Mataram (Inside Lombok) – Pandemi Covid-19 menghantam Indonesia sejak awal 2020. Virus dari Wuhan, China ini telah mempengaruhi pola hidup masyarakat, khususnya pada interaksi sosial. Termasuk di sektor pendidikan.
Sejak virus Covid-19 menyebar, pemerintah dengan cepat mengubah sistem belajar tatap muka di sekolah dengan sistem belajar dari rumah (BDR) secara daring. Tujuannya, mencegah virus semakin meluas, terutama di sekolah. Namun, penerapan BDR secara tidak langsung meningkatkan penggunaan gadget hingga menimbulkan masalah baru. Misalkan munculnya gejala adiksi perilaku pada anak-anak dan remaja yang sebagian besar disebabkan penggunaan gadget secara intens di masa pandemi tersebut.
————————-
Sambil menatap ke luar jendela rumahnya, J, seorang ibu di Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, menerka-nerka ke mana anak laki-lakinya yang berusia 7 tahun pergi. “Saya tidak tahu dia ke mana,” ujarnya lirih.
Seperti hari-hari biasanya, pagi itu pun J mengaku kesal. Anaknya belum patuh juga. Pertengkaran mereka sudah jadi makanan sehari-hari, terutama setahun belakangan, setelah anaknya menggandrungi permainan daring di gadget.
J sendiri membeli gadget sekitar satu tahun yang lalu. Ini demi mendukung belajar daring di tengah pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 bagi anaknya, yang saat itu masih duduk di taman kanak-kanak (TK). Sekarang, setelah anaknya beranjak dari TK ke bangku sekolah dasar, dan pembelajaran daring tidak lagi diterapkan, pemakaian gadget sudah sulit dilepaskan dari anaknya.
“Dari pulang sekolah sampai sore dia main (gadget) terus. Kadang keluar kalau dipanggil temannya, tapi setelah pulang, malam itu main HP lagi,” cerita J.
Nada bicaranya meninggi saat menyebutkan apa saja perubahan perilaku yang terjadi pada anaknya setahun belakangan. Menurutnya, anak laki-lakinya sering membentaknya, bahkan saat dirinya menyuruh makan. “Namanya anak masih kecil, maunya marah-marah saja. Dulu nggak dia begini, sebelum TK,” keluhnya.
Mengetahui perubahan itu muncul setelah anaknya sering bermain gadget, J pun sering menghapus permainan daring yang diunduh anaknya. “Ini saya hapus ya (permainan daring, Red). Dia marah dengan kata-kata tak pantas ke saya. Sekarang bisa dibilang dia emosi tingkat tinggi, mau menang sendiri,” lanjutnya menceritakan.
Meski kesulitan menangani perubahan perilaku anaknya beberapa waktu belakangan, J mengaku belum terpikir untuk mendapatkan bantuan profesional. Bahkan dia mengaku pasrah dengan kondisi tersebut. “Mau bagaimana lagi? Sekarang anak-anak di sekitar sini saja, bahkan yang umurnya belum 2 tahun sudah main HP terus. Mudah-mudahan juga dia tidak sakit (secara fisik, Red),” doa dia.
Kondisi serupa seperti yang dialami J dan anaknya telah menjadi fenomena gunung es yang ada di berbagai wilayah. Termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB) secara umum, dan Kota Mataram secara khusus. Jika melihat secara umum, berdasarkan data Profil Pengguna Internet 2022 yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia mencapai 77,02 persen pada 2021-2022.
Dari 7.568 responden yang mengikuti survei tersebut, penetrasi internet tertinggi ada di kelompok usia 13-18 tahun sekitar 99,16 persen. Sedangkan anak-anak usia 12-15 tahun memiliki penetrasi internet sebesar 62,43 persen.
