26.5 C
Mataram
Rabu, 24 April 2024
BerandaSastraCerpenKisah Mayat yang Menyeret Tubuhnya ke Pemakaman - Cerpen Aliurridha

Kisah Mayat yang Menyeret Tubuhnya ke Pemakaman – Cerpen Aliurridha

Ini cerita tentang sesosok mayat. Benar-benar mayat. Masih segar. Baru saja meninggal. Penyebab meninggalnya tidak diketahui pasti. Namun satu yang pasti, ia telah mati. Benar-benar mati. Maka bisa dibayangkan betapa terkejut warga kampung ketika melihat si mayat bangkit, berjalan terseok-seok menyeret tubuhnya menuju makam istrinya. Mayat itu hendak meminta istrinya agar membantu mengangkat kerandanya dan menggali tanah kuburnya karena tampaknya tak satu pun manusia hidup sudi melakukannya.

Setelah istrinya yang terakhir meninggal, si mayat yang tidak lagi punya keluarga di sisa-sisa hidupnya tinggal seorang diri dalam sebuah rumah yang dipenuhi kekosongan. Mayat ini sebenarnya tidaklah sebatang kara, ia punya lima orang anak dari dua istri yang berbeda. Istrinya pun sebenarnya bukan hanya dua. Namun hanya dua yang diketahui melahirkan anak dari benihnya; dan hanya dua pula yang sampai si mayat mati, sudi bertahan bersamanya. Mungkin anaknya pun lebih dari lima, tapi hanya lima yang terdaftar dalam dokumen resmi negara. Dan dari kelima anaknya itu, tidak satu pun yang sudi datang ketika mendengar kabar ia meninggal dunia. Bagi anak-anaknya, si mayat telah lama menjadi mayat, jauh sebelum ia secara harfiah menjadi mayat.

Setelah si mayat dikafani dan dimandikan, tetangganya segera menghubungi anak-anaknya. Syahrul, anak pertamanya, menjadi yang pertama menolak datang. “Aku tidak punya ayah,” kata Syahrul dingin. Syahrul rupanya masih tidak bisa melupakan peristiwa ketika ayahnya mengusirnya dari rumah, membuangnya dari ahli waris, lalu menyumpahinya miskin seumur hidup hanya karena Syahrul protes ketika ayahnya diam-diam kawin lagi. Sebenarnya bukan karena ayahnya kawin lagi yang membuat Syahrul protes, bukan pula karena perkawinan itu dilakukannya diam-diam—sudah tiga kali juga ayahnya kawin diam-diam—Syahrul protes lantaran ayahnya kawin dengan seorang wanita malam, dan wanita malam ini memiliki usia yang bahkan lebih muda dari Syahrul.
“Kamu benar-benar anak keras kepala, tidak bisa betul dikasih tahu. Ayah sedang menyelamatkannya, mengarahkannya menuju jalan yang lurus, menafkahinya secara halal agar ia tidak perlu hidup seperti itu,” ujar ayahnya pada Syahrul waktu itu. Meski begitu, ia tahu ayahnya membuat alasan semacam itu hanya untuk menutupi syahwat.

Wanita itu sungguh cantik. Syahrul mengakuinya. Ia saja berkali-kali dibuat berahi ketika memandang wajah atau sekadar menatap mata wanita itu. Namanya saja sudah membuat Syahrul berahi: Melisa. Oh, betapa indahnya. Suara dan gerak tubuh Melisa acap kali bikin Syahrul menelan ludah. Sepertinya tidak ada bagian dari diri Melisa yang tidak membuatnya berahi. Karenanya, ia tidak sudi melihat Melisa kawin dengan ayahnya. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan hati dari punya ibu tiri yang lebih cantik dari istri sendiri.

- Advertisement -

Rasa kesal Syahrul atas pernikahan ayahnya dengan Melisa bahkan lebih besar dari rasa kesalnya ketika ayahnya pulang membawa kedua anak dari istri keduanya ke rumah. Syahrul tidak terima lantaran sepanjang malam menjelang hari itu, ia melihat ibunya menangis. Tangisan itu terdengar begitu perih, lirih, hingga Syahrul ikut menangis ketika mendengarnya. Namun ibunya berhenti menangis ketika melihat dua bocah yang dibawa ayah Syahrul, yang tidak lain adalah keponakannya sendiri. Tangisnya diganti senyum penyambutan. Dirangkulnya kedua anak itu seperti ia merangkul anak-anaknya sendiri. Dirangkulnya ibu dari kedua anak itu yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Syahrul heran, ia sempat berpikir ibunya benar-benar pandai bermain sandiwara. Meski sampai saat ini, ia tidak benar tahu; senyum ataukah tangis ibunya yang merupakan sandiwara?

