Mataram (Inside Lombok) – Kepala Kepolisian Resor Mataram AKBP H Saiful Alam menegaskan penanganan kasus minta jatah dari proyek Rumah Susun (Rusun) Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR NTB tidak akan menghambat pekerjaan tujuh proyek yang sedang berjalan.
“Artinya jalan terus, proses penyidikan ini tidak akan menghambat proyek-proyeknya yang sedang berjalan,” kata H Alam.
Dikatakannya bahwa kelanjutan dari proyek tersebut sudah sepenuhnya dikembalikan kepada pemangku kepentingan yang memiliki kebijakan dan bertanggung jawab terhadap pengerjaannya.
“Dalam hal ini (penyidikan) hanya berkaitan dengan proses hukumnya. Tentu untuk persoalan itu (pengerjaan proyek), kebijakannya ada pada pemerintah,” ujarnya.
Ia mengatakan perkembangan penanganan kasusnya kini telah masuk pada tahap pemeriksaan saksi-saksi. Penyidik dikatakannya sedang mengagendakan pemeriksaan tujuh pelaksana proyek pemenang tender pembangunan rusun dan rusus pada SNVT PP Kementerian PUPR NTB di tahun 2019.
“Jadi fokus pemeriksaannya akan lari ke tujuh proyek itu dulu, dari sana nantinya akan kita lihat perkembangannya, apakah memang ini dinikmati sendiri atau ada keterlibatan pihak lain,” ucapnya.
Untuk saksi-saksi yang telah diperiksa penyidik, sudah sebanyak enam orang. Mereka yang menjalani pemeriksaan, berasal dari pegawai SNVT PP Kementerian PUPR NTB.
Enam saksi tersebut adalah Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar (PP-SPM), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) rusun dan rusus, Kepala Urusan Umum/Keuangan serta saksi saat operasi tangkap tangan, Direktur PT JU yang merupakan rekanan pelaksana proyek Rusun Ponpes Al-Kahfi.
Dalam kasus yang terungkap dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) oleh Tim Satreskrim Polres Mataram ini, telah ditetapkan Kepala SNVT PP Kementerian PUPR NTB, berinisial BLR sebagai tersangka.
Tersangka BLR diduga meminta jatah Rp100 juta dari proyek Rusun Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Al-Kahfi, di Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, kepada pihak kontraktor pemenang tender dengan alasan untuk biaya administrasi yang kisaran uangnya 5-10 persen dari nominal proyek.
Sebagai tersangka, BLR dijerat dengan Pasal 12 Huruf e Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk tujuh proyek pembangunan rusun dan rusus yang berjalan di tahun 2019 ini, NTB mendapat kucuran anggaran sebesar Rp20,5 miliar. Penandatanganan kontrak kerja dengan tujuh rekanan pemenang tender telah dilaksanakan pada 18 Juli 2019.
Tujuh proyek tersebut antara lain, Rusun Ponpes Ulil Albab di Desa Perian, Montong Gading, Lombok Timur dengan nilai Rp3,48 miliar, dikerjakan CV Cinta Bahagia.
Kemudian, Rusun Ponpes Al-Madina di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, yang dikerjakan PT Performa Trans Utama dengan nilai kontrak Rp2,351 miliar. CV Sagita mengerjakan Rukus di Desa Kukin, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa, dengan kontrak Rp4,55 miliar.
Selanjutnya paket proyek Rukus di Kelurahan Jatiwangi, Kecamatan Asakota, Kota Bima, yang dikerjakan CV Rangga Makazza dengan nilai kontrak Rp5,49 miliar.
Ada lagi proyek yang dikerjakan CV Kurnia Karya dengan nilai kontrak Rp 4,617 miliar, untuk pengerjaan Rukus di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Timur. Proyek Rukus di Desa Poto Tano, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat senilai Rp2,97 miliar, yang dikerjakan CV Sumber Resky Abadi.
Selanjutnya dugaan permintaan setoran Rp100 juta dari proyek yang menyeret BLR sebagai tersangka itu berkaitan dengan proyek Rusun Ponpes Modern Al-Kahfi Desa Pernek, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, yang dikerjakan CV Jangka Utama dengan kontrak Rp3,49 miliar. (Ant)