Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah memutuskan usulan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Ini berarti naik 2 persen dibandingkan dengan tarif yang selama ini berlaku yakni sebesar 10 persen.
Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dinilai berpotensi menurunkan pertumbuhan konsumsi domestik. Sehingga akan menghambat proses pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
“Dengan masih adanya pandemi seperti saat ini, kebijakan kenaikan PPN dirasa tidak tepat sementara pertumbuhan ekonomi kita masih dalam proses pemulihan, beberapa di antaranya bahkan masih minus,” kata Anggota Komisi II Bidang Perekonomian DPRD Provinsi NTB Yek Agil, Kamis (3/6/2021).
Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji ulang sebelum memutuskan kebijakan tersebut. Sebab, masih banyak opsi-opsi lain yang dapat dipertimbangkan untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara.
“Salah satunya yakni dengan melakukan efisiensi anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, pemerintah juga bisa mengoptimalisasi aset negara dan menunda atau reschedule beberapa program pembangunan yang membutuhkan anggaran besar,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, jika memang kebijakan tersebut akan tetap diberlakukan, maka hal tersebut dinilai kontradiktif dengan tujuan pemerintah yang ingin menaikkan konsumsi masyarakat.
“Jadi jangan sampai kebijakan niat naikkan pajak justru berdampak negatif ke proses pemulihan ekonomi yang kita dapat momentumnya saat ini,” tegasnya.
“Sebab yang paling merasakan dampak dari kebijakan ini adalah konsumen, karena dibebankan kepada mereka. Jika konsumen menahan diri untuk berbelanja maka otomatis akan berdampak kepada pengusaha pula, terutama bagi pengusaha menengah ke bawah,” katanya menambahkan.
Berdasarkan rencana kerja pemerintah, implementasi kebijakan PPN baru itu akan diterapkan pada 2022 sebagai salah satu cara menaikkan penerimaan pajak pada 2023. Target defisit anggaran 2023 ditarget di bawah tiga persen.
Sumbgjker