Mataram (Inside Lombok) – Seorang perempuan inisial CM (24) asal Kabupaten Lombok Utara (KLU) terpaksa menelan ludah pahit, lantaran ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Polda NTB atas tuduhan pencemaran nama baik dan kasus ITE. Penetapan tersangka itu setelah CM mengungkapkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya di 2023 lalu melalui media sosial.
Sebagai informasi, lewat akun media sosial pribadinya CM mengungkapkan pelecehan yang dilakukan oleh oknum manajer di salah satu hotel di KLU pada dirinya. Awalnya CM sempat melaporkan kasus pelecehan seksual tersebut beberapa kali sekitar Februari – Maret 2023, tapi belakangan dirinyalah yang menjadi tersangka untuk kasus ITE.
Saat mengalami pelecehan seksual tersebut CM masih berstatus mahasiswa jenjang diploma di salah satu kampus di Mataram dan sedang melaksanakan praktek kerja lapangan di hotel tempat terduga pelaku pelecehan seksual menjabat sebagai manajer. “Pembuatan status di akun Facebook korban sendiri sekitar awal April 2023 adalah bentuk kekecewaan yang awalnya pelaku mengaku, namun kemudian membantah,” ujar Ketua Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB, Yan Mangandar saat dihubungi, Rabu (8/5).
Dikatakan, dalam status yang diunggah korban di Facebook miliknya dicantumkan tulisan dan tangkapan layar TikTok tanpa menyebut atau menampilkan nama terduga pelaku pelecehan. Bahkan status itu pun kemudian dihapus sendiri oleh korban. Namun status tersebut justru menjadi bahan laporan ke Polda NTB pada 20 September 2023 hingga CM ditetapkan sebagai tersangka kasus ITE.
“Surat penetapan tersangka 5 Desember 2023, namun baru diberikan ke keluarga CM 26 April 2024. Ini baru salah satu bukti bahwa penyidik banyak melakukan tindakan sewenang-wenang atau cacat secara hukum dalam memproses kasus CM,” tegas Yan.
Pihaknya pun menyayangkan pihak kepolisian lebih getol memproses kasus ITE yang menjerat CM daripada laporan CM sendiri atas kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Menurut Yan, hal itu pun telah mendzalimi CM dan seluruh perempuan lain serta para penyintas kasus kekerasan seksual lainnya.
“Bentuk kesewenang-wenang lain dari Penyidik Polda NTB adalah pengabaian akan fakta bahwa CM adalah korban kekerasan seksual dan proses hukumnya masih bergulir di Polres Lotara (Lombok Utara), meski sementara masih dianggap kurang bukti,” tuturnya.
Menurut Yan, kondisi ini pun melanggar ketentuan bahwa seorang korban yang telah melaporkan dugaan tindak pidana dan sedang berproses tidak dapat diproses hukum atas tindakan terkait pelaporannya tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 10 UU LPSK. “Kami SEPAK ITE NTB sudah menerima kuasa dari saudari CM sejak 30 April 2024 dan hari ini telah diserahkan ke Penyidik Subdit V Cyber Ditreskrimsus Polda NTB,” ucapnya.
Diungkapkan, dalam kasus pelecehan seksual yang dialami CM ada juga korban lainnya. Keduanya mengalami pelecehan seksual fisik dan verbal hingga mengalami trauma. Setelah memberanikan diri bercerita ke keluarganya, keluarga CM yang keberatan sempat mendatangi manajer hotel tersebut, di mana terduga pelaku disebut sempat mengaku dan meminta maaf.
Kendati, beberapa hari kemudian terduga pelaku membantah hingga sekitar akhir Maret 2023 CM bersama keluarganya melaporkan secara resmi tindakan kekerasan seksual yang dialaminya ke Polres Lotara. “Selanjutnya dilakukan penyelidikan dengan menginterogasi korban dan beberapa saksi dan terduga pelaku serta sempat rekonstruksi di TKP,” ucapnya.
Namun melalui SP2HP Polres 4 Mei 2023 laporan CM justru dengan cepat disebut kurang bukti lantaran ada bantahan saksi yang masih bekerja di hotel tersebut. Termasuk tidak diperiksa lagi rekaman CCTV yang disebut telah rusak oleh pihak hotel.
Selain itu, pihak kepolisian juga tidak melakukan pemeriksaan psikologi terhadap korban, tidak mengambil keterangan ahli psikolog dan ahli pidana, tidak memeriksa saksi lainnya seperti kerabat atau orangtua korban yang tahu kejadiannya dan tidak melakukan penyitaan terhadap alat bukti rekaman pengakuan terduga pelaku dan lainnya. “Itu kesalahan besar dalam melakukan penyelidikan kasus CM. Abai terhadap ketentuan UU TPKS,” jelas Yan.
Pasalnya pembuktian perkara TPKS lebih mudah diantaranya di UU 12/2022 tentang TPKS Pasal 25 ayat (1) ditegaskan cukup keterangan korban sebagai saksi ditambah 1 alat bukti lain yang sudah cukup buat pelaku bersalah. 1 alat bukti yang sah ini bisa bukti surat keterangan psikolog klinis atau Ahli Psikolog Klinis dan Ahli Hukum Pidana.
“Besar harapan kami laporan CM di Polres Lombok Utara ditarik dan ditangani penyidik Polda NTB, kami yakin dengan sumber daya yang ada di Subdit IV Ditreskrimum Polda NTB, saat ini akan mudah memproses kasus kekerasan seksual yang dialami CM dengan sesuai ketentuan UU TPKS,” imbuhnya. (dpi)