Dari penelitian pada 2.933 remaja di 33 provinsi di Indonesia, 19,3 persen di antaranya mengalami ketergantungan internet. Sementara 59 persen di antaranya juga mengaku menggunakan gadget dengan durasi rata-rata 11,6 jam per hari, terutama pada remaja. Kondisi memang bukan tidak mungkin terjadi. Terlebih di tengah pandemi Covid-19, pemerintah secara berkala mewajibkan sekolah-sekolah untuk menerapkan belajar daring sejak Juli 2020.
Meningkatnya Kasus Adiksi Gadget dan Kekerasan Seksual
Penggunaan gadget yang meningkat pada anak-anak dan remaja di masa pandemi Covid-19 menimbulkan beberapa dampak negatif. Meski diklaim berhasil menghindarkan terjadinya penyebaran Covid-19 di lingkungan sekolah, aturan tersebut juga memungkinkan peningkatan kasus kesehatan anak-remaja. Misalnya adiksi perilaku yang dipengaruhi penggunaan gadget hingga meningkatkan kasus kekerasan seksual pada remaja yang memanfaatkan beberapa platform media sosial.
Ketua KSM Psikiatri RSUD Patut Patuh Patju, dr. Danang Nur Adiwibawa Sp.KJ menerangkan, sejak pandemi Covid-19 jumlah kasus behavioral addiction atau adiksi perilaku akibat gadget mengalami peningkatan signifikan. Khususnya pada anak-anak yang menjalani pembelajaran daring sebagai ganti pembelajaran tatap muka.
“Sejak mulai adanya sekolah daring, peningkatan adiksi gadget sangat bermakna. Saya juga sebagai dosen, mahasiswa saya banyak yang mengambil penelitian adiksi gadget. Ternyata memang peningkatannya signifikan, yang dulu gadget sebagai hiburan, entah bagaimana setelah pembelajaran daring mereka merasa nyaman berlebihan,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya.
Selama pandemi Covid-19, disebut Danang, ada satu kasus baru adiksi gadget pada anak-anak rentang usia SMP-SMA yang ditanganinya. Pasien-pasien tersebut berasal dari Kota Mataram dan Lombok Barat. Jumlah kasus pun meningkat dibanding sebelum pandemi. “Trennya (adiksi gadget) meningkat setelah angka kasus Covid-19 varian Delta turun di 2021. Setelah kasus Covid-19 mulai reda, tertinggal kebiasaan bermain gadget pada anak,” jelasnya.
Menurut Danang, ada lima tahapan dalam kasus adiksi perilaku akibat penggunaan gadget. Yakni tahap coba-coba, tahap rekreasional, tahap situasional, tahap penggunaan rutin, barulah tahap adiksi. Tingkatan adiksi tersebut bisa diukur dari pendapat ahli terkait waktu ideal menggunakan gadget per hari maksimal 2 jam.
“Itu bisa langsung 2 jam atau terpotong-potong. Di kala lebih dari 2 jam (menggunakan gadget), kita harus berhati-hati. Namun kita menyebut tindakan seseorang sebagai adiksi itu ada prosesnya. Ke arah penggunaan rutin yang perlu diintervensi,” jelas Danang.
Adiksi perilaku sendiri memungkinkan perubahan zat biokimia di otak. Hal ini bisa memicu perubahan karakteristik seseorang baik secara biologis, psikologi, sosial maupun spiritual. Mengingat adiksi perilaku turut mempengaruhi beberapa area otak, yaitu area motivasi, area memori, dan area brain reward.
Sebuah pertanyaan menarik kemudian muncul, ketika mengaitkan potensi adiksi gadget pada profesi yang justru aktif menggunakan gadget seperti pemain game profesional. Danang menjelaskan, meskipun seorang pemain game rutin berlatih dan menggunakan gadget setiap harinya, selama tidak muncul perubahan perilaku, maka itu tidak tergolong adiksi, melainkan kemampuan seorang individu meningkatkan keahliannya.
