Lombok Tengah (Inside Lombok) – Hari Perempuan Internasional diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya. Hal ini menjadi momentum bagi para perempuan untuk aktif mengambil peran dalam semua lini kehidupan, termasuk dalam membangun daerah.
“Perempuan NTB harus aktif mengambil peran di semua lini. Mulai dari tingkat desa hingga provinsi. Jangan takut masuk eksekutif juga legislatif. Sehingga bisa mengawal pembangunan yang terasa keberpihakannya kepada perempuan,” kata Wakil Gubernur (Wagub) NTB, Hj. Sitti Rohmi Djalillah dalam kegiatan webinar nasional Hari Perempuan Internasional, Selasa (8/3/2022).
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Universitas Hamzanwadi dengan dukungan program INOVASI (Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia) ini mengusung tema “Kontribusi Kepemimpinan Perempuan dalam Membangun NTB Gemilang”.
Dikatakan Wagub, kualitas perempuan di NTB saat ini sudah semakin meningkat. Hal itu dilihat dari kiprah perempuan di berbagai bidang. Termasuk di antaranya wirausaha. Di mana banyak di antaranya adalah pengusaha perempuan yang sukses. Begitu juga di ranah eksekutif maupun legislatif.
Hanya saja, peran perempuan tersebut diharapkan bisa semakin besar, khususnya di dalam membangun daerah NTB.
“Yang paling penting adalah agar ke depan perempuan memiliki semangat yang besar untuk berperan dalam pembangunan dan berkontribusi. Tentunya dengan tetap meningkatkan kapasitasnya,” katanya.
Salah satu sasaran pembangunan NTB tahun 2019-2023 adalah meningkatnya partisipasi perempuan dalam pembangunan.
“Karena perempuan adalah penentu pembangunan. Perempuan adalah tiang negara. Baik perempuan baik juga negara. Hal ini menunjukkan betapa besar peran perempuan. Perempuan adalah pesantren pertama bagi anaknya. Juga istri, ibu, rol model,” ujarnya.
Untuk mendukung peran perempuan di dalam pembangunan ini, sejumlah kebijakan sudah ditelurkan Pemprov NTB. Di antaranya dengan memastikan akses masyarakat terhadap keterlibatan perempuan tanpa diskriminasi.
Kemudian peningkatan wirausaha perempuan dan juga memperkuat sistem peningkatan kualitas hidup perempuan terutama di berbagai bidang.
Sementara itu, Bupati Kabupaten Bima yang juga merupakan Bupati perempuan satu-satunya di NTB, Hj. Indah Damayanti Putri dalam kesempatan yang sama mengatakan, pengarusutamaan gender menjadi visi misi kepemimpinannya.
“Banyak program utama yakni pemberdayaan perempuan. Karena pemimpin perempuan akan dilihat keberpihakannya kepada perempuan,” jelas Indah.
Diakuinya bahwa salah satu persoalan yang masih menjadi momok di Kabupaten Bima adalah masih adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk menekannya adalah dengan keberpihakan anggaran. Diharapkan hal itu bisa mengatasi persoalan tersebut.
“Ada juga program pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang diharapkan memiliki kapasitas dan kemampuan untuk membesarkan anak dan meningkat ekonomi keluarga,” ujarnya.
Di sisi lain, MERL Manager INOVASI Rasita Purba menyampaikan, masih terjadi diskriminasi perempuan di sektor pendidikan di Indonesia termasuk di NTB. Di mana, perempuan yang menjadi kepala sekolah di SD atau madrasah masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Hal itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh INOVASI bekerjasama dengan Cakra Wikara Indonesia (CWI) pada tahun 2018.
“Studi ini melihat apa persoalan yang dihadapi perempuan untuk bisa menjadi pemimpin dalam dunia pendidikan dalam hal ini kepala sekolah,” ujarnya.
Dari 385 sekolah di empat provinsi mitra INOVASI yang diteliti yakni NTB, Jawa Timur, NTT dan Kalimantan, persentase kepala sekolah perempuan lebih rendah. Di NTB persentasenya cukup jauh yakni 80 persen merupakan laki-laki dan hanya 20 persen perempuan untuk SD.
“Tapi ini adalah sekolah mitra INOVASI. Sehingga tidak bisa generalisir. Tapi setidaknya ini menunjukkan kondisi yang ada. Kalau di Madrasah, hanya 13 persen kepala sekolah perempuan. Padahal, porsi guru perempuan jumlahnya lebih banyak,” katanya.
Padahal, Pemda sudah berupaya untuk mendorong keseteraan dalam berbagai bidang. Namun, masih ditemukan ketidaksetaraan peluang guru perempuan menjadi kepala sekolah. Semestinya ini tidak terjadi lagi. Karena arusutama gender sudah diupayakan pemerintah.
“Dan ternyata Pemda juga menjadi penentu agar hal ini tidak terjadi lagi. Diantaranya melalui proses seleksi kepala sekolah agar tidak terjadi lagi subyektivitas dan juga unsur politik di dalamnya,” imbuh Purba.
Karena dari penelitian yang dilakukan, tingkat kepuasan terhadap kepala sekolah perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan kepala sekolah laki-laki. (fhr)