Mataram, 15/3 (Inside Lombok) – Penyelidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, memeriksa salah seorang pejabat yang bertugas di Sekretariat Daerah Lombok Barat terkait kasus dugaan penjualan aset berupa lahan seluas 6,9 hektare di wilayah Lingsar.
Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Senin mengatakan, pemeriksaan salah seorang pejabat dari Setda Lombok Barat ini masih bersifat klarifikasi.
“Karena penanganan kasusnya baru dilimpahkan ke pidsus (pidana khusus), jadi memang ada agenda klarifikasi ulang para pihak yang sebelumnya sudah berikan keterangan saat penanganannya masih di bidang intelijen,” kata Dedi Irawan.
Pejabat yang dimintai keterangannya oleh Tim Penyelidik Pidsus Kejati NTB tersebut, bernama Hamka, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Lombok Barat.
Dalam statusnya di tahap klarifikasi penyelidikan ini, Hamka memberikan keterangannya saat masih menduduki jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Camat Lingsar di tahun 2018.
Saat ditemui usai pemeriksaannya sekitar pukul 15.30 Wita, Hamka mengaku tidak mengetahui persoalan penjualan aset Pemkab Lombok Barat yang lokasinya berada di Dusun Punikan, Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar.
“Saya tidak tahu soal itu (penjualan aset), dan memang tidak ada kaitannya dengan jabatan saya saat itu (Plt Camat Lingsar),” ujar Hamka.
Pada tahun 2017, lahan yang berada dalam status kelola Dinas Pertanian Lombok Barat tersebut muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.
Setelah kepemilikan beralih, meskipun belum ada eksekusi pengadilan, lahan diduga diperjualbelikan dalam bentuk kaveling. Nilai jualnya diperkirakan mencapai Rp2 miliar.
Terkait dengan peralihan tersebut, pihak kejaksaan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).
Berdasarkan penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.
Penggugat berinisial GHK mengklaim lahan seluas 6,9 hektare tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Dia menggugat pengurus lahan berinisial IW yang menduduki lahan.
IW yang dalam perkara tersebut sebagai tergugat, merupakan pengelola lahan. Penghasilan panen kelapa yang hidup di atas lahan itu disetorkan ke Pemda Lombok Barat. Setorannya Rp4 juta setiap tahun. Sebanyak 490 pohon kelapa diduga sudah ditebang dan dijual.
Kembali dalam gugatannya, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Hasilnya, majelis hakim dalam putusan perdatanya menolak gugatan GHK itu untuk seluruhnya.
Selanjutnya GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Hasilnya berbeda, majelis hakim menerima banding GHK serta membatalkan putusan PN Mataram dan menyatakan lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orang tuanya berinisial GGK.
Putusan bandingnya menyebutkan tergugat untuk menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat.
Dasar putusan banding itu pun yang menjadi dasar GHK mengajukan ke BPN Lombok Barat untuk menerbitkan kepemilikan lahan. (Ant)