“Perubahan perilaku itu gejala adiksi. Selama dia perilakunya tetap baik, meskipun main game lebih dari 2 jam dia tidak masuk adiksi. Di kala perubahan perilaku ada, semisal dia tantrum, menentang, kebiasaan rutin yang berubah seperti ibadah, makan, dan lain-lain itu baru diobati,” jelasnya.
Danang menceritakan, salah satu pasien dengan diagnosis adiksi perilaku akibat gadget yang pernah ditanganinya adalah seorang anak laki-laki berusia 14 tahun. Pasien itu baru saja duduk di kelas 1 SMP. Saat datang berobat bersama orang tuanya, indikasi awal menunjukkan gejala depresi. Namun setelah beberapa pemeriksaan, ditemukan klausul utama adiksi gadget hingga perilaku berubah.
Orang tua si pasien pun sempat mengungkapkan beberapa kekhawatiran. Yakni perubahan fisik anak mereka yang semakin hari semakin kurus, serta perubahan sikap yang belakangan berani menentang orang tua, serta melawan guru. Belakangan, diketahui juga si pasien sering tidak tidur hanya untuk bermain gadget tersebut.
“Akhirnya dibawa ke sini. Kita analisa, ibunya mengira gadget hanya dipakai anaknya untuk pelajaran sekolah, tapi ternyata tidak. Ternyata pada saat di tengah-tengah (menggunakan gadget), dia main game juga secara berlebihan,” ujar Danang.
Di sisi lain, hubungan orang tua dengan pasien tersebut juga menjadi tidak harmonis. Seringkali ditemukan situasi di mana si ayah marah-marah. Semisal lantaran tagihan kuota bertambah berkali-kali lipat. Sementara si anak terus-terusan melawan orang tua, dan si ibu tidak berdaya menjadi penengah.
Melihat tingkat adiksi tersebut, penanganan ideal yang harus dilakukan adalah rawat inap dengan kombinasi terapi dan obat-obatan. Namun karena beberapa pertimbangan, utamanya si anak masih harus melanjutkan sekolah, maka dilakukan rawat jalan.
Perawatan pasien adiksi perilaku sendiri tidak bisa dibilang mudah. Dibutuhkan komitmen tinggi, mengingat waktu pengobatan yang cukup panjang, 6-12 bulan atau lebih. “Untuk pasien yang kelas 1 SMP itu saja dia setelah dirawat setahun lebih, 2021 sampai 2022, pertama kontrol 2 minggu sekali, kemudian 1 bulan sekali (setelah kondisi membaik). Memang tidak 100 persen lepas, tapi terus kita kontrol,” jelas Danang.
Di sisi lain, ada kerentanan-kerentanan yang perlu diperhatikan pada penderita adiksi perilaku akibat gadget. Selain emosi berlebihan yang bisa menjadi gejala utama, pada remaja justru ada peningkatan risiko depresi dan bunuh diri.
Jika kondisi tersebut dibiarkan tanpa penanganan, maka perubahan perilaku yang mempengaruhi interaksi sosial ke arah negatif menjadi konsekuensinya. “Ini akan mempengaruhi pasien secara sosial. Terkadang dia butuh uang untuk memenuhi kecanduannya, maka arahnya bisa ke kriminal. Mencuri dan menjual barang orang tua karena pasien masih anak-anak, dan lain-lain. Adiksi perilaku memang tidak seberat adiksi zat (narkotika, Red) jika pengaruhnya pada fisik, tapi perilaku sosial yang terdampak,” ujar Danang.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi menyebut selama pandemi Covid-19 jumlah kasus kekerasan seksual berbasis daring justru meningkat. Kondisi ini diduga dipengaruhi juga oleh pemakaian gadget yang meningkat, terutama saat pembelajaran daring diterapkan.
