengah desa ini banyak digandrungi para wisatawan mancanegara. Bahkan hampir selalu ada pesanan setiap harinya tanpa mengenal musim liburan. Walau berlokasi cukup jauh dari jalan raya dan harus melewati gang kecil, nuansa pedesaannya dinilai memiliki daya tarik yang tinggi.
Para tamu pun bisa langsung melihat berbagai aktivitas masyarakat setempat, bahkan juga bisa ikut terlibat. Seperti memasak, hingga bermain bersama anak-anak desa setempat. “Di Sesaot ini kan masyarakatnya merupakan percampuran, lima agama itu ada di sini. Jadi alhamdulillah, homestay itu sendiri sebenarnya sudah lama diterima masyarakat,” terang Windi Lestari, pemilik penginapan Danny Home di Sesaot.
Sebagai pengelola, dirinya berupaya menyiapkan mental masyarakat setempat agar bisa menerima tamu-tamu asing. Terlebih, dengan budaya yang berbeda, misalnya seperti cara berpakaian. Oleh karena itu, kesempatan itu justru juga ia manfaatkan untuk memperkenalkan budaya lokal setempat kepada para tamu yang menginap.
Windi mengaku sejauh ini, pihaknya tak pernah menerima kritik dari para tamu, maupun komentar negatif dari warga sekitar. Lantaran, keberadaan homestay tersebut di tengah-tengah masyarakat juga turut membawa dampak bagi peningkatan ekonomi mereka. “Bukan hanya ke kami (pemilik homestay) tapi juga ke laundry masyarakat, pedagang warung, ada destinasinya (objek wisata) yang juga ikut kecipratan,” tuturnya.
Bahkan dampak positif dari kunjungan wisatawan ke sana disebutnya tidak hanya dirasakan oleh Desa Wisata Sesaot saja, melainkan juga desa-desa lain di sekitarnya. “Bahkan dampaknya bisa lintas desa dan kabupaten. Misalnya, kita di sini butuh ikan, jadi saya harus pesan ke teman-teman yang ada di Kumbung, Lingsar. Itu kita punya jejaring sendiri,” jelasnya.
Oleh karena itu, dia menyebut, penting bagi para pengelola homestay tidak hanya promosi untuk menjual kamar saja. Tetapi juga membuat paket wisata. Sehingga yang bisa merasakan dampaknya juga tidak hanya desa setempat saja. “Jadi homestay ini hanya pintu masuk saja sebenarnya,” imbuh dia.
Desa Sesaot saat ini dikatakan Windi sudah memiliki puluhan kamar homestay berbasis masyarakat, dengan harga sewa per malam berkisar Rp100 ribu saja. Windi mengaku homestay banyak digandrungi wisatawan mancanegara karena lokasinya yang dekat dengan alam. Lantaran berada di tengah-tengah perkampungan yang mepet dengan hutan.
Para tamu mancanegara yang menginap di tempatnya justru selalu bangun pagi, karena mereka senang mendengar suara ayam dan kicauan burung, hingga memetik buah sendiri. “Sambil mereka (wisatawan) juga belajar kehidupan sosial masyarakat di sini. Tamu kita itu banyak dari Perancis, dari China, dari India, Arab juga,” bebernya.
Menariknya lagi, walaupun para tamu mancanegara tersebut berlibur ke lokasi wisata yang lain, seperti Kuta, Mandalika. Namun, diakui Windi, mereka justru tetap kembali untuk menginap di tempatnya. Bahkan jika mereka datang berlibur membawa keluarga, lama menginapnya rata-rata hingga satu minggu.
“Pentingnya kita pengelola homestay juga untuk luwes dan punya wawasan soal wisata. Jadi kita bisa kasih rekomendasi buat para tamu ketika mereka menentukan tujuan wisata,” pungkasnya. (yud)