Anak keduanya, Zinnia, juga menolak ketika diminta datang. Ia membenci ayahnya mulai dari kulit sampai ke tulang sumsum. “Tidak akan ada bedanya aku datang atau tidak, toh dia sudah mati,” kata Zinnia.

Zinnia rupanya masih memendam dendam lantaran ayahnya dulu hendak mengawinkannya pada seorang saudagar tua nan jelek yang ingin meminangnya. Ia melawan. Ia menolak dengan cara paling sopan sampai cara yang paling kasar. Tetapi ayahnya seperti orang tuli yang tidak peduli. Keputusannya sudah bulat, Zinnia tetap harus kawin dengan Haji Romli. Kemudian Zinnia dengan segala jerit suara hati meminta ibunya untuk meyakinkan ayahnya agar ia tidak perlu kawin dengan Haji Romli. Ibunya malah berkata, “bantulah ayahmu. Dia sedang punya banyak masalah. Hutangnya ada di mana-mana.” Zinnia benar-benar tidak habis pikir dengan ibunya yang malah ikut mendukung keputusan ayahnya, seolah keputusan ayahnya adalah perintah Tuhan.

“Kalau ayah tidak sering kawin, ia tidak akan perlu sampai berhutang sebanyak itu Bu,” balas Zinnia kesal. “Kenapa sih ibu masih saja membelanya? Kenapa ibu masih mau bertahan dengan ayah? Padahal ibu bisa cari uang sendiri.”

Ibunya tertunduk diam, tak tahu harus berkata apa. Kemudian dari bibirnya yang lebih sering melantunkan tangisan daripada kata, meluncurlah kata-kata yang mungkin baginya bijak namun terdengar memuakkan di telinga Zinnia. “Dunia mungkin kejam buat ibu Nak, tapi ibu percaya pada janji-Nya,” kata wanita tua itu.

Zinnia hampir saja muntah mendengar kata-kata ibunya. Ia muak dengan cara ibunya menyikapi hidup. Karena merasa tidak ada lagi yang bisa dipelajari dari ibunya selain hidup berkubang kekalahan, Zinnia kabur dari rumah. Ia kabur dengan seorang miskin berwajah brutal yang tinggal di kaki gunung. Sebenarnya wajah suaminya ini tidak beda jauh dengan Haji Romli, hanya saja ia lebih muda. Zinnia, ketika itu berpikir, selama orang itu bukanlah bangkot tua yang akan memberikan ayahnya banyak uang, siapa saja bukan masalah. Ia hanya ingin segera hengkang dari rumah yang tidak pernah menjadi surga bagi penghuninya.

Begitu mengetahui Zinnia kawin lari, ayahnya berkata kepada Zinnia: “Jangan pernah sentuh mayatku jika aku mati. Aku tidak sudi mayatku disentuh oleh tangan kotor anak durhaka.”

Ayahnya benar-benar marah. Ia tidak habis pikir bisa dipermalukan sedemikian rupa oleh wanita. Selama ini ia selalu berhasil menaklukan wanita mana pun. Ia memang tampan dan lidahnya pun begitu lentur merayu. Selain lentur lidahnya ini licin betul. Lidahnya selalu sukses mempenetrasi lubang sempit di hati wanita. Kata-kata yang keluar dari bibirnya begitu manis, semanis kurma ajwa. Karenanya ia benar-benar tidak habis pikir kalau wanita yang pertama mempermalukannya justru anaknya sendiri.

Setelah Syahrul dan Zinnia menolak datang, giliran Azalia yang dihubungi. Azalia juga menolak. Dari sekian banyak anaknya, Azalia adalah yang paling perasa, penurut, dan lembut hatinya. Namun sejak ayahnya sakit, tidak sekalipun Azalia mau memperlihatkan batang hidungnya. Azalia tidak pernah lagi menjenguk ayahnya sejak ibunya meninggal.

Azalia dulu tidak begitu. Dulunya ia begitu murni, semurni emas dua puluh empat karat: berkilauan tapi lembek. Azalia menerima segala perintah ayahnya, seolah itu adalah titah sang raja. Bahkan ketika ia yang baru kelas satu SMA dipaksa menikah dengan Haji Romli menggantikan kakaknya yang kabur, ia tidak menolak. Semua itu dilakukannya karena ia tidak sanggup lagi melihat ibunya yang tidak pernah berhenti menangis sejak kakaknya kabur. Ibunya memintanya menuruti perintah ayahnya karena cuma itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarga mereka. Ibunya benar-benar mengatakan menyelamatkan keluarga ini, padahal yang dia maksud adalah menyelamatkan suaminya. Azalia menerima takdirnya, seperti ibunya yang menerima takdir menikahi pria yang salah. Tapi ia menjadi murka, karena setelah itu ayahnya malah kawin lagi dengan wanita yang kemudian menyakiti hati ibunya sampai ke liang lahat. Ibunya yang dikenalnya sebagai wanita paling pemaaf sedunia, di akhir hidupnya bersumpah kalau sampai mati pun, ia tidak akan pernah memaafkan wanita yang mengambil suaminya. Dan benar saja, berselang dua bulan setelah mengatakan itu, dia benar-benar mati.

Kemudian Rozak dan Zakiyah, anak si mayat dari rahim istri keduanya, juga dihubungi. Mereka sama-sama menolak. Mereka rupanya belum bisa melupakan bagaimana kegilaan ayah mereka membakar akta kelahiran keduanya, hingga mereka, baik secara emosional maupun legal, tidak lagi memiliki ikatan dengan seseorang yang seharusnya mereka panggil Ayah. Semua itu terjadi setelah ayahnya bercerai dengan ibu mereka. Saat itu ayah mereka tidak pernah sekalipun menafkahi keduanya, membuat ibu mereka marah. Hingga suatu ketika Zakiyah yang masih bau kencur, belum mengerti urusan orang dewasa, mengulangi apa yang dikatakan ibunya. “Fahri itu bukan ayahku,” katanya kepada teman-teman bermainnya. Perkataannya itu kemudian menyebar lebih cepat dari virus influenza, hingga sampai ke telinga Fahri.

Masih dengan tertatih-tatih Fahri yang saat ini telah jadi mayat berjalan ke makam istri terakhirnya, Dahlia. Dahlia adalah seorang wanita yang membuat Zainab—ibu dari Syahrul, Zinnia, dan Azalia—mendendam sampai mati. Zainab sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan soal berbagi suami, karena itu juga bukan pertama kali. Tapi dengan Dahlia, ia tak kuasa untuk terus bersabar. Istri terakhir Fahri ini adalah seorang janda kaya, ia memonopoli Fahri seolah laki-laki itu adalah properti pribadi. Dahlia memang sukses membuat Fahri bertekuk lutut hingga tidak lagi mau pulang ke rumah Zainab yang dulunya selalu menjadi tempat ia pulang setelah istri-istrinya meninggalkannya. Sebenarnya bukan cinta berlebih yang membuat Fahri bertekuk lutut pada Dahlia, tapi karena hutang yang berlebih membuat ia selalu bergantung kepada Dahlia. Kemudian ketergantungan itu berubah menjadi cinta yang begitu murni, semurni cinta hewan peliharaan kepada majikannya. Namun tidak lama setelah itu, Dahlia pun meninggal, dan Fahri sudah tidak punya lagi tempat untuk pulang. Kini ia hendak menagih janji sehidup semati yang mereka pernah ucapkan.

Sesampainya di makam Dahlia, Fahri mencoba menggali kuburnya. Ia berteriak-teriak, meminta istrinya itu untuk membantu mengangkat keranda dan menguburkan jasadnya. Ia mengemis-ngemis, memohon-mohon sambil mengucap janji suci mereka. Namun hanya desiran daun-daun pohon ketapang yang digoyangkan angin yang menjawab. Fahri terus saja berteriak memohon-mohon. Hampir tidak ada suara lain di pemakaman itu selain suaranya sendiri.

“Asu! Wanita pembohong,” umpat Fahri kemudian.

“Eh, mayat goblok.” Terdengar balasan dari liang kubur, membuat Fahri kaget bukan main. “Selama saya hidup kamu bikin susah saya. Saya mati pun masih kamu cari. Hidupmu bikin susah orang, mati juga masih mau bikin susah orang. Ini kan kamu sudah sampai tanah kuburan. Buat apa kamu minta-minta saya angkat kerandamu. Sana pilih tempat dan gali sendiri.”

Makian Dahlia mengagetkannya. Fahri kemudian menatap ke sekeliling, kepada makam-makam yang semakin padat. Nisan-nisan yang terlihat semakin berdekatan dan nyaris tidak ada jarak. Hanya ada satu lokasi yang agak senggang, di bawah pohon kamboja di mana daun-daun kering berserakan dan rumput tinggi yang kurang terurus. Mendadak ia merasa takut, ia memang selalu takut sendiri.

“Boleh tidak saya di sini saja,” kata Fahri, menunjuk makam Dahlia.

“Malas. Sana gali sendiri makammu. Saya mau kembali ke surga.” (*)

Blencong, Agustus 2021

Aliurridha, penerjemah dan penulis. Ia menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Cerpen-cerpennya telah terbit di Kompas, Tempo, Jawa Pos Republika, Pikiran Rakyat, Ceritanet.com, Lensasastra.id, dll.

 

- Advertisement -

Berita Populer