“Yang banyak itu kenalan lewat media sosial, kemudian kopi darat, dan terjadilah kekerasan seksual. Itu remaja. Data di Polres Mataram sebagian besar begitu, di Polda lebih miris (jumlahnya, Red),” ungkap Joko.
Korban kekerasan seksual tersebut rata-rata usia 15-16 tahun, atau usia kelas 2-3 SMP. Selain belum adanya pemahaman tentang literasi pemanfaatan media, hubungan dengan orang tua yang kurang harmonis juga seringkali menjadi pemicu anak-anak tersebut terjebak hingga menjadi korban kekerasan seksual.
“Ketika mereka ketemu dengan orang yang merasa nyaman, sudah langsung begitu saja tanpa berpikir panjang. Dari sisi lain juga, ketika mereka di media sosial itu terpapar pornografi, itu juga yang jadi pemicu mereka menjadi korban,” jelas Joko.
Sejauh ini, proses hukum untuk kasus-kasus tersebut terus berjalan, di mana kasus serupa terjadi hampir di semua wilayah NTB. Berdasarkan data kasus yang diterima LPA Kota Mataram, setidaknya hingga akhir 2021 ada 301 kasus yang melibatkan anak-anak. Sebanyak 165 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. “Sebanyak 75 persen dari kasus kekerasan seksual itu karena pengaruh gadget,” sebut dia.
Selain itu, kurangnya kedekatan orang tua dan anak, sambung Joko, turut mendukung meningkatnya potensi kekerasan seksual berbasis online beberapa tahun terakhir, khususnya selama pandemi Covid-19. Mengingat anak-anak memanfaatkan gadget dan berbagai fiturnya tanpa pengawasan yang memadai. “Kasus yang sekarang muncul ini sebagian besar karena mereka kehilangan figur orang tua, figur ayah terutama,” ungkap Joko.
Pelaku sendiri sebagian besar berusia dewasa. Modus yang digunakan adalah berusaha melakukan pendekatan lewat media sosial. Kemudian mengajak bertemu hingga melakukan kekerasan seksual.
Dari proses hukum yang berjalan, beberapa tersangka telah mendapat vonis hukuman rata-rata di atas 7 tahun penjara. “Ini (korbannya) rata-rata dari keluarga menengah ke bawah, karena selain itu cenderung berusaha ditutup. Ada banyak kasus seperti ini, tapi tidak dilaporkan,” sesal Joko.
Dia meyakini, kasus kekerasan seksual dengan modus serupa adalah fenomena gunung es yang terjadi di tengah masyarakat. Karena itu, dibutuhkan upaya bersama untuk pencegahannya.
Upaya Penanganan Masih Minim
Menyikapi kondisi yang muncul akibat peningkatan penggunaan gadget di masa pandemi Covid-19 tersebut, upaya yang dilakukan pemangku kepentingan, khususnya dari pemerintahan, justru minim. LPA Kota Mataram misalnya, diakui Joko, telah menyadari tidak adanya upaya holistik yang dilakukan guna mengurangi adiksi gadget dan dampak buruk lainnya. Seperti peningkatan kasus kekerasan seksual.
Untuk itu, pihaknya secara khusus berencana mendatangi Dinas Pendidikan guna membahas beberapa kasus yang muncul dalam situasi pasca-pandemi saat ini. “Salah satu yang harus kita lakukan (adalah mendorong) model ‘#JamMainKita’, itu harus kita perkuat. Membawa kembali anak-anak bermain di luar,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih dulu menaruh perhatian pada kondisi saat ini, mengingat munculnya beberapa kasus kesehatan seperti adiksi gadget dan peningkatan kasus kekerasan seksual tidak terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan. “Anak-anak harusnya bermain di luar, kemudian di saat (pandemi) Covid-19 dipaksa bermain di dalam rumah. Salah satu yang digunakan adalah gadget, termasuk dalam proses pembelajaran. Ini yang harusnya dilihat, agar pemerintah melakukan upaya mengembalikan dunia anak-anak ke dunia bermain,” lanjut Joko.
Selain itu, sekolah juga bisa menjadi fasilitator yang menyediakan ruang pemulihan bagi dampak negatif yang muncul tersebut. Antara lain, mendorong aktivitas-aktivitas produktif yang lebih banyak, termasuk melalui ekstrakurikuler yang ada di sekolah. “Kita di LPA juga tertarik dengan adanya program Sabtu Budaya, itu yang ingin kita dorong dikemas lebih masif lagi, untuk mengkampanyekan #JamMainKita, atau minimal anak-anak bisa kembali pada fitrahnya untuk bermain di luar,” jelas Joko.
Upaya tersebut dinilai bisa menjadi langkah pencegahan agar dampak penggunaan gadget pada anak-anak dan remaja tidak semakin meluas. Kendati, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya juga tidak bisa menutup mata dari kasus yang sudah muncul dan harus ditangani.
Untuk adiksi gadget misalnya, penanganan klinis diakui sangat penting dilakukan, agar efeknya tidak semakin parah. Sayangnya, secara umum di Indonesia penanganan adiksi perilaku, termasuk adiksi gadget, masih cukup sulit untuk dilakukan karena fasilitas yang belum memadai.
Danang menyebutkan, stigma masyarakat yang masih tinggi terhadap pasien kejiwaan seringkali membuat masyarakat yang telah mendapati gejala umum adiksi di keluarganya justru enggan mendapat pengobatan dari profesional. Biaya pengobatan yang tinggi pun menjadi masalah lainnya. Mengingat perawatan pasien adiksi gadget tidak masuk dalam skema pembiayaan asuransi seperti yang disediakan BPJS Kesehatan.
“Adiksi tidak ditanggung asuransi seperti BPJS. Karena ada anggapan itu penyakit karena kesalahan pasien sendiri. Untuk biaya obat psikiatri memang lumayan (biayanya). Kendala kita di situ. Kalau orang menengah ke bawah agak berat, karena itu pengobatan jangka panjang,” beber Danang.
Mengatasi keterbatasan itu, ada beberapa langkah yang bisa diperhatikan orang tua untuk mencegah adiksi perilaku akibat penggunaan gadget berlebih pada anak-anak mereka. Yaitu orang tua harus mengetahui bagaimana anaknya menggunakan gadget, termasuk apa yang diakses dan berapa lama waktu yang dihabiskan.
“Memang agak sulit, tapi ini harus kita lakukan. Karena gadget itu nge-link semuanya, semuanya bisa diakses. Untuk itu, hubungan dengan anak harus baik dan ada keterbukaan,” lanjutnya. Bila mengetahui ada perubahan perilaku dan kebiasaan pada anak, orang tua juga disarankan tidak ragu berkonsultasi dengan profesional. Dengan begitu dampak negatif lebih jauh dari adiksi gadget bisa ditanggulangi.
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB sekaligus Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram, Yusuf mengakui, belum banyak perhatian yang diberikan pihaknya untuk penanganan dampak penggunaan gadget selama pembelajaran daring diterapkan. Untuk itu, pihaknya baru menyusun rencana asesmen yang akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Kita akan lakukan asesmen dulu bagi peserta didik yang kecanduan, baru nanti kita akan (minta) pendampingan dari psikolog atau psikiater,” ujar Yusuf.
Di sisi lain, dengan menurunnya kasus penyebaran Covid-19 proses belajar mengajar di sekolah juga telah 100 persen dilakukan secara tatap muka. Meski begitu, penerapan protokol kesehatan seperti pemakaian masker dan jaga jarak tetap menjadi perhatian pihaknya.
“Kalau untuk penggunaan gadget, mungkin nanti kita serahkan ke sekolah pengaturannya. Karena banyak keluhan dari orang tua juga, untuk menjemput anak dan lain-lain (butuh komunikasi lewat gadget). Saat dia masuk, dititip saja gadgetnya di ruang penitipan. Untuk proses pembelajaran ada ruang lab (komputer),” jelasnya.
Berkomunitas Bisa Jadi Solusi
Pertanyaan menarik mengemuka di tengah peningkatan kasus adiksi gadget saat ini. Yaitu potensi adiksi gadget pada profesi yang justru aktif menggunakan gadget seperti pemain game profesional. Di mana, seorang pemain game yang rutin berlatih dan menggunakan gadget setiap harinya melebihi batas yang direkomendasikan ahli, gejala perubahan perilaku justru tidak muncul. Hal tersebut mungkin terjadi selama seorang individu menemukan cara menjadikan penggunaan gadget bukan sebagai sesuatu yang candu, melainkan sebagai keahlian.
Guna mendukung pemanfaatan gadget sebagai suatu keahlian, berkomunitas bisa menjadi salah satu pintu masuk. Bergabung di komunitas dengan aktivitas positif bisa membantu seseorang bertahan dalam pemanfaatan gadget yang masuk dalam tahap coba pakai, rekreasional, dan situasional.
“Masalah adiksi gadget memang tidak bisa psikiater saja yang menangani, jadi harus kolaborasi. Istilah kami penanganan holistik. Ada dukungan support system dari semua pihak yang ada di sekitar dan bermakna bagi pasien. Bisa orang tua, sahabat, pacar atau orang yang disegani pasien,” ujar Danang.
Apa yang disampaikan Danang kemudian bisa diamati pada sosok Ashghar Azizi, pemuda asal Dasan Agung Kota Mataram yang beberapa waktu lalu berhasil menyabet gelar juara dunia bidang e-sport untuk game eFootball Mobile.
Bermain game di konsol dan gadget diakui Ashghar telah menjadi hobinya sejak kecil. Dukungan penuh dari orang tua pun menjadi alasan utama dirinya tetap menggeluti bidang itu, di samping keterlibatannya di komunitas yang diakui turut berperan dalam karirnya.
“Saya masuk Komunitas E-Football NTB, itu terbuka siapa saja yang masuk. Tinggal kasi nomor WA (WhatsApp). Enggak perlu hebat dulu. Di sana kita sharing informasi, sekalian pas turnamen latihan bareng,” ujarnya.
Iklim di komunitas pun membuat hal yang dikerjakan bisa lebih terarah, termasuk untuk mengasah kemampuan bermain game daring. “Saya juga kasih info ke adik-adik, kalau mau atau ada kemauan jadi atlet esport ikut komunitas,” lanjut Ashghar.
Sebagai atlet esport professional, Ashghar sendiri rutin berlatih di komunitasnya, yaitu BTC Esport yang berbasis di Sweta, Kota Mataram. Melalui komunitas itu juga, dia berbagi mimpi dengan anggota lainnya untuk bisa menjuarai kejuaraan nasional atau bahkan dunia.
Meski berlatih hingga 5-8 jam per hari untuk mengasah kemampuannya bermain game daring di gadget, Ashghar mengaku belum pernah merasakan tekanan secara psikologis maupun mendapat diagnosis klinis tertentu. “Hampir setiap hari saya sama HP, diselingi sama olahraga, bola atau futsal. Tapi kalau sudah bener-bener capek, istirahat. Ditinggalin dulu (HP-nya). Kadang hari kamis libur, tapi yang paling rutin malam minggu (berlatih),” ujarnya.
Selain berlatih, Ashghar juga memanfaatkan gadget miliknya untuk membuka media sosial. Namun aktivitasnya bersama gadget tersebut tetap diselingi dengan aktivitas lain seperti olahraga. Hal itu dirasanya bisa membantunya tetap bugar, meski diakui dirinya belum mendapat pemahaman yang cukup terkait potensi adiksi perilaku akibat penggunaan gadget yang mungkin menimpa dirinya.
“Mungkin karena senang ngerjain (bermain game di gadget) jadi jarang sakit. Kurang informasi sebenarnya saya soal bahaya gadget, tapi kalau kelelahan ya sudah dilepas. Semisal ada turnamen final atau apa, tidur yang cukup,” lanjutnya.
Ashghar pun berharap karirnya sebagai atlet esport tidak sampai di sini. Meski baru memulai menjadi atlet profesional pada momen Pekan Olahraga Nasional XX di Papua pada 2021 lalu, dia mengaku bersemangat menyambut perkembangan dunia e-sport ke depan.
Mendukung perkembangan esport sebagai olahraga prestasi dengan komunitas-komunitas tersebut, Pengurus Provinsi (Pengprov) Esports NTB hadir sebagai wakil pemerintah dengan misinya sendiri. Salah satunya agar bidang yang bergelut dengan pemanfaatan gadget itu tidak lagi dipandang sebelah mata.
Ketua Harian Pengprov Esports NTB, Hafid Hasyim mengakui, pada permulaannya muncul di NTB, bidang e-sport sempat mendapat penolakan lantaran dianggap para atlet hanya dipaksa bermain game daring terus-menerus. “Terus terang, saya juga secara pribadi menolak waktu itu. Namun setelah saya memahami, ada gambaran global soal pemanfaatan teknologi yang mesti ada. Di sinilah negara hadir melegalkan e-sport sebagai olahraga prestasi,” ujarnya.
Menurut Hafid, saat bergelut secara profesional di bidang esport, para pemain game daring telah naik tingkat menjadi atlet dengan segala konsekuensinya. “Mereka bukan hanya masuk ke ranah hobi saja, tapi ada prestasi dan profit di sana. Ada latihan-latihan yang dilakukan, dan bagaimana latihan itu juga teratur agar tidak merusak kesehatan,” jelas Ketua Harian Pengurus Daerah Esport Indonesia (ESI) NTB tersebut.
Dicontohkannya, Ashghar Azizi yang memenangkan kejuaraan dunia esport beberapa waktu lalu telah menjadi salah satu atlet andalan untuk esport dari NTB. Pengprov Esports NTB sendiri disebut Hafid berperan menjadi wadah bagi Ashghar untuk bisa menjadi atlet profesional.
“Di sinilah negara hadir dan dibentuk ESI. Jadi termasuk di NTB inilah fungsi kita; memberi pemahaman dan pandangan pada atlet-atlet bahwa esport ini punya jenjang karir dari porda, porprov, sampai ke olimpiade nanti,” jelasnya.
Selain itu, atlet-atlet e-sport di NTB juga disebut Hafid ditekankan tetap menjunjung nilai agama, pendidikan, sosial dan etika. Termasuk kewajiban menjaga kesehatan fisik dengan berolahraga meski karir yang dijajaki melibatkan bermain gadget dalam waktu lama.
“Kami tetap memberi pandangan dan nasihat, misalnya kemarin (atlet-atlet) bermain game tidak melihat waktu atau apa, lupa makan dan sebagainya, keberadaan kami justru memberi pemahaman pada atlet agar bersikap profesional. Semua yang menyelenggarakan event (e-sport) misalnya, kita minta harus berhenti tiga puluh menit untuk melaksanakan salat kalau sudah waktunya. Kami menyarankan waktu bermain (berlatih, Red) sehari cuma beberapa jam,” jelasnya.
Seluruh aspek sikap dan ketekunan itu pun yang menjadi pertimbangan saat penjaringan atlet yang akan menjadi wakil NTB di kejuaraan e-sport. Di mana penjaringan atlet sendiri dilakukan melalui turnamen-turnamen di tingkat kabupaten/kota di NTB.
“E-sport ini adalah salah satu cabang olahraga yang tetap eksis di tengah pandemi Covid-19 kemarin. Ada banyak event yang dibuat teman-teman, kemudian tim dari divisi Binpres (Bina Prestasi) kami melihat bakat-bakat atlet dari event itu,” ungkap Hafid.
Selain Ashghar dengan prestasinya di bidang e-sport, berbagai aktivitas yang dilakukan di Komunitas Sekolah Peisis Juang yang berbasis di Lingkungan Bintaro Jaya, Kelurahan Bintaro, Ampenan, Kota Mataram juga bisa menjadi contoh praktik baik lainnya. Kelompok yang digagas atas keprihatinan terhadap aturan pemerintah terkait pembelajaran daring tersebut kini menjadi penyokong anak-anak di pesisir Ampenan untuk memiliki wadah pengembangan diri yang dekat dengan mereka.
Pendiri Sekolah Pesisi Juang, Jauhari Tantowi menerangkan, sebagian besar anak-anak yang bergabung di kelompok tersebut adalah mereka yang saat penerapan belajar daring tidak memiliki gadget untuk menerima materi pelajaran. Bahkan anak-anak tersebut terpaksa menyewa gadget Rp 2 ribu per jam untuk tetap bisa mengikuti pelajaran sekolah. “Jadi kita berusaha sebisa mungkin bagaimana anak-anak di sana belajar sesuai apa yang di sekolahnya,” ujarnya.
Dalam situasi itu, para sukarelawan yang terlibat di Sekolah Pesisi Juang meminjamkan gadget untuk anak-anak di sekitar pesisir tersebut. Hal ini sekaligus membantu anak-anak sekolah di sana tetap mendapat pendampingan yang cukup selama proses belajar daring mereka.
Selain materi sekolah, anak-anak yang bergabung di Sekolah Pesisi Juang juga diberi materi lain. “Di luar pelajaran sekolah ada pelajaran etika yang kita ajarkan. Belajar mendengarkan orang berbicara, belajar bagaimana agar mereka punya sopan santun,” beber Tantowi.
Sekolah Pesisi Juang sendiri berisi sukarelawan dari kampus-kampus di Kota Mataram dan luar daerah. Selain masalah pendidikan, berbagai masalah sosial yang ada seperti soal kesehatan, sanitasi, bantuan sosial, kekerasan pada anak hingga permasalahan nelayan menjadi fokus komunitas tersebut.
Di tengah berbagai masalah yang kompleks di sekitar mereka, anak-anak pesisir yang bergabung di Sekolah Pesisi Juang diharapkan mendapat kesempatan yang sama untuk belajar dan memahami sekitar mereka. “Sekarang mereka lebih berani berkomunikasi dengan orang baru. Dengan belajar di sana (Sekolah Pesisi Juang, Red), kemudian ada peningkatan dari anak-anak yang belum sekolah. Sekarang yang bergabung ada anak-anak usia PAUD, TK, SD. SMP, SMA juga ada, mereka yang sudah bergabung sejak 2 tahun lalu masih aktif sampai sekarang,” jelas Tantowi.
Sekarang, Sekolah Pesisi Juang menyediakan beasiswa dari dana kolektif para donatur. Program ini mendukung anak-anak di sekitar Ampenan yang membutuhkan biaya masuk sekolah formal. “Harapan ke depan ini bisa membawa perubahan untuk daerah pesisir, terutama yang di Ampenan ini, dan bisa membangun indeks manusia,” harap Tantowi.
Upaya yang dilakukan Sekolah Pesisi Juang adalah sedikit obat bagi dampak negatif yang mungkin muncul akibat penggunaan gadget di masa pandemi Covid-19. Dengan kasus adiksi dan kekerasan seksual yang tercatat meningkat di masa itu, penanganan holistik tentu dibutuhkan. Mengingat upaya sporadis tidak akan berarti banyak di hadapan sistem yang kadangkala justru mendukung munculnya berbagai masalah tersebut. (bay)