30.5 C
Mataram
Selasa, 26 November 2024
BerandaCek FaktaFenomena “Survei Bodong”Jelang Pilkada, Deteksi Ciri-cirinya

Fenomena “Survei Bodong”Jelang Pilkada, Deteksi Ciri-cirinya

Mataram (Inside Lombok) – Jelang pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, berbagai hasil survei yang menggambarkan popularitas dan elektabilitas calon tertentu seringkali bermunculan. Lantas, seberapa jauh Anda bisa mempercayai hasil-hasil survei tersebut? Mengingat, fenomena ini semakin populer dan ada begitu banyak lembaga yang menelurkan hasil jajak pendapatnya.

Pada helatan Pilkada Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, sedikitnya ditemukan dua survei palsu yang mengatasnamakan lembaga tertentu. Pertama, survei yang mencatut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan kedua survei yang mengatasnamakan Litbang Kompas. Kedua lembaga ini – baik Litbang Kompas maupun SMRC – telah membantah pernah menerbitkan hasil survei terkait elektabilitas kandidat Pemilihan Gubernur NTB.

Litbang Kompas menegaskan hasil survei Pilgub NTB 2024 yang beredar dan mengatasnamakan lembaga tersebut merupakan informasi keliru. Adapun Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Deni Irvani menyatakan tidak pernah melakukan maupun merilis hasil survei Pemilihan Gubernur Tingkat Provinsi di NTB pada 2024 ini.

“Kami pastikan bahwa informasi tentang hasil survei perolehan suara ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di provinsi NTB 2024 yang beredar itu tidak benar alias hoaks,” tegas Deni pada 15 November 2024.

Peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDeK) sekaligus Dosen Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Ihsan Hamid mengungkapkan fenomena menjamurnya hasil survei menjelang akhir masa kampanye atau pada masa tenang Pilkada itu jamak dijadikan sebagai salah satu strategi untuk menggiring opini publik atau menyakinkan posisi angka kemenangan. Namun, yang seharusnya menjadi pertanyaan, apakah hasil survei dan lembaga survei tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Menurut Hamid, setidaknya ada empat tujuan mengapa survei politik dilakukan:

  1. Sebagai alat pandu untuk melihat kecenderungan pemilih suatu lokasi, wilayah tertentu, atau segmen pemilih tertentu. Prinsipnya membaca peluang menang atau kalah.
  2. Lembaga survei bertujuan menggiring opini publik secara langsung sekaligus meyakinkan siapa yang bakal menang atau kalah pada sebuah kompetisi.
  3. Untuk meyakinkan pemodal atau klien dalam konteks pertarungan atau proses-proses yang dilalui. Terlebih, jika lembaga survei dan hasil survei melalui tahapan pengerjaan yang profesional dan transparan dengan metode yang benar.
  4. Sebagai bentuk evaluasi untuk mengetahui hasil akhir sebuah kontestasi atau pertarungan politik.

Bagaimana Mendeteksi Sebuah Survei Politik Bisa Dipertanggungjawabkan atau Sekadar Abal-abal?

Untuk mengenali ciri-ciri survei yang kredibel, Inside Lombok secara khusus mewawancarai Peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PusDeK) sekaligus Dosen Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Ihsan Hamid. Redaksi juga menyarikan beberapa poin dari buku “Panduan Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis”.

Berikut tips agar terhindar dari jebakan “survei bodong” Pilkada:

Cek Metodologi Survei

Hamid memaparkan salah satu indikator yang menandakan bahwa hasil survei dikerjakan secara baik dan benar adalah terbuka ihwal metodologi yang digunakan. Ia menerangkan, lembaga survei yang kredibel akan merilis secara terbuka hasil surveinya. Termasuk, menghadirkan pembanding dan pembedah sehingga hasil survei bisa diuji.

Lembaga survei yang kredibel juga bakal menjabarkan detail mengenai sampling, cara pengambilan sampel, metodologi, bagaimana proses pengolahan data, keterbatasan hingga margin of error.

Periksa Urutan Daftar Pertanyaan

Jangan mengandalkan pada interpretasi lembaga survei, periksa daftar pertanyaan, bandingkan dengan hasilnya dan, tren hasil survei lainnya.

Perhatikan pilihan kalimat pertanyaan dan urutan pertanyaan. Sebab susunan pertanyaan berpotensi menggiring jawaban responden. Periksa juga, apakah yang disampaikan hanya sebagian dari hasil survei atau keseluruhan pertanyaan.

Transparansi Soal Pendanaan Survei

Salah satu yang penting diperhatikan soal siapa yang mendanai survei politik. Untuk menutup celah kecurigaan, menurut Hamid, lembaga survei akan lebih baik jika membuka siapa penyandang dananya, proses pendanaan, hingga informasi mengenai surveyor.

“Sering kali survei itu banyak kita lihat itu dipesan modelnya oleh klien tertentu, sehingga sering kali kaidah awal untuk menyampaikan hasil itu tidak dilakukan secara terbuka. Sehingga saya melihat ketika itu tidak dilakukan, maka hasil survei itu patut diduga, misalnya, tujuan di-publish hasilnya untuk menggiring opini publik,” ungkap Hamid.

Periksa Rekam Jejak Lembaga Survei

Jika seorang pemilih ingin mengetahui hasil survei dapat dipercaya atau tidak, maka salah satu cara yang dianjurkan adalah memeriksa kembali profil lembaga yang mengeluarkan hasil survei tersebut. Lembaga survei yang memiliki kredibilitas biasanya memiliki laman website yang jelas dan menampilkan profil direktur hingga tim survei secara lengkap. Hasil survei pun biasanya diumumkan secara terbuka, serta terdaftar secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika kaitannya dengan pilkada.

“Untuk membedakan lembaga survei itu terdaftar atau abal-abal ya sederhana saja, yaitu ABC: amati, baca dan cek,” ungkap Hamid. Dijabarkan, masyarakat perlu mengamati seperti apa data survei yang disajikan. Jika ada yang jomplang, maka patut diduga survei tersebut tidak dilakukan sesuai dengan metodologi yang tepat.

Kemudian masyarakat juga bisa membaca rekam jejak lembaga survei, di mana lembaga survei abal-abal biasanya akan sulit dicari informasi terkait profil lembaga dan orang-orang di baliknya. Terakhir, masyarakat bisa mengecek kredibilitas lembaga survei ke stakeholder terkait, salah satunya seperti KPU.

Cek Apakah Lembaga Survei Terdaftar di KPU atau Tidak

Lembaga survei yang terdaftar di KPU adalah lembaga yang dianggap resmi dan diakui kredibilitas serta profesionalitasnya oleh KPU. Khusus untuk Pilkada NTB, setidaknya ada tiga lembaga survei yang memiliki sertifikat dari KPU. Ketiga lembaga itu antara lain LSI, Kedai Kopi dan Polling. Ketua KPU NTB, Muhammad Khuwailid menyatakan ketiga lembaga survei tersebut telah memenuhi syarat, dan akan melakukan jajak pendapat hingga hitung cepat.

Ditegaskan Khuwailid, lembaga survei yang tidak memiliki sertifikat dari KPU dilarang untuk mengeluarkan rilis. Hal ini tertuang dalam keputusan KPU Nomor 328. Dalam keputusan ini mengatur tentang Pedoman Teknis Pendaftaran Pemantau dan Lembaga Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota mereka dilarang merilis hasil survei.

Pemalsuan Hasil Survei, Mengapa Terus Dimunculkan?

Beberapa gejala yang ditemui, setidaknya pada Pilkada NTB, kecenderungan survei abal-abal yang bermunculan menggunakan modus mencatut nama lembaga survei yang kredibel. Pada akhirnya, publik baru mengetahui bahwa survei itu palsu setelah lembaga survei atau otoritas resmi menyampaikan bantahan atau klarifikasi.

Diakui Hamid, hasil survei merupakan salah satu konten yang gampang sekali dijadikan hoaks, terutama pada masa-masa Pemilu. Terlebih belakangan muncul fenomena di mana hasil survei cenderung diedarkan untuk menggiring opini publik.

“Maka saya kira dalam konteks ini tidak ada cara lain selain menyadari pentingnya bagaimana kedewasaan berdemokrasi. Artinya kalau memang itu adalah hasil kloning, walaupun menguntungkan paslon tertentu, ya bagusnya kalau memang kita punya kedewasaan berpolitik ya jangan di-share (hasil survei palsu),” ujarnya.

Di sisi lain, Hamid menyoroti kurangnya ketegasan dari lembaga penyelenggara ataupun pengawas seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menindak lembaga-lembaga yang tidak terdaftar–tapi merilis hasil survei ke publik. Termasuk media massa yang dinilai tidak kritis dan menerapkan disiplin verifikasi ketika mendapatkan hasil survei dari berbagai lembaga.

“Insan pers sebagai yang lebih memahami dunia survei itu harus menjadi skrining awal dulu sebelum dipublikasi. Jangan sampai insan media ini yang terlibat dalam upaya publikasi hasil survei yang abal-abal itu. Itu saya kira hal-hal penting yang perlu dicatat,” ungkap Hamid. (r)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer