Mataram (Inside Lombok) – Belum lama ini terjadi kasus kekerasan seksual anak di Lombok Timur. Dimana korban berinisial EA (15) disetubuhi secara paksa ketika sedang pingsan oleh empat orang pelaku dengan inisial ASW (18), LIH (34), M (23), dan APE (25).
Aksi dari empat orang pelaku ini menyebabkan korban meninggal dunia. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai lembaga resmi yang mengadvokasi kasus-kasus terhadap anak, melakukan advokasi langsung terkait kasus ini. Mengingat korban dan salah seorang pelaku masih tergolong anak.
Kepala Divisi Advokasi LPA NTB, Joko Jumadi, menerangkan bahwa pihak LPA telah melakukan advokasi baik kepada keluarga korban maupun pelaku. Terkait kebutuhan bantuan psikologi maupun pengacara, dan juga kepada pelaku ASW terkait pendampingan dalam proses hukumnya.
“Sudah (dilakukan advokasi), untuk keluarga korban sudah menyerahkan sepenuhnya ke aparat penegak hukum. Sedang untuk pelaku memang selama ini selalu didampingi LPA kalau pelakunya masih di bawah umur,” ujarnya kepada Inside Lombok pada Rabu (02/01/2019).
Terkait kasus kekerasan terhadap anak, Joko menyebutkan LPA sedang berusaha mendorong pemerintah supaya menyusun program kebijakan yang lebih sistematik. Salah satunya adalah memasukkan pengetahuan perlindungan anak dan pendidikan seksual yang memadai ke dalam kurikulum-kurikulum pendidikan.
Joko juga memandang perlunya perlindungan anak berbasis komunitas di desa-desa. Serta sosialiasi soal pengasuhan kepada orang tua. Mengingat kenyataan banyak dari orang tua di NTB secara umum belum siap menjadi orang tua secara psikologis.
Joko berpendapat kalau kasus kekerasan seksual yang melibatkan EA dan ASW disebabkan salah satunya oleh sistem pengasuhan yang bermasalah. Sebagian besar masalah terkait kekerasan seksual terjadi karena hal tersebut.
“Sebagian besar anak bermasalah dikarenakan pengasuhan yg bermasalah. Maka kita ambil intervensi untuk mempromosikan dan menyelenggarakan pendidikan parenting (cara mengasuh, Red),” ujar Joko.
Selain itu, perilaku sosial masyarakat juga perlu diperhatikan. Sebab kasus kekerasan seksual seringkali terjadi karena perilaku sosial masyarakat mendukung terjadinya kasus tersebut.
Joko menyebutkan perlu adanya perhatian bersama secara sosial-masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa. Supaya kelompok-kelompok masyarakat dibuat guna menjadi wadah konsultasi atau tempat melapor kasus yang mereka alami.
Menanggapi tiga orang pelaku lainnya yang tergolong dewasa dengan kisaran umur 20 sampai 30 tahun, Joko menyatakan bahwa dengan Undang-undang perlindungan anak saja sudah cukup untuk menuntut pelaku didakwa hukuman mati.
Undang-undang yang dimaksud Joko adalah Pasal 81 ayat 5 Perppu Nomor 1 tahun 2016 berdasarkan Undang-undang no 23/2004 Pasal 76D yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Pasal 76D sendiri berbunyi, “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”