25.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024
BerandaBerita Utama390.910 Orang Tanda Tangan Petisi Tolak Aturan Baru Klaim JHT

390.910 Orang Tanda Tangan Petisi Tolak Aturan Baru Klaim JHT

Mataram (Inside Lombok) – Petisi penolakan aturan baru klaim Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa di usia 56 tahun sudah ditandatangani 390.910 orang partisipan. Berdasarkan pantauan Inside Lombok di website chage.org sampai dengan pukul 17:31 Wita, humlah tersebut terus bertambah seiring penolakan yang terus disuarakan masyarakat.

Tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2022 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua, aturan terbaru pencairan JHT bahkan menuai penolakan keras dari sejumlah serikat pekerja, termasuk di NTB.

Penolakan antara lain datang dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB maupun Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) NTB. Pasalnya, aturan baru klaim JHT tersebut dinilai justru semakin menyakitkan dan menyulitkan para pekerja.

“Saya ingin mengucapkan Menteri Tenaga Kerja kejam, kedua kita minta Pak Jokowi untuk memecat Menteri Tenaga Kerja yang saat ini. Munculnya Permen Nomor 2 Tahun 2022 ini menambah luka panjang pekerja,” kata Ketua SPN NTB, Lalu Wira Sakti, Selasa (15/2).

Wira menerangkan, dengan adanya aturan Undang-Undang Cipta Kerja saja sudah memperburuk kondisi, kemudian dengan aturan baru klaim JHT pada usia 56 tahun semakin menyulitkan. Dicontohkan, bagaimana pekerja yang baru berumur 35 tahun dan sudah bekerja selama 10 tahun, tetapi kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). “Dia harus menunggu umur 56 tahun baru bisa dia bisa cairkan JHT-nya. JHT dalam bentuk tabungan dan murni hak pekerja,” tuturnya.

Menurutnya, JHT menjadi harapan terakhir untuk modal menyambung hidup pekerja saat kehilangan pekerjaan dan seringkali tanpa pesangon. Sebelumnya, saat seorang pekerja terkena PHK pencairan JHT bisa dilakukan dalam kurun waktu satu bulan setelahnya. Tetapi sekarang pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan harus menunggu hingga berusia 56 tahun.

“Mereka yang masih umur muda, dia harus menunggu puluhan tahun menunggu JHT. Belum lagi apakah dengan uang JHT yang ditunggu itu ada tidak bunganya? Seperti menabung di bank,” jelasnya.

Sementara itu, jika dikaitkan dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang merupakan program baru dari pemerintah bagi pekerja yang di PHK, fungsi program tersebut untuk menjamin semua pekerja yang kehilangan pekerjaan justru dipertanyakan.

“Kalau dia (pekerja, red) tidak punya (kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan) tidak bisa dia dapat (JKP). Sementara yang dzolim itu pengusaha, sudah tidak daftarkan pekerja di program BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan,” terangnya.

Padahal sudah ada aturan bahwa perusahaan harus mendaftarkan pekerjanya di program BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Jika tidak mendaftarkan kedua program tersebut kepada pekerjanya maka ada pidananya.

“Tapi ini tidak dilakukan, bagaimana letak pengawasan pemerintah. Banyak pengaduan pekerja yang kita terima, kok tidak dibayarkan dan tidak diikutkan. Harusnya sanksi itu dilakukan,” ketusnya.

Senada, Ketua KSPSI NTB, Yustinus Habur mengatakan peraturan yang dibuat Menteri Tenaga Kerja ini turunan dari UU Cipta Kerja Nomer 11 Tahun 2020. Di mana UU Nomer 11 itu adalah konstitusional bersyarat, dengan demikian tidak boleh membuat peraturan baru selama dua tahun, apalagi tidak perbaiki maka batal UU tersebut.

“Kenapa ujuk-ujuk Menteri Tenaga Kerja membuat peraturan baru ini yang mengatakan klaim JHT di usia 56 tahun? Dari sisi hukum saja sudah tidak benar. Itu menyakiti pekerja, terutama orang-orang yang di-PHK, orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan,” ungkapnya. (dpi)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer