Mataram (Inside Lombok) – Tujuh warga di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat terpapar bahan kimia merkuri berat.
Mereka yang terpapar itu merupakan penambang liar yang melakukan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di pegunungan Sekotong, Lombok Barat.
Sungguh miris melihat masih maraknya penggunaan bahan kimia berbahaya itu di atas tanah Sunda Kecil.
Para penambang yang terpapar merkuri ini diketahui setelah Universitas Indonesia (UI) melakukan penelitian terhadap para penambang pada tahun 2016 dan hasilnya baru diketahui pada tahun 2017.
“Mereka yang terpapar merkuri ini rata-rata sudah di ambang batas,” kata Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr Nurhandini Eka Dewi.
Ia menyayangkan, mereka yang terpapar merkuri ini usianya masih produktif yang kondisinya terpaksa menurun akibat terpapar merkuri.
Eka juga khawatir dampak dari merkuri pada ibu hamil yang bisa membuat anak yang dilahirkan mengalami cacat, seperti kasus Minamata di Jepang.
“Inilah yang kita khawatirkan dampaknya. Karena selain berdampak pada manusia, lingkungan di Sekotong saat ini juga sudah ikut tercemar,” ucap Eka.
Karena itu, untuk mencegah dampak yang lebih buruk, pihaknya telah meminta agar segala aktivitas PETI di Sekotong dihentikan. Tidak hanya di Sekotong di lokasi PETI lainnya di NTB juga harus dihentikan.
Di samping itu, untuk meminimalisir dampak yang sudah terjadi, pihaknya juga akan segera menyusun rencana aksi daerah yang salah satu bentuk kegiatannya yakni memberikan edukasi kepada penambang, keluarga penambang dan lingkungan penambang untuk tidak melakukan PETI lagi.
“Edukasi ini penting dilakukan supaya mendorong masyarakat berhenti dan tidak menggunakan merkuri,” katanya.
Jauh sebelumnya, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram (Unram) menyebutkan pihaknya juga menemukan bayi tanpa anus sebagai dampak dari penggunaan merkuri di PETI kawasan Sumbawa Barat.
PETI ini menyebabkan kelainan bawaan misalnya bayi tidak ada anusnya, bayi yang tidak ada jari-jarinya di tangan, bahkan ada bayi yang tidak mendengar, kata Dr Hamsu Kadryan Dekan FK Unram.
Hal itu, kata dia, akan menjadi masalah kelak ketika si bayi sudah tumbuh besar khususnya dalam bersosialisasi hingga mencari nafkah.
Sementara itu, Wakil Ketua Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati Drwiega, menyebutkan paling tidak terdapat empat sentra pengolahan hasil PETI di Sumbawa Barat yang bisa bebas menggunakan merkuri seperti di Barea dan Lamonga.
Mereka bisa bebas membeli zat merkuri itu di pasaran. “Home industry ini dampaknya fatal, tapi dibiarkan, 1 botol kecil harga merkuri Rp1,5 juta,” katanya.
Padahal, kata dia, dampak dari penggunaan zat itu di lingkungan tidak bisa hilang serta merta meski mereka telah beralih dalam penggunaannya.
Seperti peristiwa Minamata, Jepang saja lingkungannya membutuhkan waktu 14 tahun untuk bebas dari cairan tersebut.
“Kandungan itu ada di laut hingga di dapur rumah, bayangkan berapa investasi untuk membersihkannya,” katanya.
Karena itu, pihaknya berupaya terus untuk memerangi penggunaan merkuri di PETI.
Penindakan
Satuan Tugas (Satgas) Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) memprioritaskan upaya persuasif dalam penertiban aktivitas penambangan liar di NTB.
Kapolda NTB Irjen Pol Nana Sudjana menilai upaya persuasif sudah menjadi langkah yang tepat dilakukan oleh Satgas PETI dalam menertibkan aktivitas penambangan liar di wilayah hukumnya.
“Jadi lebih baik pakai persuasif. Sekarang masih upaya musyawarah. Kalau masih tidak mau baru kita tindak,” kata Nana Sudjana.
Saat ini, kata dia, upaya persuasif sudah menunjukkan progres yang cukup signifikan. Aktivitas penambangan tanpa izin itu mulai berkurang seperti yang terpantau di Desa Prabu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Dari lokasi tersebut, dikabarkan, sebanyak enam lubang galian tambang sudah ditutup. Meskipun masih ada satu pemilik lahan yang diduga masih melakukan aktivitas penambangan.
“Untuk Desa Prabu ini sudah mulai berkurang. Tinggal satu ini kita harap bisa selesai. Kecamatan Sekotong juga demikian. Begitu juga berikutnya, di Sumbawa sedang kita jajaki terus,” ujarnya.
Dalam penertibannya, satgas yang berada di tingkat kabupaten/kota lebih agresif dalam penanganannya. Sedangkan untuk peran satgas di tingkat provinsi, sejauh ini masih melakukan supervisi terhadap aktivitas penambangan ilegal di kabupaten/kota.
Sebelumnya, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah menyatakan pihaknya akan membentuk tim penertiban penambangan liar untuk menghentikan aktivitas pertambangan emas tanpa izin di kawasan Bukit Prabu, Kabupaten Lombok Tengah.
“Sudah saatnya kita menghentikan penambangan liar tanpa izin ini karena memang selain merusak keindahan alam juga sangat berbahaya bagi kelestarian lingkungan,” ujar Zulkieflimansyah.
Penambangan liar di Gunung Prabu, Kabupaten Lombok Tengah, yang dilakukan masyarakat itu menurut dia, telah menyebabkan kerusakan lingkungan, bahkan korban jiwa.
Dalam rangka menghentikan penambangan ilegal itu, Doktor Zul, sapaan akrabnya, akan segara membentuk tim. Sebab, menurutnya, kalau penambangan ilegal ini tidak dihentikan, maka akan mengganggu kesinambungan pembangunan yang saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah.
“SK Tim untuk penghentian penambangan liar di NTB ini segera saya tanda tangani demi kesinambungan pembangunan,” katanya.
Hal ini dilakukan juga untuk menyelamatkan masyarakat di sekitar lokasi tersebut, katanya lagi.
“Kami juga mencari solusi segera agar lapangan pekerjaan segera tersedia bagi daerah-daerah yang dilarang penambangannya ini,” katanya.
Kepercayaan sebagai garda terdepan dalam penertiban aktivitas tambang ilegal itu diberikan kepada satgas di tingkat kabupaten/kota karena dianggap lebih memahami karakter sosial masyarakatnya.
“Kira-kira kalau nanti penambang ini berhenti kegiatan apa yang mereka kerjakan, solusinya seperti apa kalau sudah tidak menambang, mereka akan kerja apa?. Karena Itu satgas kabupaten yang kita kedepankan,” ucapnya.
Dari hasil penelusurannya, aktivitas PETI tidak hanya dilakoni masyarakat sekitar kawasan tambang. Banyak juga warga dari luar daerah yang ikut berburu dan ikut serta dalam penambangan emas secara ilegal.
Salah satu cara yang diharapkan bisa menghentikan aktivitas PETI secara efektif disebutkan adalah dengan cara memutus rantai suplai pasokan terkait kebutuhan untuk pengolahan bebatuan penghasil bongkahan emas tersebut.
Jadi pihak Polda maupun Pemda melakukan penindakan terhadap suplai pendukung PETI, seperti bahan-bahan kimia merkuri, sianida, hingga bahan bakar minyak (BBM).
Kalau memang tidak mau berhenti juga, tentu saja akan dillakukan penegakan hukum. (Ant)