29.5 C
Mataram
Jumat, 22 November 2024
BerandaBerita UtamaAntisipasi “Money Illusion” dari Kenaikan Harga Barang dan PPN

Antisipasi “Money Illusion” dari Kenaikan Harga Barang dan PPN

Mataram (Inside Lombok) – Kenaikan harga dan pajak pertambahan nilai (PPN) terjadi pada sejumlah barang mulai awal April 2022 ini. Kondisi tersebut bisa berdampak pada semua hal yang berkaitan, bahkan kenaikan Pertamax menjadi Rp12.500 dan PPN menjadi 11 persen dikhawatirkan menyebabkan inflasi.

Pengamat Ekonomi Universitas Mataram, Dr. Firmansyah menyebut konsumsi Pertamax memang terbatas di masyarakat. Namun jika kenaikan harga Pertamax menyebabkan masyarakat pengguna melakukan migrasi ke jenis bahan bakar lainnya yang lebih murah, akan menyebabkan beban permintaan untuk bahan bakar seperti Pertalite dikhawatirkan ikut mengalami peningkatan harga.

“Di sinilah terjadi inflasi yang diakibatkan oleh bahan bakar, yang ujungnya berimbas kenaikan biaya transportasi. Kemudian kenaikan PPN ini akan semakin menekan inflasi,” jelas Firmansyah, Senin (4/4).

Kondisi serupa juga bisa terjadi lantaran PPN yang dilimpahkan ke konsumen naik. Bahkan untuk pulsa yang sekarang menjadi bagian yang tidak terpisah dengan kebutuhan masyarakat. Kemudian produk-produk lain akan mengalami peningkatan harga.

“Saya khawatir inflasi tidak saja bersumber dari tekanan demand inflation. Namun cost push inflation juga,” katanya.

Diterangkan, inflasi yang disebabkan oleh permintaan dan inflasi akibat biaya membengkak dari biaya produksinya di satu sisi bisa timbul dari internal perusahaan, karena beban produk mereka meningkat. Kemudian juga karena permintaan yang tinggi dari migrasi seperti pada kebutuhan bahan bakar. Apalagi di NTB dua pekan lalu baru saja melaksanakan event internasional yang mana diproyeksi dapat mendongkrak ekonomi NTB. Sayangnya, dengan kenaikan sejumlah barang dikhawatirkan terjadi stagnasi.

“Memang kalau kita di NTB akan muncul yang namanya money illusion atau ilusi uang. Uang kemarin (Saat MotoGP, Red) mungkin kita bisa berbangga, berlimpah, ada perputaran uang yang triliun rupiah. Tapi kalau diimbangi dengan kenaikan harga maka uang yang banyak itu nilai sudah semakin menurun, tidak ada artinya. Ini yang kita khawatirkan ke depannya,” ungkapnya.

Saat ini yang bisa dilakukan hanya berharap pada pemerintah pusat. Dikatakan ada dua pendekatan dalam meningkatkan perekonomian ini. Pertama meningkatkan APBN dengan menaikkan pajak. Nantinya dengan kenaikan pajak tersebut akan ada banyak uang yang masuk ke kas pemerintah, bisa membangun infrastruktur dan sebagainya. Tapi sisi lain adalah dari peningkatan belanja masyarakat atau insentif di masyarakat. Insentif itu muncul ketika harga stabil, jadi orang bisa berbelanja dan berbisnis secara leluasa karena harga yang stabil. Namun jika sebaliknya maka orang akan sulit berbelanja dan berbisnis.

“Pajak bagi masyarakat atau dunia usaha sebagai insentif bagi konsumen. Logikanya, kalau kenaikan harga ini menyebabkan orang membayar lebih. Maka akan mengurangi mereka berbelanja pada produk lain yang justru akan menghambat dinamika perekonomian yang lebih luas,” terangnya.

Jadi orang harus menambah biaya di BBM, kemudian pada harga kebutuhan pokok, sehingga kemungkinan untuk produk-produk yang bukan kebutuhan primer itu orang menunda berbelanja. Karena kebutuhan pokok ini wajib, kebutuhan pokok meningkat sehingga UMKM yang memproduksi produk-produk kebutuhan pokok misalnya primer, sekunder, atau tersier menjadi tertekan.

“Sisi lain mau tidak mau masyarakat harus merasionalisasi belanjaannya, menahan untuk berbelanja yang kebutuhan-kebutuhan tidak penting dan lagi-lagi inilah yang sebagai penyebab gairah perekonomian menjadi lesu,” paparnya.

Firmansyah menyebutkan, hal ini yang kiranya perlu diwaspadai ke depan. Tetapi jika nanti diimbangin dengan perputaran uang yang terus berkembang di NTB, dengan berbagai perhelatan event setidaknya akan menyeimbangi, tetapi semua orang mendapatkan kue dari perhelatan yang ada. Maka ini yang menjadi permasalahannya kecuali sudah membuat semacam peta jalan bahwa semua orang secara inklusif bisa kecipratan semua.

“Tentu itu lain cerita kalau mendapatkan kue (dampak, Red). Tapi hanya beberapa sektor saja yang tumbuh tapi sektor lain stagnan,” ujarnya.

Di sisi lain, jika dibandingkan dengan negara lain untuk harga BBM terutama Pertamax, seperti di Malaysia informasinya lebih rendah harganya. Namun ini menjadi kebijakan masing-masing negara yang menganggap ada sebagian yang perlu menaikan karena kekurangan APBN. Ada negara yang juga menstabilkan di sisi demand dengan tidak menaikkan harga. Jadi dua seperprektif, apakah mau meningkatkan APBN melalui pajak atau meningkatkan daya beli lewat menurunkan harga atau pajak.

Pada akhirnya juga akan meningkat perekonomian. Namun dari masyarakat inginnya kestabilan harga bukan lewat pajak. Karena ujung-ujungnya apapun itu konsumen akan dilimpahkan, misalnya PPN itu konsumen yang merasakan dari kenaikan harga. Untuk itu pemerintah pusat harus hati-hati. Sedangkan pemerintah daerah mau tidak mau akan menstabilkan belanja masyarakat setidaknya masyarakat miskin. Yang mana perlu dibantu, apakah lewat JPS atau bantuan sosial karena dikhawatirkan juga ada gejolak kalau tidak dibantu.

“Harga melambung tinggi, kemudian pasar kerja yang terbatas, proyek pembangunan terbatas dan berbagai macam persoalan, ini dikhawatirkan terjadi disabilitas mau tidak mau harus memikirkan ruang bansos dan seterusnya, kalau masyarakat menengah mungkin tidak masalah, tapi masyarakat kecil ini semakin susah,” pungkasnya. (dpi)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer