26.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024

Asa Jingga

Senja mulai menyapa bumi. Sang Surya meredupkan teriknya, melukis angkasa dengan warna kelabu. Dia mulai tenggelam di ufuk barat tapi nampaknya masih enggan untuk bertukar dengan Dewi Malam.  Semburat warna kuning kemerahan menghias cakrawala, terpantul di permukaan riak ombak yang berkilauan. Pepohonan, bukit-bukit yang berdiri kokoh, ayunan kayu dengan tali tambang plastik, arena permainan perosotan, bahkan batu besar dan bangunan-bangunan yang berada di sekitar pantai itu berubah menjadi siluet. Senja temaram nan jingga.

“Jingga…ayo kita pulang!” Teriak seorang anak lelaki tanggung berkulit coklat gelap di antara kerumunan pengunjung Pantai Kuta Mandalika.

“Iyaaa…tunggu. Aku mau memasukkan barang daganganku dulu.” Seorang remaja putri membalas teriakan anak lelaki itu dengan suara yang melengking.

Gadis remaja itu berwajah bulat telur dengan mata besar yang berbinar. Bulu matanya panjang dan lurus. Alisnya melengkung indah, rambut alisnya rapi seperti semut hitam yang sedang berbaris. Simetris di tengah wajah oval itu tegak berdiri hidung yang mancung, bibir pink yang mungil dan dagu yang menyerupai ujung telur ayam kampung. Rambutnya yang lurus, tebal, dan hitam diikat seperti ekor kuda dengan poni yang menutupi jidat sampai ke atas alisnya. Kulitnya bersih berwarna putih kekuningan. Tubuhnya tegap ditopang dengan kedua tungkai kakinya yang panjang. Tinggi badannya sekitar 160 cm, cukup tinggi untuk ukuran anak perempuan berusia lima belas tahun.

Kedua tangannya dengan cepat melebarkan sebuah tas kain yang dia bawa dan mulai memasukkan topi kain yang beraneka warna. Di bagian samping kiri topi-topi itu ada bordiran dengan tulisan MANDALIKA BEACH dan di sebelah kanannya bertuliskan LOMBOK ISLAND. Bagian depan topi itu dibordir dengan gambar khas tepi pantai yaitu pohon kelapa, matahari, dan ombak laut.

“Bagus… bantu aku dong biar kita cepat pulang,” gadis berambut  ekor kuda itu berteriak nyaring. Bagus bergegas menghampirinya.

“Kamu itu kebiasaan yaaa…setiap mau pulang pasti nyuruh aku ikut rapikan barang daganganmu, “ omel Bagus. Jingga menyeringai kecil, memperlihatkan deretan gigi kelincinya.

“Please…bantu aku memasukkan gelang-gelang ini ke tempatnya, ” Jingga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada dan mulai memasang aksi mengubah raut wajahnya menjadi moda muka memelas sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Apa yang harus aku rapikan?” tanya Bagus sambil mengerucutkan bibirnya.
“Itu.” Jawaban singkat Jingga membuat mata Bagus terbelalak.

Bagaimana bisa kedua netra hitam itu tidak melotot… Bagus melihat tumpukan gelang manik-manik  berwarna hitam dan coklat serta gelang anyaman benang berwarna warni bertuliskan LOMBOK yang berserakan di atas terpal kecil berwarna biru. Jingga menyodorkan sebilah kayu pipih yang ringan berukuran pajang kurang lebih empat puluh sentimeter dan lebar sepuluh centimeter tempat untuk menyusun gelang-gelang itu.

“Hhhhhhhh…kamu itu memang selalu merepotkan.” Bagus masih melanjutkan omelannya sambil tangannya mulai mengambil beberapa  gelang manik-manik  dan menyusunnya satu per satu di lempengan bilah kayu yang disodorkan Jingga.

“Jingga…kamu yang masukkan gelang-gelang anyamannya. Terus nanti kalau sudah sampai di rumah, aku mau minta makan sama Ibu kamu. Mamak aku gak ada di rumah. Mamak pergi ke rumah Papuk  dari tadi pagi. Kalau aku nunggu mamak pulang, aku bisa mati kelaparan dan kehausan.” Bagus menuturkan instruksi dan persyaratannya kepada Jingga.

“Iiiiiiissssshhhhh…kamu bantu aku tapi ada maunyaaa… Iyaaa ntar kamu makan di rumahku. Seingatku hampir setiap hari kamu selalu minta makan sama Ibu. Malah ayam goreng jatahku sering kamu embat juga,” balas Jingga sambil mencibirkan bibir mungilnya.

“Mau aku bantu atau nggak niiiiiiih?” ancam Bagus sambil memicingkan kedua matanya.

“Iya…iyaaa… Gus, orang yang suka marah itu ntar mukanya jelek dan keriput kayak nenek sihir,” balas Jingga sambil memukul pelan bahu Bagus. Diam-diam Bagus tersenyum dikulum, dia membayangkan olahan tangan ibunya Jingga yang selalu membuatnya lahap. Plecingan ayam, ayam goreng lengkuas, ikan kuah kuning, sambal bajo, prekedel jangung, tempe tahu goreng krispi, plecing kangkung, terong bakar, sayur bening  daun kelor dan sambal mentah. Mmmmmhhh…semua bayangan masakan bu Anin itu membuat perutnya semakin keroncongan.

“Alhamdulillah…akhirnya selesai juga. Ayo Gus kita cabut,” ajak Jingga dengan wajah sumringah, “makasih ya udah bantu aku.”

“Iyaaa…sama-sama. Seingatku tiap hari juga aku selalu bantu rapikan dagangan kamu, ” jawab Bagus membalas sindiran Jingga. Jingga kemudian menjulurkan lidah dan menjulingkan matanya untuk membalas sindiran Bagus. Bagus menjentik jidat Jingga dan dia berhasil membuat gadis remaja itu berteriak, “Baguuuuusss … awas kamu yaaa!”

Bocah lelaki itu melesat  berlari kencang diikuti oleh Jingga yang mengejarnya dengan sekuat tenaga. Angin pantai yang tambah menderu semakin memporak porandakan rambutnya. Bagus berlari sambil tertawa karena dia berhasil menjahili sahabatnya. Tangan kanan Jingga terulur meraih leher kaos yang dipakai Bagus, sedangkan tangan kirinya berusaha menjitak kepala Bagus. Bagus melindungi bagian atas dan samping kepala dengan kedua tangannya sembari tubuhnya berkelit ke kiri dan ke kanan menghindari amukan Jingga.

“Udah…udaaaaaah. Ampuuuuun. Capeeek…hauuuuus,” Bagus meminta Jingga untuk menghentikan serangannya.

“Aku kasih jurus Kamehame, baru tau rasa kamu, Gus,” omel  Jingga gemas karena tidak berhasil menjitak kepala Bagus. Akhirnya kedua sahabat itu berjalan pelan dengan nafas yang terasa kering di rongga hidung, melangkah di antara seliweran pengunjung yang masih betah menikmati sunset di pantai Kuta Mandalika.

Tidak hanya lalu lalang pengunjung saja yang mendominasi area tepi pantai yang berpaving block itu, tetapi juga laju sepeda listrik sewaan yang hilir mudik melaju ke berbagai arah mengikuti hasrat hati dan kesenangan yang diinginkan pengemudinya.
Beberapa kali Jingga dan Bagus menghentikan langkah kaki mereka untuk kemudian menghindar ke tepi trotoar karena berpapasan dengan bocah-bocah yang berpacu mengendarai sepeda-sepeda listrik itu. Sayup-sayup terdengar suara adzan Maghrib berkumandang dari Masjid besar di kawasan ITDC Kuta Mandalika. Jingga dan Bagus mempercepat langkah kaki mereka agar lekas sampai di rumah.

***

“Assalamualaikum. Buuu…Jingga pulang,”

Jingga mengucapkan salam sambil melangkah masuk dari pintu samping rumah. Jika dilihat dari bentuk fasadnya, rumah itu termasuk tipe rumah milik middle class family. Rumah berlantai 2 dengan model minimalis, dindingnya dicat dengan warna avocado, dihiasi dengan bingkai jendela pabrikasi dan terali besi yang berwarna putih. Rumah yang nampak asri dengan berbagai tanaman hias, seperti: Jasmine, Palm Kipas, Lidah Mertua, Naga Madagaskar, Aglonema Silver Queen, Sukulen dan anggrek, berdiri kokoh di tengah area lapang yang dipenuhi pepohonan rindang dan batang-batang pohon kelapa.

Sebenarnya Jingga memiliki kehidupan yang berkecukupan. Jingga berjualan gelang-gelang di pantai karena dia ingin mempunyai uang tabungan dari hasil keringatnya sendiri. Di samping itu, Jingga juga ingin menemani Bagus yang memang perlu mencari uang tambahan untuk membantu meringankan kesulitan Mamaknya yang berperan sebagai seorang ayah dan ibu bagi dirinya.

Sementara itu, dari arah kamar tidur utama muncul seorang wanita yang berusia sekitar empat puluh lima tahun. Garis-garis kecantikan yang alami masih nampak di raut wajahnya yang keibuan.

“Waalaikum salam, ” jawab Bu Anin yang sudah mengenakan mukena putih untuk melaksanakan sholat Maghrib. “Ayo cepat mandi, Jingga. Sholat berjamaah bersama Ibu. Ibu akan menunggu sampai kamu siap, Nak,” bu Anin mengajak Jingga sholat berjamaah dengannya.

“Bu, Jingga mungut anak yang terlantar di jalan tuh. Dia juga harus mandi dan ganti baju,” Jingga memberi tahu Bu Anin sambil sudut matanya mengerling ke arah Bagus yang muncul dari arah samping kiri tubuhnya.

“Oalaaaaah…ayo Gus segera mandi juga. Ibu ambilkan kaos dan celana yang sudah tidak dipakai sama mas Banyu yaaa… Bajunya masih layak pakai koq, masih bagus. Mas Banyu badannya cepat bertambah tinggi dan besar, jadi bajunya tidak muat lagi,” kata bu Anin, “Jingga, kamu mandi di kamar mandi belakang. Gus, kamu mandi di kamar mandi tamu yaa.”

“Bu…anaknya Ibu itu aku, Asa Jingga Bidari, bukannya orang jelek ini,” kata Jingga sambil menggerakkan dagunya ke arah Bagus.

“Gus, kamu yang mandi di belakang. Aku mau mandi di kamar mandi tamu. Bye.” lanjut Jingga.

Bu Anin hanya menggelengkan kepalanya. Jingga dan Bagus memang sudah bersahabat sejak mereka masih kecil. Pak Pramono memboyong Bu Anin, Banyu Biru Prama dan Asa Jingga Bidari pindah ke Lombok Tengah pada tahun 2012. Pak Pramono, S.T., M.T. merupakan salah satu konsultan akhli yang bertugas mengawasi mega proyek pemerintah Kabupaten Lombok Tengah pada saat pembangunan akses jalan BIL tahap II. Selanjutnya pada tahun 2019 Pak Pramono membuat Pedoman Tata Bangunan dan Lingkungan untuk Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), BUMN pengembang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Mandalika.

Saat pertama kali tiba di Lombok, Jingga masih berusia lima tahun dan Bagus pun seumuran dengannya. Rumah yang mereka tempati saat itu hanya berjarak seratus meter dari tempat tinggal Bagus. Bu Ardawiyah, mamaknya Bagus, adalah seorang ibu rumah tangga yang memberikan layanan jasa berupa bersih-bersih rumah, cuci baju, setrika baju dan momong anak bagi siapa pun tetangga yang membutuhkannya.

Suami bu Arda sudah meninggal saat Bagus masih berusia satu tahun. Bu Anin trenyuh hatinya saat Bu Arda berkunjung ke rumah mereka sambil menuntun bocah lelaki yang kurus. Dia menawarkan  jasa bersih-bersih rumah, mencuci baju, menyetrika baju atau pun momong anak dengan bayaran seikhlasnya dari tuan rumah. Sejak saat itulah, Bu Anin menerima bu Arda untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sambil  momong Jingga cilik yang super aktif dan cerewet.

Bagus kecil tentu saja menjadi teman main Jingga. Teman rebutan mainan dan jajanan yang selalu berakhir dengan tangisan Bagus. Meskipun kelihatannya seperti Tom and Jerry, Jingga sayang kepada sahabatnya itu. Keluarganya pun sudah menganggap Bu Arda dan Bagus sebagai anggota keluarga mereka juga.

Jingga sudah selesai mandi. Tubuhnya terasa segar dan wangi. Jingga tidak bisa berlama-lama berendam air hangat di dalam bath tub seperti biasanya. Bahkan dia hanya menggunakan shower untuk mengguyur tubuhnya mulai dari puncak kepala sampai ke ujung kaki. Jingga hanya memerlukan waktu lima menit untuk membersihkan seluruh anggota tubuhnya yang berbau matahari.

Sekarang dia sudah memakai mukena berwarna dasar baby pink dengan bunga tulip berwarna merah, kuning dan violet di ujung   bagian atas dan bawah mukenanya. Jingga segera bergabung dengan bu Anin di mushola yang letaknya bersebelahan dengan ruang kerja Pak Pramono.

Pak Pramono merancang desain mushola yang berukuran 3 x 4 meter itu dengan gaya minimalis bernuansa etnik yang membuat ibadah sholat tambah khusuk. Di bagian tempat imam sholat, dindingnya membentuk sebuah ceruk ke dalam sekitar 1 meter. Di depannya ada sebuah frame berbentuk kubah dengan asma  ALLAH berhuruf hijaiyah yang terbuat dari logam keemasan. Asma ALLAH itu dibingkai dengan hiasan etnik bermotif subhanallah dengan material logam keemasan juga. Di bagian bawah dari bingkai itu dipasang lampu down light berwarna putih kekuningan yang menambah nuansa syahdu.

Tulisan-tulisan Asma ul-Husna berwarna rose gold mengelilingi dinding mushola yang berwarna  putih tulang. Plafon mushola dibuat cukup tinggi, berlapis dua di keempat tepinya dan dihiasi dengan sinar lampu down light yang mengintip dari celah-celahnya. Untuk lantainya dipilih paraket yang terbuat dari kayu jati. Di lantai itu telah terpasang tiga sajadah tebal yang berwarna merah dengan hiasan Ka’bah.

Bagus sudah memakai baju dan sarung, lengkap dengan kopiah beludru hitam di kepalanya. Dia berjalan menuju mushola untuk menjadi imam sholat bagi bu Anin dan Jingga karena Pak Pram dan Mas Banyu belum pulang ke rumah.

“Jingga, iqomat dulu, Nak. Ayo Gus, kamu juga pasti bisa menjadi imam sholat seperti Ayah dan mas Banyu,” kata bu Anin kepada Jingga dan Bagus.

Setelah Jingga menyelesaikan iqomat, mereka mengucapkan niat sholat Maghrib dalam hati.

“Allohu akbar,” Bagus mulai mengkomando dengan bacaan takbir untuk selanjutnya menjadi imam sholat.

***

Tok tok tok.

“Jingga…kamu sudah siap belum? Mas harus cepat berangkat karena kebagian tugas menjadi pemimpin upacara Hari Pahlawan,” Banyu Biru mengetuk pintu kamar adiknya yang masih sepi. Biasanya Jingga bersiap memakai seragam sekolah sambil memutar lagu Black Pink atau BTS. Jingga bahkan ikut menyanyikan lagu-lagu hits mereka sambil memperagakan gerakan-gerakan  dance dari Korean Girls Band dan Boys Band itu. Yaaa, seperti remaja-remaja yang lain, Jingga tidak hanya menjadi seorang BLINK tetapi juga menjadi seorang ARMY.

Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada jawaban dari adiknya, Banyu Biru membuka pintu di hadapannya dan ternyata kamar itu kosong melompong. Di hadapannya terlihat sebuah poster yang besar dengan foto tujuh angggota BTS yang sedang tersenyum ke arahnya. Banyu Biru menoleh ke area sebelah kiri, tempat tidur Jingga terlihat rapi dibungkus dengan seprei dan bed cover berwarna hijau pupus. Ada beberapa boneka kucing, anjing, panda, monyet, gajah, kuda nil dan jerapah yang berjejer di sebuah rak yang menempel di dinding samping tempat tidurnya.

“Mmmmm…katanya mau numpang pergi ke sekolah, taunya udah gak ada aja. Dasar bocah,” Banyu Biru bicara sendiri sambil menutup kembali pintu itu.

Banyu kemudian mencari Bu Anin dan Pak Pram untuk pamit berangkat ke sekolah.

“Bu…Jingga sudah berangkat ke sekolah?  Katanya mau diantar sama Mas,” tanya Banyu kepada Bu Anin.

“Oh iyaaa…jam setengah tujuh pagi Jingga sudah berangkat minta diantar sama Ayah. Jingga bilang sama Ibu untuk menyampaikan pesan sama Mas, Jingga menjadi  petugas pengibar bendera. Hari ini peringatan Hari Pahlawan khan Mas? Jingga sudah dandan cantik, adikmu itu tidak mau dandanannya rusak kena angin makanya Jingga minta diantar sama Ayah,” Bu Anin memberikan penjelasan atas ketidakberadaan Jingga di pagi hari itu.

“Mas pamit berangkat ke sekolah kalau gitu,” kata Banyu Biru sembari mencium tangan dan mencium kedua pipi Bu Anin .

“Mas sudah sarapan?” tanya Bu Anin, “Ibu sudah menyiapkan roti bakar coklat keju dan minuman susu coklat di meja makan.”

“Mas sudah minum susu coklatnya. Rotinya Mas masukkan ke dalam lunch box. Mas ambil 2 tangkup, ya Bu,” jawab Banyu Biru.

“ Ambil berapa pun yang Mas mau. Jingga bahkan tidak mau bawa bekal roti, dia mau sarapan di kantin sekolah saja. Ayah juga sarapannya cukup makan roti satu tangkup dan minum kopi. Sisanya Ibu yang makan. Bagaimana Ibu mau melakukan program diet kalau harus menghabiskan makanan terus,” kata Bu Anin sambil mengusap kepala anak sulungnya.

“Hati-hati berkendaraannya, ya Nak. Jangan ngebut. Selalu ucapkan Bismillahi tawakaltu alallah supaya Mas selalu dilindungi oleh Allah swt, “ lanjut Bu Anin.

“Nggeh, Ibu. Mas berangkat ke sekolah dulu, yaaa. Bye bye, Mommy,” pamit Banyu sambil  menggerakkan tangan, memberikan sebuah kiss bye  kepada Bu Anin. Bu Anin merespon dengan menggerakkan tangan kanannya seperti menangkap sesuatu di udara. Banyu terkekeh dibuatnya. Brum bruuumm  bruuuuumm, motor digas sebanyak tiga kali, tekan kopling, masuk ke gigi satu dan meluncurlah motor Honda CBR 250 warna merah hitam itu.

***

Teeeet… teeeeeeet

Bel tanda istirahat berbunyi sebanyak dua kali.

“Jinggaaa…,” seseorang menepuk bahu Jingga.

“Mmmmm, “ Jingga bergumam pelan, tidak menoleh karena sudah sangat hapal dengan pemilik suara itu.

“Aku lapaaaaar… “ suara itu sedikit merengek.

“Kalau lapar ya makaaaaaaan, “ jawab Jingga sambil membalikkan badan, melihat wajah yang merengek tadi.

“ Kita ke kantin, yuk. Tapi kamu yang bayarin dulu yaa. Aku lupa gak minta uang jajan sama Mamak tadi pagi, “ suara itu berubah memelas.

“Idiiiiiiih… harusnya cowok yang bayarin cewek kaliiiii, “ jawab Jingga sambil bangkit dan melangkah ke luar kelas.

“Jinggaaa… tunggu. Kamu tega membiarkan aku kelaparan dan kehausan? “ suaranya tambah memelas. Netra hitamnya mengerjap-ngerjap dan  kedua tangannya menyembah di depan dada menirukan apa yang biasanya Jingga lakukan jika dia sedang melancarkan aksi modusnya.

“Suatu saat nanti jika aku sudah bekerja dan punya uang yang banyak, aku bakalan traktir kamu makan apa saja yang kamu mau. Bahkan kalau kamu mau makan di restoran yang paling mahal di dunia pun,  aku akan bayar pakai kartu kredit yang warnanya hitam, “ suara itu berubah membujuk.

“Aamiin. Iiiiiiiiiissssshhhhh lama-lama aku gadein orang yang namanya Bagus Pratama Putra di Ibu Kantin lhooo… Biar dia jadi tukang cuci piring sampai lulus sekolah buat bayar hutang makannya di kantin. Baguus… Baguuuus…makannya banyak tapi kamu tetap aja kurus. Kamu beternak cacing pita di perut yaaa?” ledek Jingga.

“Aku mau makan soto ayam plus ceker dan lontong, “ Bagus, mengutarakan keinginannya kepada Jingga, “kamu mau makan soto juga khan, Jingga? “

“Enggaaaaak… aku mau makan mie ayam bakso ceker, “ jawab Jingga.

“Ya udah, aku juga makan mie ayam bakso ceker plus lontong dua biji, “ Bagus menyeringai saat mata Jingga melotot ke arahnya.

Sesampainya di kantin, Jingga berjalan ke arah tempat jualan mie ayam.

“Pak Kumis, Jingga mau makan mie ayam bakso ceker yaaa. Minumnya Fruit Tea yang rasa black currant. Jingga juga minta es batu di gelas, ya Pak, “ Jingga memesan makanan  dan minuman yang diinginkannya.

“Saya pesan makanan dan minuman yang sama seperti pesanan Jingga plus lontong 2 biji ya, Pak Kumis, “ Bagus menimpali pesanan yang diminta Jingga.

“Siap Boss. Mbak Jingga dan Mas Bagus cari tempat duduk dulu. Mie ayam bakso ceker maknyooosss Pak Kumis segera meluncur, “kata Pak Kumis sambil mengacungkan tangan kanannya di udara, ujung jari telunjuk dan jempol bersatu membentuk huruf O. Tak lama menunggu Jingga dan Bagus dengan lahapnya menikmati mie ayam bakso ceker Pak Kumis yang memang maknyooosss rasanya. Mmmmmmm yummy yummy…

Teeeeeet… teeeeeeeeeet… Bel panjang berbunyi sebanyak dua kali tanda waktu istirahat sudah selesai. Jingga bangkit dari bangku kantin, membayar mie ayam yang dia dan Bagus makan. Jingga merasakan bibirnya sedikit dower karena dia terlalu banyak menaruhkan sambal ke dalam mangkuk mie ayamnya. Mulutnya masih mendesis karena rasa panas yang membakar lidah dan bibirnya. Jingga  menjulurkan lidahnya. Dia  renggangkan rahangnya, membuat celah diantara kedua bibirnya, dan mulai meniup-niupkan udara dari rongga mulutnya ke arah lidah merahnya itu.

“Gus… caliin pelmen di Kopsis. Buluaaaaan… pedeeeees niiiiii. Beli pelmen dua lebu aja. Nii uangnaaa, “ suara Jingga petal karena dia bertutur sambil menjulurkan lidahnya. Bagus terkekeh-kekeh melihat Jingga yang terlihat seperti dewi ular, mendesis-desis sambil menjulurkan lidahnya. Segera dia lari ke Kopsis untuk membeli permen. Dia tukar uang kertas yang bergambar pahlawan nasional Mohammad Hoesni Thamrin itu dengan empat buah permen Relaxa rasa lemon.

Secepat kilat Bagus berlari menuju ruangan kelas IX-3 sebelum Miss Nana mendahuluinya. Miss Nana adalah guru Bahasa Inggris kelas IX sekaligus wali kelas mereka. Miss Nana  selalu hadir di kelas tepat waktu. Di awal tahun ajaran baru, saat Miss Nana masuk untuk pertama kalinya di kelas IX-3, mereka membuat Classroom Agreement. Isi dari Classroom Agreement itu berupa kontrak kesepakatan selama satu tahun pelajaran yang berisi tentang aturan-aturan selama pembelajaran Bahasa Inggris. Seluruh siswa di kelas IX-3 yang mengusulkan aturannya beserta konsekuensinya jika ada siswa yang melanggar kesepakatan bersama itu.

Salah satu kesepakatanya adalah The students must be in the classroom before the teacher. The tolerated lateness is not more than five minutes. The consequence of being late is the student must clean the classroom after school for three days.

Bagus tidak mau datang terlambat di pelajaran Bahasa Inggris karena konsekuensinya harus menyapu ruangan kelas setelah pelajaran selesai selama tiga hari berturut-turut.

Sesampainya di kelas, Bagus memberikan tiga buah permen kepada Jingga. Satu permen dia buka bungkusnya dan memasukkan isinya ke mulutnya sendiri. Bagus merasa kehausan setelah dia berlari  dari Kopsis ke ruangan kelasnya yang berada di lantai dua. Lima menit telah berlalu tapi belum terdengar suara hak sepatu wanita yang melangkah ke kelas IX-3. Belum juga ada bayangan Miss Nana melangkahkan kakinya di undak-undakan tangga yang menjadi akses menuju ruangan-ruangan kelas di lantai dua.

Tujuh menit telah berlalu. Jingga berinisiatif menjemput Miss Nana di Ruang Guru. Sebagai seorang ketua kelas, Jingga bertanggung jawab untuk menjaga suasana kelas tetap kondusif. Teman-temannya mulai berpindah tempat duduk.  Mereka melanjutkan obrolan yang tidak tuntas  dibicarakan di kantin pada  jam istirahat tadi. Sepuluh menit telah berlalu, Jingga yang pergi menjemput Miss Nana di ruang guru pun belum kembali.

Anak-anak di kelas IX-3 mulai membuat kegaduhan. Sebagian besar dari mereka membuka applikasi Tik Tok untuk melihat postingan terbaru di account Tik Tok Bunda Corla. Postingan Bunda Corla di Tik Tok memang selalu FYP. Tingkahnya yang lucu, gaya bicaranya yang nyablak serta ucapan  “Yalloh Yalloh” disukai oleh jutaan orang termasuk anak-anak di Kelas IX-3.

Sebagian lagi dari anak-anak itu membuka IG Bunda Corla yang kebetulan  sedang melakukan streaming atau siaran langsung. Mereka turut menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Bunda Corla tentang beberapa istilah atau kata-kata yang berasal dari Bahasa Indonesia yang sudah kaku diucapkan olehnya karena dia sudah lama menetap di Jerman. Saat itu Bunda Corla tidak bisa mengucapkan kata menenggelamkan, sebagai akibatnya ramailah komentar-komentar dari netizen membanjiri kolom chat live streamingnya.

Dua puluh menit telah berlalu, akhirnya ketua kelas IX-3 muncul juga di kelas mereka. Jingga menyuruh teman-temannya untuk duduk kembali di tempat duduknya masing-masing. Perintah pertama Jingga diabaikan oleh teman-temannya yang masih asik nonton postingan di Tik Tok dan Instagram.

Jingga mengambil penghapus papan tulis, menggetokkan bagian kayunya beberapa kali di atas meja guru. Benturan antara kayu dengan kayu terdengar menggema di seluruh ruangan kelas itu. Jelas saja bunyinya menggelegar karena Jingga memukulnya dengan sekuat tenaga. Dalam sekejap suasana menjadi hening. Tiga puluh satu pasang mata menatap Jingga.

“Terima kasih untuk tidak berbicara saat saya memberikan informasi ini, “ Jingga berbicara dengan tegas. Matanya menyapu seluruh wajah teman-teman sekelasnya.

“Mohon perhatian. Izin menyampaikan informasi dari Guru BK dan Waka Kurukulum bahwa Miss Nana saat ini sedang melakukan pengobatan di Rumah Sakit Provinsi di kota Mataram. Kita semua diminta untuk belajar mandiri dulu. Bapak/Ibu guru BK sedang berkoordinasi dengan Waka Kurikulum untuk menyampaikan tugas-tugas LKPD Bahasa Inggris selama Miss Nana melaksanakan pengobatan di RSUP. Untuk hari ini, kita diberikan tugas mengerjakan latihan-latihan soal Prosedure Text yang sudah Miss Nana share di Google Classroom maupun di WAG Bahasa Inggris. Tugasnya dikerjakan di buku tugas dan dikumpulkan sebagai bukti kehadiran siswa. Teman-teman boleh mengerjakannya bersama dengan anggota kelompoknya. Jika sudah selesai mengerjakan tugas ini maka bukunya disatukan per kelompok. Apakah penjelasan saya dapat difahami oleh teman-teman? Adakah diantara teman-teman yang mau bertanya? “Jingga menutup pengumumannya dengan membuka pertanyaan akan tetapi tidak ada seorangpun yang bertanya.

“Baiklah, jika teman-teman sudah mengerti, ayo kita kerjakan latihan soalnya. Terima kasih. “ Jingga mengakhiri instruksinya dan kembali ke tempat duduknya. Dia buka  applikasi Google Classroom untuk selanjutnya mengunduh LKPD dan mengerjakan latihan soal Prosedure Text itu di buku tugasnya.

Teman-temannya melakukan hal yang sama. Ada juga yang mengakses LKPD di WAG Bahasa Inggris. Pembelajaran  Bahasa Inggris hari itu berlalu tanpa kehadiran Miss Nana di kelas mereka.

***

“Yaaaaaaaah…  Bagaimana caranya supaya kita bisa dapat uang yang banyak dalam waktu beberapa minggu? “tanya Jingga sambil mendudukan tubuhnya di samping Pak Pramono. Pak Pram, yang saat itu sedang menyimak KABAR TERKINI di channel TV One, memalingkan wajah ke arah putri kesayangannya seraya mengernyitkan alis sambil  menganalisa apa kira-kira yang menjadi maksud dari pertanyaan Jingga.

“Jingga mau beli apa? Mau beli I-Phone 14?“ Pak Pram balik bertanya sambil mencolek hidung Jingga.

“Enggaaaaa…  Jingga gak perlu beli apa-apa koq, “ sahut Jingga sambil menyenderkan kepala di bahu ayahnya. Pak Pram mengecup puncak kepala putrinya dan lanjut bertanya,

“Terus uangnya itu untuk apa?”

“Miss Nana sakit, Yah. Sekarang Miss Nana sedang dirawat di RSUP Mataram. Jingga dapat info dari ruang guru tadi pagi bahwa Miss Nana sedang menjalani kemoteraphy. Jingga ingin bantu untuk meringankan biaya pengobatannya. “

Pak Pram merasa terharu dan bangga karena putrinya memiliki rasa empati terhadap wali kelasnya yang sedang sakit. Pak Pram memahami keinginan Jingga ini karena dia tahu Miss Nana masih berstatus guru honorer dan menjadi tulang punggung di keluarganya. Miss Nana menjadi pencari nafkah utama sejak ayahnya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Dia memiliki tanggung jawab untuk mengurus Ibu dan kedua adiknya yang masih berstatus mahasiswi dan pelajar SMA.

Adik bungsu Miss Nana, Tegar, adalah teman satu kelas Banyu Biru. Tegar sering diajak oleh putranya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah di rumah mereka jika perlu menggunakan laptop dan printer. Selama ini Pak Pram mendapatkan kesan yang baik dari sosok adik Miss Nana tersebut. Dia adalah anak yang sangat sopan, rajin belajar dan taat beribadah.

“Apa yang bisa Ayah bantu? “ tanya Pak Pram.

“Pertama, Ayah antar Jingga membesuk Miss Nana. Setelah kita tahu pasti tentang penyakitnya Miss Nana, Ayah harus bantu Jingga untuk mencari solusi pembayaran biaya pengobatan Miss Nana, “ Jingga menjawab sambil memeluk lengan ayahnya.

“Kapan Jingga mau membesuk Miss Nana? “

“Besok siang sehabis pulang sekolah. “

“Baiklah. Setelah istirahat makan siang, ayah tidak balik ke kantor dan akan menunggu Jingga di rumah. Jingga sudah memberitahu Ibu tentang hal ini? “

“Sudah, Yah. Jingga sudah cerita sama Ibu. Ibu yang menyarankan Jingga untuk membesuk Miss Nana supaya tahu pasti seperti apa kondisi Miss Nana. Ibu juga mau ikut besuk ke rumah sakit. “

“ Hanya kita bertiga saja yang pergi? Adakah teman Jingga yang mau ikut membesuk Miss Nana? “ tanya pak Pram.

“Semua teman-teman sekelas mau membesuk Miss Nana, Yah. Tapi Jingga bilang untuk saat ini perwakilan siswa saja yang pergi ke rumah sakit. Nanti setelah Miss Nana bisa dibawa pulang dari rumah sakit, teman-teman yang lain bisa menengok Miss Nana di rumahnya. Bagus dan Santi yang mewakili teman-teman. Jadi, kita berlima yang akan membesuk Miss Nana. “

“Oke Boss, siap laksankan, “ jawab Pak Pram sambil menaruh tangan kanannya  di pelipis, melakukan gerakan hormat kepada atasan.

Jingga tersenyum lebar sambil menatap ayahnya. Pak Pram selalu membuat Jingga merasa bangga mempunyai ayah sepertinya. Pak Pram adalah seorang pria gagah yang cerdas, santun, dan berkharisma kuat. Semua orang di tempat kerjanya dan juga di lingkungan rumahnya sangat hormat kepada Pak Pram. Sebagai seorang ayah, Pak Pram merupakan sosok yang penyayang, teman curhat dan diskusi yang asik.  Untuk urusan sekolah dan perilaku anak-anaknya, Pak Pram mengawasi dengan ketat karena Jingga dan Banyu Biru masih sepenuhnya menjadi tanggung jawab dirinya.

“Ayah…” panggil Jingga sambil menatap Pak Pram yang masih fokus ke layar TV.

“Mmmmm…” Pak Pram bergumam seraya menoleh ke arah Jingga yang masih menyenderkan kepala di lengan kanannya. Kedua netra hitam milik putrinya menatap lekat ke arahnya.

“Apa? “ tanya Pak Pram dengan suara yang lembut.

“Kantor Ayah khan ikut andil di dalam penyelenggaraan WSBK. Jingga mau jualan soft drink dan Nutri Sari di area sirkuit. Para penonton yang datang pasti haus karena harus jalan kaki dari tempat parkir ke tribun penonton. Nanti Jingga jualan Fanta, Coca Cola, dan Sprite pakai es batu. Satu cup yang sedang harganya sepuluh ribu. Kalau Nutri Sari jelly juga harganya sama, sepuluh ribu.  Jingga ikut jualan di stand UMKM kantor Ayah. Karyawan Ayah jualan makanan, Jingga jualan minumannya. Boleh khan? Di luar negri aja kalau siswa Elementary School atau High School mau ngumpulin donasi biasanya jualan cookies dan lemonade.“

“Besok Ayah bicarakan dulu dengan Bu Ira yang menjadi koordinator stand UMKM dari kantor Ayah. Oke? “

“Okeeeee…Terima kasih Ayah ganteeeeeng… I love you to the moon and back, “ sahut Jingga dengan wajah yang sumringah. Jingga menjulurkan lengan kanannya untuk memeluk perut ayahnya.

“I love you more, “ balas Pak Pram seraya merengkuh tubuh Jingga ke dalam pelukan hangatnya. Untuk beberapa saat Jingga memejamkan mata, menikmati rasa nyaman di dalam hatinya. Bagi Jingga pelukan Ayah dan Ibu adalah hal yang terbaik di dunia. Dia seringkali menempel di kedua orang tuanya. Bahasa kasih Jingga bisa dipastikan berupa sentuhan. Jingga juga akan merasa bahagia jika seseorang mengapresiasi dirinya dengan kata-kata. Untungnya kedua hal ini selalu dia dapatkan dari Ayah dan Ibunya.

Pelukan Ayah membuat Jingga mengantuk. Beberapa kali dia menguap tapi Jingga masih enggan untuk tidur di kamar. Pelan-pelan matanya meredup. Suara televisi yang sedang menyiarkan berita semakin sayup terdengar. Sampai akhirnya tidak ada lagi suara yang terdengar di telinga Jingga.

***

Tet… teeet… teeeeet…

Bunyi bel yang nyaring terdengar sebanyak tiga kali tanda berakhirnya pembelajaran di hari itu. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Jingga menghampiri Santi dan menyepakati waktu berangkat ke RSUP Mataram untuk membesuk Miss Nana.

“Jam empat sore saya ke rumah kamu, ya Jingga. Apa saya perlu membawa buah atau kue untuk Miss Nana? “ tanya Santi.

“Gak usah, terima kasih. Nanti Ibu yang belikan kue dan buahnya. Kasih tau sama Mamanya bahwa Ayah yang akan mengantar kamu pulang. Jadi gak usah dijemput di rumah saya, “ jawab Jingga.

“Oke. Saya pulang dulu. Pak Udin, supirnya Papa, udah nunggu di depan sekolah. Kamu udah dijemput belum? “

“Udah. Mas Banyu yang jemput.”

“Salamin buat Mas Banyu, yaaa. Semoga Mas Banyu mau jadi pacar saya, “ Santi berkata sambil mengedipkan mata ke arah Jingga.

“Idiiih… genit. Anak di bawah umur dilarang pacaran. “ balas Jingga.

“Haha… jadi kalau kita udah jadi siswa SMA dan Mas Banyu udah jadi mahasiswa, boleh dooooooong?”

“Tanya aja langsung sama Mas Banyu. Berani? “

“Siapa takuuuuut. Ayo kita ke depan sekolah. Saya gak rela Mas Banyu kepanasan karena nunggu kamu, Jingga.“ Santi setengah menggeret Jingga pergi dari ruangan kelas untuk menemui idolanya.

Sesampainya di depan sekolah, Jingga melihat kakaknya sedang menunggu di bawah pohon ketapang. Matahari bersinar sangat terik, serasa membakar ubun-ubun. Jingga melirik ke arah Santi yang sedang senyum-senyum kegirangan. Santi melambaikan tangannya ke arah Banyu Biru. Setelah itu sikutnya menyenggol perut Jingga beberapa kali.

Santi melihat Banyu Biru membalas lambaian tangannya.

“Jingga, Mas Banyu ganteng sekaliiiii…” kikik Santi yang sedang salah tingkah.

“Siapa dulu dong adiknya. “ jawab Jingga seraya menaikkan kedua alis matanya sebanyak dua kali. Jingga dan Santi berjalan mendekati lelaki itu.

“Hai Mas Banyuuu…  lama gak pernah ketemu yaaa, “ sapa Santi dengan suara cerianya.

“Hai juga, Santi. Apa khabar?” tanya Banyu Biru.

“Yang pasti saat ini saya happyyy bangeeet, “ jawab Santi sambil tersenyum manis.

“Mas, kita punya PR Matematika yang susahnya minta ampuuun. Ajarin kita cara jawabnya, ya Mas. “

“Santi lagi modus tuh, Mas. Dia pengen deket sama Mas Banyu aja,“ Jingga menyela pembicaraan.

“Emang iyaaaaa, “ Santi mengkonfirmasi omongan Jingga sambil cekikikan.

“Kalau memang mau belajar Matematika dengan serius, nanti Mas bisa ajarin,“ balas Banyu Biru.

“Yeeeeeeeeeessssss… makasih ya Mas. Udah ganteng, pintar, baik hati lagi, “ pekik Santi kegirangan. “Saya pamit pulang dulu ya. Nanti jam empat sore, saya ke rumah Mas Banyu. Kita mau besuk Miss Nana. Ayah Mas Banyu yang antar kita ke RSUP di Mataram. Dadah Jingga, bye bye Mas Banyu.” Santi melambaikan tangan dan mengarahkan badannya menuju mobil CRV yang sedang parkir tidak jauh dari tempatnya sekarang.

Setelah Santi masuk ke dalam mobilnya, Jingga memakai helm yang diulurkan oleh kakaknya. Klik. Terdengar bunyi kaitan pengaman helm yang dipasang. Selanjutnya Jingga memijakkan kaki kirinya di foot step, kaki kanannya diangkat melewati jok motor itu. Jingga melabuhkan pantatnya di jok belakang.  Kedua lengan Jingga melingkar erat di pinggang kakaknya. Badannya tegap menghadap ke depan.

“Let’go, Mas. Ngebut dikit gak apa-apa. Panas niiih…  Jingga pengen cepet nyampe rumah.”

“As you wish, Princess. Pegangan yang kuat ya. “ titah Banyu Biru kepada adiknya. Brum…bruuum…motor CBR 250 dengan warna merah dan hitam itu melesat cepat meninggalkan sekolah.

***

Banyu Biru dan Jingga tiba di rumah pukul dua lebih dua puluh menit.

“Assalamualaikum, “ keduanya mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah.

“Waalaikum salam, “ jawab Bu Anin, “Ayo ganti baju dulu. Setelah itu kita makan siang bersama. Ayah sudah menunggu Mas Banyu dan Jingga dari jam satu siang. Kalian sudah sholat Dzuhur di sekolah, khan? “

“Nggeh. Sudah, Bu, “ jawab Banyu Biru.

“Jingga juga sudah sholat Dzuhur di mushola sekolah.”

“Alhamdulillah. Ibu tunggu di meja makan ya.”

“Bu, Jingga gak usah ganti baju yaaa… Khan besok seragamnya ganti, pakai baju khas. Habis makan juga Jingga mau mandi. Setelah mandi siap-siap pergi ke rumah sakit. “

“Iya…tapi Jingga harus cuci tangan dulu yang bersih.”

“Oke, Bu. Jingga mau taruh tas sekolah dulu di kamar.”

Pukul dua lebih tiga puluh menit keluarga Pak Pramono menikmati hidangan makan siang, lebih tepatnya makan sore. Nasi hangat dengan lauk empal goreng, ikan asin jambal roti, tempe mendoan, tahu krispi, sayur asem Jakarta dan sambal bajak serta lalapan. Bu Anin memang sangat pandai membuat menu makanan baik itu untuk makan siang ataupun untuk makan malam.

Setelah selesai makan siang, Jingga beristirahat sebentar di kamarnya. Pukul setengah empat sore Jingga mandi kemudian memilih kaos berwarna navy blue dipadukan dengan celana model kulot high waist berbahan denim berwarna putih. Warna navy blue nampak kontras dengan kulitnya yang putih kekuningan. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Jingga belum memoleskan bedak maupun lip gloss yang berwarna baby pink karena dia akan melaksanakan sholat Ashar terlebih dahulu.

Jingga memakai mukena kemudian melangkahkan kakinya menuju mushola yang berada di samping ruang kerja Pak Pram. Di mushola sudah ada Ayah, Ibu, dan Mas Banyu. Jingga mengambil tempat di samping Bu Anin. Setelah semua anggota keluarganya lengkap, Banyu Biru melafazkan iqomat. Sholat Ashar saat itu diimami oleh Pak Pram.

Tidak lama setelah selesai menunaikan sholat Ashar berjamaah, dari kamarnya Jingga mendengar suara bel yang berbunyi “Assalamualaikum”.

Jingga berniat untuk membukakan pintu yang ada di ruang tamu. Kakinya melangkah ke luar kamar. Dari koridor lantai dua, tempat kamarnya berada, Jingga menundukkan kepalanya ke arah ruang tamu yang terlihat jelas dari sana. Langit-langit ruang tamu memang dirancang memiliki void yang menjulang tinggi. Koridor lantai dua diberi pengaman berupa pagar kaca setinggi dada berbingkai steinless steel.

“Hai Santi. Hai Bagus… Tunggu sebentar yaaa…” sapa Jingga dari atas. Rupanya Mas Banyu sudah membukakan pintu dan mempersilakan Santi serta Bagus untuk duduk di sofa. Jingga kembali lagi ke kamarnya, memoles tipis wajahnya dengan compact powder untuk remaja merk Johnson Baby berwarna ivory. Bibirnya dipoles dengan lip gloss berwarna baby pink yang menambah segar penampilannya. Sebagai sentuhan akhir, Jingga memasang jam tangan putih bermerk Alexander Christy di pergelangan tangan kirinya dan menyemprotkan parfum Baccarat White di bagian lehernya. Wangi parfum menguar di udara. Tak lupa dia selempangkan hand bag yang berwarna putih tulang, dengan logo dua huruf C yang saling mengait, untuk menyimpan HP dan uang.

Jingga menuruni anak-anak tangga, menghampiri Santi dan Bagus yang berada di ruang tamu. Santi nampak cantik dengan blouse polos berwarna peach yang dipadukan dengan rok bermotif bunga berwarna senada, peach. Rambut sebahunya diberi hiasan jepit rambut bermotif bunga dengan warna oranye.

Bagus pun nampak beda penampilannya. Dia memakai kaos putih bermerk Erigo dan celana jeans berwarna biru. Semuanya itu adalah hadiah pemberian Bu Anin saat dia berulang tahun yang kelima belas, sebulan yang lalu. Setelah bersenda gurau selama lima menit, muncullah Pak Pram dan Bu Anin. Mereka mengenakan pakaian dengan warna yang senada, perpaduan antara warna putih dan khaki.

“Ayo anak-anak kita berangkat sekarang, “ ajak Pak Pram.

“Bagus, boleh Ibu minta tolong bawakan parcel buah yang ada di meja makan ke dalam mobil? Jingga juga, tolong bantu bawakan kotak kue yang ada di kresek putih, “ kata Bu Anin.

“Baik, Bu.” jawab Bagus.

“Oke, Bu. “ sahut Jingga.

Keduanya bergegas untuk membawakan buah tangan yang akan diberikan kepada Miss Nana saat besuk nanti.

Perjalanan dari Pujut ke Mataram yang berjarak 46,7 km ditempuh dalam waktu 57 menit via Baypass Bandara Internasional Lombok. Mobil Pajero Sport berwarna putih meluncur ke arah Rumah Sakit Umum Provinsi yang terletak di Jalan Prabu Rangkasari, Dasan Cermen, Kecamatan Sandubaya, Mataram. Setelah tiba di tempat, Pak Pram mencari area parkir di sekitar Gedung B. Menurut informasi dari Tegar, Miss Nana berada di Ruang Gili Nanggu III yang berkapasitas 7 orang. Ruang Gili Nanggu III merupakan tempat rawat inap bagi pasien-pasien kelas III. Sebelum turun dari mobil, Bu Anin membagikan masker untuk mereka pakai.

“Saya yang bawakan parcel buahnya, ya Bu, “ pinta Bagus kepada Bu Anin.

“Kuat bawanya? “ tanya Bu Anin.

“Meskipun saya kurus, saya setrong. Saya sanggup mengangkat galon air ke atas dispenser, “ jawab Bagus, “Parcel buah ini gak berat koq, Bu. “

“Baiklah kalau begitu, “ kata Bu Anin mengiyakan.

“Boleh Santi yang bawakan kuenya, Bu? “ tanya Santi kepada Bu Anin.

“Boleh. Kalau tangannya pegal, Santi bisa gantian sama Jingga yaaa. “

“Iya, Bu. “

Satu persatu dari mereka turun dari mobil, melangkahkan kaki menuju ke lobby Gedung B. Di depan lobby ada seorang satpam berseragam coklat tua yang memberikan instruksi untuk mengecek suhu tubuh dengan cara mendekatkan tangan ke bagian pemindaian dari  thermo detector. Selanjutnya sekuriti itu memeriksa tubuh serta barang bawaan mereka dengan metal detector.

Setelah selesai diperiksa, mereka segera masuk ke lobby. Pak Pram berjalan menuju bagian informasi untuk menanyakan letak Ruang Gili Nanggu III. Petugas front office mengarahkan Pak Pram untuk mengikuti petunjuk arah  menuju Ruang Gili Nanggu III yang berada di lantai 1.

Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang beraroma obat-obatan. Mereka berpapasan dengan para perawat dan tenaga medis lainnya yang berjalan tergesa-gesa. Nampak pula para pengunjung, yang sedang membesuk pasien, duduk di bangku-bangku yang terbuat dari steinless steel di sepanjang lorong itu. Sambil berjalan Pak Pram menelpon Tegar, memintanya untuk menunggu kedatangan mereka di depan Ruang Gili Nanggu III.

Dari jarak sepuluh meter nampak Tegar yang sedang berdiri sambil melambaikan tangannya. Wajahnya kelihatan kuyu karena capek. Meskipun begitu, Tegar tersenyum manis menyambut kedatangan rombongan kecil itu. Setelah saling berhadapan, Tegar memberi salam seraya mencium tangan  Pak Pram dan Bu Anin.

“Apa khabar, Tegar? Banyu menitipkan salam untuk kamu dan mbak Nana. Banyu tidak ikut karena tidak ada yang jaga rumah, “ sapa Bu Anin.

“Alhmadulillah saya baik-baik saja, Bu,” jawab Tegar, “agak pusing karena kurang tidur dan makannya tidak teratur. Saya tidak mengizinkan Inaq untuk menjaga Kak Nana di rumah sakit. Sekarang Inaq kondisinya sedang drop setelah mengetahui penyakit Kak Nana.”

“Kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan dari kami jika kamu merasa berat dengan kondisi yang ada sekarang, “ kata Pak Pram sambil memegang bahu kiri Tegar.

“Kak Tegar, boleh kami menengok Miss Nana sekarang?” tanya Jingga.

“Oh… iya. Silakan. Kak Nana baru saja bangun. Saya sudah memberi tahu Kakak tentang kedatangan Bapak, Ibu, dan adik-adik semua, “ kata Tegar, “mari masuk dan ikuti saya. “

Mereka masuk ke ruang perawatan.  Antara satu tempat tidur dengan tempat tidur yang lainnya dibatasi dengan tirai kain yang berwarna hijau muda.

Tegar membuka tirai yang menutupi tempat tidur pasien. Di tempat tidur paling ujung tubuh Miss Nana terbaring lemah. Wajahnya terlihat pucat.

Hi, Miss. How are you doing? We miss you a lot. The class is not fun anymore without you, “ Jingga menyapa sambil menggenggam jemari tangan kanan Miss Nana. Jingga berbicara dengan Bahasa Inggris karena Miss Nana selalu mendorong anak-anak didiknya untuk terus berlatih speaking jika bertemu dengannya. Practice makes perfect, itu yang dikatakan Miss Nana kepada mereka.

All my friends pray for you, Miss. Get well soon, “ sapa Santi sambil memegang kaki Miss Nana yang ditutupi dengan selimut.

“Hello, Miss. I miss you too, “ sapa Bagus menimpali.

Mata Miss Nana berkaca-kaca. Suaranya tercekat karena rasa haru yang membuncah di dada.

All of the students in Class IX-3 are so sweet. Thanks a lot for your attention and love, dear, “ Miss Nana berkata sambil menitikkan air mata.

“Bagaimana kondisinya sekarang, Na? Nana ditangani oleh siapa? “ tanya Bu Anin kepada Miss Nana.

“ dr. Ramses Indriawan, Sp. B.” jawab Miss Nana lirih.

Bu Anin tahu kalau dr. Ramses itu adalah seorang akhli bedah Onkologi. Hal ini menunjukkan bahwa Miss Nana memiliki penyakit kanker. Bu Anin menggenggam jemari tangan Miss Nana, menyalurkan semangat juang lewat sentuhan jemarinya yang hangat.

“Allah swt adalah Maha Penyembuh. Mintalah kepada-Nya sebuah kesembuhan. Kita berikhtiar dengan cara berobat, selanjutnya tawakal dan ikhlas menghadapi cobaan, “ kata Bu Anin sambil mengelus tangan Miss Nana.

“Tindakan medis apa yang sudah dilakukan, Na? “ tanya Pak Pram.

“Saya sudah melakukan biopsi. Benjolan yang ada di payudara kanan sudah diperiksa di Lab. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan Kanker Stadium II. Dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi agar kankernya tidak menyebar ke jaringan yang lain, “ jawab Miss Nana lirih. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Jingga merasakan kesedihan yang teramat dalam dari kata-kata yang dituturkan Miss Nana. Jingga melirik ke arah Santi dan Bagus. Santi menangis sambil tangannya memijat ujung kaki Miss Nana. Bagus berdiri di samping Santi, menundukkan kepala seraya memegang erat pinggiran tempat tidur pasien itu. Suasana mengharu biru.

“Tegar, tolong antar Bapak ke depan, “ suara Pak Pram memecah kesunyian di antara mereka.

“Nggih, Pak. Mari… “ sahut Tegar mengiyakan.

Pak Pram menyentuh bahu Bu Anin, “Ayah ke depan dulu, Bu. Jaga dulu Nana, ya. “ Bu Anin mengganggukkan kepalanya dalam diam. Bu Anin faham kalau suaminya ingin mengetahui lebih banyak informasi tentang penyakit Miss Nana dari Tegar.

Sesampainya di luar kamar, Pak Pram mengajak Tegar menyusuri lorong rumah sakit sampai ke pintu samping. Pak Pram mencari tempat yang tidak terlalu ramai supaya mereka bisa berbincang-bincang dengan lebih leluasa. Pilihannya tertuju pada tempat duduk yang ada di area taman samping gedung itu.

“ Ayo kita duduk di bangku itu, Tegar. “

“Nggih, Pak. “

Sesampainya di bangku itu, Pak Pram mulai bertanya, “Penyakit Nana harus ditangani sampai tuntas. Berapa kali kemoterapi yang disarankan oleh dokter? “

“Dokter menyarankan kemoterapi sebanyak empat kali dulu sambil terus mengecek hasinya. Semoga sel-sel kankernya bisa mati dan tidak menyebar ke organ tubuh yang lainnya. “

“Apakah Kakakmu pernah mengeluh sakit sebelum akhirnya dirawat di sini? “

“Kak Nana tidak pernah menunjukkan kalau dirinya sedang sakit. Kak Nana memang selalu terlihat pucat dan tubuhnya semakin kurus. Inaqlah yang meminta Kak Nana untuk berobat di Puskesmas. Dokter Puskesmas malah merujuk Kak Nana untuk berobat ke Rumah Sakit Provinsi. Di sini lah baru ketahuan kalau Kak Nana menderita penyakit kanker payudara.”

“Untuk biaya pengobatannya, apakah ada yang ditanggung oleh BPJS?” tanya Pak Pram.

“Untuk pengobatan kemoterapi memang bisa dibayarkan oleh BPJS. Kemoterapi untuk kanker ini antar 4 – 8 siklus. Setiap siklus jaraknya antara 2 sampai 4 minggu. Namum untuk pengobatan lanjutan kanker payudara tidak bisa dibayarkan oleh BPJS lagi. Kalau mau operasi kanker payudara biayanya sekitar empat puluh sampai lima puluh juta rupiah. Kami tidak punya uang sebanyak itu untuk melakukan tindakan operasi bagi Kak Nana, “ jawab Tegar sambil menundukkan kepala, “Hal inilah yang membuat kesehatan Inaq juga tambah menurun. Saya juga belum mampu mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang banyak. Hasil dari memberikan les private Matematika kepada anak-anak SD hanya mampu untuk membantu meringankan  beban Kak Nana. “

“Tidak usah bersedih hati, apalagi berputus asa. Kita cari jalan yang terbaik untuk mengobati kakakmu”, kata Pak Pram menyemangati Tegar, “Kamu sudah makan siang? “

“Belum sempat, Pak, “ jawab Tegar sambil menunduk.

“Kamu harus sehat dan kuat. Almarhum ayahmu bukan tanpa maksud memberimu nama Tegar. Almarhum pasti mengharapkan putra satu-satunya memiliki karakter yang tegar dalam menghadapi cobaan hidup apa pun, “ kata Pak Pram sambil menepuk-nepuk punggung Tegar.

“Nggih, Pak. Saya akan berusaha untuk tegar meskipun kadang-kadang saya merasa berat untuk menghadapi ujian dari Yang Maha Kuasa ini, “ jawab Tegar sambil mengangkat muka dan menatap ke arah Pak Pram. Pak Pram kemudian mengeluarkan sebuah amplop putih yang cukup tebal dari tas pinggangnya.

“Kamu harus sehat supaya bisa menjaga kakakmu dan merawat Inaqmu yang ada di rumah. Ini, terimalah buat pegangan kamu, “ kata Pak Pram sambil menyerahkan amplop itu ke tangan Tegar, “jika kamu tidak sanggup untuk berfikir sendiri, telpon Bapak ya. “

“Terima kasih, Pak. Selama ini Bapak selalu membantu kami. Semoga Allah swt membalas kebaikan Bapak dan keluarga dengan berlipat ganda, “ Tegar berkata dengan suara yang tercekat karena merasa terharu atas kebaikan ayah dari sahabatnya itu.

“Ayo kita kembali. Khabari kami jika ada informasi penting dari dokter, “ kata Pak Pram seraya bangkit dari tempat duduknya. Tegar lantas bangkit dari tempat duduknya dan berjalan berdampingan dengan Pak Pram menuju Ruang Gili Nanggu III. Sesampainya di sana, Pak Pram mengajak rombongannya untuk pamit pulang. Sebelum meninggalkan ruangan itu, mereka mendo’akan Miss Nana supaya cepat sembuh kembali.

***

Hari yang ditunggu telah tiba. World Super Bike Tahun 2022 diselenggarakan di Sirkuit Pertamina Mandalika dari tanggal 11 sampai dengan 13 November 2022. Jingga dan teman-teman sekelasnya sudah membagi diri menjadi tiga kelompok untuk berjualan minuman di stand UMKM. Jingga dan kawan-kawan diberikan satu lapak untuk menata botol-botol soft drink merk Coca Cola, Fanta berbagai rasa dan Sprite. Tak lupa mereka menata kemasan Nutri Sari berbagai varian rasa di atas rak plastik tingkat pertama dan kedua. Rak yang paling atas dipakai tempat untuk menaruh gelas-gelas plastik dan sedotan.

Hari itu matahari bersinar sangat terik. Orang-orang berjalan kaki dari tempat parkir menuju tribun penonton. Jaraknya cukup jauh. Sebelum masuk ke area sirkuit, para penonton diperiksa terlebih dahulu oleh panitia WSBK di Entrance Gate. Para penonton dilarang membawa makanan, minuman, korek api dan parfum. Dengan adanya aturan ini ternyata memberi keuntungan kepada Jingga dan kawan-kawan. Mereka bergerak secara pro aktif menjajakan minuman dingin aneka rasa dan warna kepada para pengunjung yang sedang berjalan menuju ke tribun penonton.

“Mari kakak-kakak, Mas ganteng, Mbak cantik… minuman dingin kami dijamin nyeeeeeeeeesssss, meredakan rasa haus. Coca Cola, Fanta, Sprite dingin di cup besar ini hanya sepuluh ribu rupiah, “Jingga mendekati para pengunjung WSBK dan menawarkan jualannya yang dia susun di sebuah wadah pastik.

“Di dalam harga minuman lebih mahal, Kakak cantik. Minuman dingin yang saya jual jauh lebih murah. Tuh lihat keringat Kakak sudah bercucuran karena kepanasan. Nanti Kakak dehidrasi kalau tidak segera minum, “ Jingga melancarkan jurus persuasifnya. Dengan cerdas Jingga mamanfaatkan situasi yang ada sehingga calon pembelinya terbujuk untuk membeli jualannya.

Akhirnya rombongan kakak-kakak itu memborong gelas-gelas plastik yang berisi minuman dingin bersoda yang segar. Masih nampak terlihat gelembung-gelembung soda yang menempel di gelas-gelas plastik itu. Sparkling… shinning… simmering…

“Alhamdulillah… Yeeeeesssss, laku sepuluh gelas, “ pekik Jingga kegirangan sambil mengipas-ngipaskan dua lembar uang berwarna biru di depan mukanya sendiri.

Jingga membeli satu botol Coca Cola, Fanta dan Sprite yang berukuran 1,5 liter seharga dua puluh ribu rupiah. Satu botol minuman bersoda itu bisa dia bagi ke dalam sepuluh cup yang telah diisi es batu. Modal satu botol minuman seharga dua puluh ribu rupiah ditambah harga es batu seribu rupiah dan sepuluh gelas plastik ukuran besar seharga empat ribu rupiah ternyata bisa menghasilkan uang sebesar seratus ribu rupiah. Dari satu botol minuman itu, Jingga mendapatkan keuntungan tujuh puluh lima ribu rupiah. Sambil berlari-lari kecil Jingga kembali ke stand UMKM tempat yang menjadi lapak jualannya.

“Santi, teman-teman sudah ada yang setor?” tanya Jingga kepada Santi yang menjadi kasir di stand mereka.

“Udah. Amir setor lima puluh ribu. Nutri Sari yang dijual Amir laku lima gelas.

“Siiiiip… , “ kata Jingga sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Harga minuman Nutri Sari plus jelly sebesar sepuluh ribu rupiah juga.

Harga satu renteng Nutri Sari dua belas ribu lima ratus rupiah ditambah es batu seribu rupiah dan gelas plastik empat ribu rupiah. Nutri Jell yang harganya lima ribu lima ratus rupiah dibuat jadi jelly, dipotong kecil-kecil bisa untuk isian dua puluh gelas. Otak cerdas Jingga mengkalkulasi antara modal dan hasil penjualan, “Mmmmm… keuntungannya berimbang, “ gumam Jingga sambil tersenyum lebar.

Di hari pertama itu, seratus lima puluh penonton WSBK yang telah menikmati minuman dingin yang dijajakan oleh Jingga dan teman-temannya. Mereka berjualan dari pulang sekolah sampai jam setengah enam sore. Uang yang terkumpul sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Keuntungan yang mereka dapatkan di hari itu sebesar satu juta seratus dua puluh lima ribu rupiah. Santi menyerahkan semua uang yang mereka dapatkan kepada Jingga. Mereka akan memberikan semua keuntungan dari penjualan minuman itu kepada guru sekaligus wali kelas kesayangan mereka yaitu Miss Nana. Pak Pramono menjemput Jingga dan teman-temannya setelah mereka selesai membereskan lapak jualannya. Lima orang pegawai dari kantornya Pak Pram juga turut serta membereskan stand mereka. Semua barang yang tersisa diangkut lagi ke dalam mobil untuk digunakan lagi di hari esok.

Hari Sabtu, keesokan harinya, Jingga dan grup ke dua menjajakan kembali minuman dingin pelepas dahaga di hari yang terik. Mereka berjualan di jalan beraspal, tempat para pengunjung menapakkan kaki menuju ke tribun penonton, dari pukul dua belas siang saat matahari sedang berada tepat di atas ubun-ubun. Jingga tidak menyadari kalau kulitnya berubah warna karena terpapar sinar ultra violet. Meskipun dia sudah memakai kaos lengan panjang, tetap saja sinar surya bias menembusnya. Tetesan keringat bercucuran di dahi dan lehernya. Rasa haus yang mencekat tenggorokan membuat Jingga kembali lagi ke lapaknya  untuk meneguk air es. Mmmmmhhhhh…segaaaaar.

Saat sore tiba, Santi menghitung semua uang yang dia simpan di tas pinggangnya. Dibantu oleh Mimi dan juga Ani, mereka bertiga memumpuk uang dalam jumlah seratus ribu seratus ribu. Ada tujuh belas tumpuk uang sejumlah seratus ribu, berarti sejumlah satu juta tujuh ratus ribu rupiah. Keuntungan penjualan hari itu sebesar satu juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Aaaaahhhhh…pencapaian yang luar biasa.

”Alhamdulillah. Terima kasih yaa Allah, Engkau telah melancarkan rezeki kami. Kami tulus ikhlas melakukan ini semua untuk kesembuhan guru kami. Alhamdulillahairrabil ‘alamiin,” ucap Jingga sambil menengadahkan telapak tangannya ke atas seraya  mengucap syukur yang tak terhingga.

Hari ini adalah  hari Minggu. Hari terakhir penyelenggaraan WSBK 2022. Jingga dan grup ke tiga mulai berkeliling di sekitar para penonton yang sedang menyusuri jalan beraspal menuju tribun. Meskipun jam di tangan baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, akan tetapi sinar matahari terasa membakar kulit. Gelas-gelas minuman dingin yang mereka jajakan satu per satu beralih tangan. Mereka merasa senang karena jualannya laris manis tanjung kimpul. Jam empat sore, semua bahan untuk membuat sajian minuman dingin sudah habis. Santi, yang diberikan amanat untuk menjadi kasir, segera mengeluarkan uang dari tas pingganggnya. Kali ini Rena dan Caca yang membantu Santi menghitung uang hasil penjualan minuman dingin itu. Ada dupuluh tumpuk uang seratus ribuan di hadapan mereka.

“Yeeeyyy…kita mendapatkan uang dua juta rupiah. Penghasilan paling tinggi selama kita jualan di sini, “ pekik Santi kegirangan, “teman-teman…kita dapat dua juta hari ini. Hebat khaaaan kita ini, pemecah rekor.”

“Mantaaaaap!” sahut Budi sambil beradu tos dengan Santi. Akhirnya Jingga, Rena dan Caca juga ikut ber-Hi Five dengan Santi dan Budi. Sudah dapat dipastikan bahwa hari itu mereka mendapatkan untung sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Jingga menjumlah keuntungan penjualan minuman dingin mulai dari hari pertama sampai dengan hari itu sebesar tiga juta sembilan ratus ribu rupiah.

***

Di hari Senin setelah melaksanakan upacara bendera, Jingga meminta teman-temannya untuk segera masuk ke kelas. Setelah semua siswa duduk, Jingga mulai memberikan pengumuman.

“Selamat pagi teman-teman. Saya sebagai Ketua Kelas IX-3 mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman semua yang telah berpartisipasi berjualan minuman dingin di area sirkuit Mandalika. Perjuangan kita membuahkan hasil yang teramat manis. Dalam waktu tiga hari, kita bisa menghasilkan uang sebesar tiga juta sembilan ratus ribu rupiah. Mohon izin yaaa teman-teman, uang ini akan saya tambah dengan uang dari tabungan pribadi supaya genap menjadi lima juta rupiah. Sepulang sekolah kita akan menyerahkan uang ini kepada Miss Nana di rumah sakit. Mohon maaf bila perwakilan kelas saja yang bisa membesuk Miss Nana. Saya persilahkan empat orang untuk menemani saya membesuk Miss Nana,” kata Jingga seraya menatap wajah teman-temannya.

“Jingga, bagaimana jika diwakili oleh pengurus inti kelas IX-3 saja?” tanya Rena.

“Bagaimana dengan usulan dari Rena ini? Apakah disetujui oleh teman-teman semua?” tanya Jingga.

“Setujuuuuu…” jawab mereka kompak.

Maka disepakatilah perwakilan siswa yang akan membesuk Miss Nana adalah Jingga, Budi, Santi, Rena dan Caca.

Teeet…teeeeettt….teeeeeeeeettttt. Bunyi bel yang nyaring terdengar di seantero sekolah itu. Suara anak-anak yang kegirangan terdengar riuh mengiringinya. Lapangan basket dan koridor kelas dipenuhi siswa-siswi berseragam putih biru yang sedang ditunggu oleh para penjemputnya. Jingga beserta empat temannya segera menuju ke halaman depan sekolah. Sebuah mobil Pajero Sport berwarna putih telah menunggu di dekat pos sekuriti. Pak Kamto, supirnya Pak Pram, mengantar mereka untuk membesuk Miss Nana.

Pukul tiga lewat tiga puluh menit mereka tiba di Rumah Sakit Umum Provinsi setelah sebelumnya mampir di kedai Bakso Malang Jumbo Bebalung karena mereka merasa lapar. Setelah mereka diperiksa oleh sekuriti Gedung Gili Nanggu III, Jingga dan kawan-kawan segera meluncur menuju tempat Miss Nana dirawat. Kali ini Miss Nana tidak ada yang menemani. Miss Nana merasa terkejut sekaligus bahagia mendapati anak muridnya datang untuk membesuknya. Satu per satu murid-murid kesayangannya memberikan salam sambil mencium tangannya.

Ohhh…my beloved boy and girls. How are you, guys?” tanya Miss Nana sambil tersnyum haru.

“We are good, Miss,” jawab Budi.

Miss Nana menatap satu per satu muka murid-muridnya itu. Ada sesuatu yang beda dari sebelumnya. Setelah menilik lebih cermat lagi barulah dia menemukan jawabannya. Mereka berlima memiliki warna kulit yang lebih gelap.

Guys…are you doing sun bathing at school? Usually bule-bule do it on the beach, “ kata Miss Nana sambil menyelidik.

Jingga dan teman-temannya saling melirik dan mengulum senyum.

“I smell something in the air. I think you keep a secret from me, right?” tanya Miss Nana.

Santi mengedipkan matanya ke arah Jingga. Santi ingin Jingga yang menjawab pertanyaan dari Miss Santi itu. Jingga membuka risleting tas sekolahnya. Dia mengeluarkan amplop coklat dari dalam tas itu dan menyerahkannya ke tangan Miss Nana.

“Miss… ini dari kami semua. Kami ingin Miss cepat sembuh. Meskipun tidak banyak, hanya itu yang mampu kami berikan kepada Miss Nana. Teman-teman semua menitipkan salam dan do’a untuk kesembuhan, Miss.”

“Apa ini, anak-anak? Jangan membuat Miss penasaran. Boleh Miss buka amplopnya? Tanya Miss Nana lagi.

“Boleh, Miss, “ jawab mereka serempak. Anak-anak itu kemudian saling berpandangan, tidak tahu bagaimana reaksi gurunya setelah membuka amplop coklat yang mereka berikan.

“Haaaaah…Uang! Banyak sekali uangnya. Darimana kalian mendapatkan uang ini, anak-anak?” tanya Miss Nana. Tangannya menutup kembli amplop coklat berukuran besar yang tadi diberikan kepadanya. “Kalian tidak melakukan hal-hal yang illegal khan, Nak?” tanya Miss Nana memastikan.

“Miss…kami semua ingin membantu meringankan biaya pengobatan Miss di rumah sakit ini. Selama tiga hari, mulai dari tanggal  11-13 November 2022, kami berjualan minuman dingin di area sirkuit Mandalika.” jawab Jingga.

“Keuntungannya kami kumpulkan, ditambah dengan uang tabungan Jingga juga.” Santi menambah jawaban.

“Kami ingin Miss Nana segera mengajar kami lagi. Kami sudah lama tidak mendengarkan nasehat dari Miss. Kami juga kangen dengan riddles yang selalu Miss berikan kepada kami. “ Caca menambahkan sambil memeluk lengan Miss Nana.

“Terima kasih…kalian adalah anak-anak Miss yang baik hati. Miss sangat berat hati untuk bisa menerima pemberian kalian ini. Kalian tidak seharusnya bersusah payah dan berpanas-panasan di bawah teriknya matahari demi Miss.”

“Kami semua tulus ingin membatu, Miss. Kalau Miss sudah sembuh dan mengajar kami lagi, kami yang senang, Miss. Terimalah niat baik kami ini. “ kata Budi meyakinkan gurunya untuk mau menerima uang pemberian mereka.

Air mata, yang dari tadi tergenang di pelupuk mata Miss Nana, jatuh bercucuran di kedua pipi tirusnya. “Terima kasih anak-anak hebat. Miss tahu bagaimana sulitnya mendapatkan uang meski dalam jumlah yang kecil. Uang sebanyak ini memang bisa Miss gunakan untuk biaya pengobatan di rumah sakit ini. Miss sempat bimbang antara melanjutkan atau menghentikan pengobatan ini karena tidak punya biaya. Semoga kebaikan kalian semua dibalas oleh Allah swt dengan berlipat ganda. Can I have a big hug?” pinta Miss Nana.

Kelima anak itu memeluk Miss Nana dari berbagai arah. Ada rasa haru bercampur bangga membuncah di hati Jingga. Asa Jingga untuk dapat menolong siapa pun tercapai untuk pertama kalinya di hari itu dan orang yang terpilih adalah guru serta wali kelas kesayangan kelas IX-3 yaitu Miss Nana. Dari balik jendela rumah sakit, Jingga melihat langit yang mulai temaram. Semburat warna kelabu bercampur dengan sinar matahari yang kemerahan melukis senja kala itu dengan warna jingga. Indaaaaah…sungguh indah dipandang mata.

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer