Mataram (Inside Lombok) – Kesenjangan yang melebar antara kebutuhan dan produksi komoditas bawang putih di dalam negeri sudah lama menjadi perhatian berbagai pihak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 hanya ada 19,5 ribu ton bawang putih yang dihasilkan dari lahan seluas 2.146 hektare. Jumlah tersebut berkurang dari 2016 yang mana Indonesia masih bisa memproduksi 21,15 ribu ton bawang putih dari lahan seluas 2.407 hektare.
Kebutuhan bawang putih domestik dalam setahun rata-rata sekitar 570 ribu ton, dengan konsumsi bawang putih per bulan sebanyak 42 ribu ton.
Tidak heran bila beberapa tokoh, seperti Anggota Komisi IV DPR RI Hasanuddin Abu Samah mengingatkan pemerintah bahwa diperlukan hingga sekitar 60.000 hektare lahan tanam untuk mencapai target swasembada bawang putih.
“Jika pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian ingin mewujudkan swasembada bawang putih dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan, pemerintah harus benar-benar serius mengawal program tersebut,” kata Hasanuddin.
Politisi PPP itu mengemukakan bahwa selama ini impor bawang putih tak terhindarkan karena produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 5 persen kebutuhan nasional dan sisanya sebanyak 95 persen dipenuhi dengan impor.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyebutkan bahwa target swasembada bawang putih yang dicanangkan pemerintah pada 2021 terkendala oleh banyak keterbatasan termasuk lahan.
Assyifa Szami Ilman menyatakan, banyaknya alih fungsi lahan pertanian karena cuaca dan kondisi tanah yang tidak produktif juga ikut mempengaruhi tercapainya target swasembada ini.
Pemerintah, ujar dia, juga perlu meninjau ulang pemberlakuan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 16 tahun 2017 yang menyatakan ada kewajiban bagi importir bawang putih untuk menanam bawang putih di dalam negeri sebesar 5 persen dari total impor yang diajukan. Pemberlakuan peraturan ini tidak efektif karena keterbatasan lahan.
Ilman berpendapat bahwa semakin terbatasnya luas lahan dan alih fungsi lahan yang sudah banyak terjadi menyebabkan sulitnya menemukan lahan dengan ketinggian tertentu dalam iklim tertentu.
Apalagi, ia juga mengingatkan bahwa bawang putih harus ditanam di lahan yang berada di ketinggian antara 700 meter hingga 1.300 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian tertentu, luas lahan semakin terbatas.
Ilman mengemukakan, harus diakui bahwa produksi lokal belum mencukupi permintaan sehingga kebijakan opsi untuk impor juga harus tetap dilakukan. Tetapi di sisi lain, pemerintah juga harus tetap konsisten mempertahankan prinsip kehati-hatiannya dalam mengeluarkan kebijakan.
“Namun ada kalanya, aturan-aturan tertentu dapat menghambat dilakukan impor yang sebenarnya dibutuhkan,” jelasnya.
Untuk itu, ujar dia, sebaiknya pemerintah bisa menciptakan alternatif kebijakan impor khusus tanpa mengikuti regulasi berlaku yang memberatkan seperti wajib tanam, dapat dilakukan terutama untuk yang sifatnya untuk mencegah gejolak harga.
Hal tersebut, lanjutnya, dinilai penting karena saat program yang sifatnya mendorong produksi tidak bisa memberikan hasil produksi yang mencukupi secara instan, perlu dilakukan perlakuan khusus seperti kebijakan impor.
Ilman memaparkan, impor khusus ini bersifat sebagai bentuk mitigasi dari gejolak harga yang mungkin terjadi.
“Impor khusus yang sifatnya dilakukan pada saat-saat tertentu ini diharapkan bisa dilakukan tanpa menghadapi birokrasi yang menyulitkan, misalnya seperti wajib tanam tersebut,” ucapnya.
Sentra pengembangan
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi mengutarakan harapannya agar berbagai daerah potensial dapat menjadi salah satu sentra pengembangan bawang putih untuk meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri
“Ini sangat miris, dengan luas lahan yang bisa ditanami bawang putih di negara kita, harusnya tidak impor bawang putih, melainkan sebaliknya kita bisa ekspor bawang putih keluar negeri,” kata Viva Yoga Mauladi.
Viva Yoga Mauladi saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI ke Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, (13/7), menyatakan, daerah Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat berpotensi untuk menjadi sentra pengembangan bawang putih.
Menurut Viva, Sembalun merupakan lokasi yang sangat cocok untuk pengembangan tanaman bawang putih nasional karena dari letak geografisnya.
Selain itu, ujar dia, hampir 50 persen atau separuh dari pasokan sayuran untuk Mataram, NTB, juga berasal dari Sembalun.
“Wilayah Sembalun dikelilingi oleh bukit dan gunung juga lahan yang sangat luas dan datar, sepanjang mata memandang tertanami bawang putih yang menjadi salah satu prioritas andalan nasional,” kata politisi PAN itu.
Ia menyatakan bahwa Komisi IV DPR RI mendukung Sembalun menjadi sentra utama pengembangan bawang putih nasional, dan diharapkan Sembalun akan bangkit menjadi sentra bawang putih Indonesia sehingga swasembada bawang putih dapat terwujud pada 2021.
Sementara itu, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Republik Indonesia Suwandi menyebutkan sebanyak 200 kabupaten di seluruh Tanah Air memiliki lahan pertanian yang cocok untuk ditanam bawang putih dan menjadi sentra tanaman hortikultura tersebut.
“Kita mempunyai sentra-sentra yang sesuai untuk bawang putih itu seluas 600 ribu hektare tersebar di hampir 200 kabupaten,” kata Suwandi usai Koordinasi dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Produksi Bawang Putih di Yogyakarta, Rabu (26/6).
Untuk itu, pengembangan tanaman bawang putih di dalam negeri akan terus diupayakan dan digalakkan bersama pemangku kepentingan terkait pangan di daerah-daerah yang bisa menjadi sentra untuk swasembada komoditas itu.
Target 2021
Dia menargetkan pada 2021 tanaman bawang putih di seluruh wilayah dalam negeri bisa mencapai 80 ribu sampai 100 ribu hektare dengan desain tanam untuk dijadikan benih untuk ditanam tahun berikutnya dan seterusnya.
“Tahun 2021 kita punya target 80 ribu sampai 100 ribu hektare, karena untuk swasembada kita perlu 69 ribu hektare yang itu cukup dikonsumsi dan sisanya dijadikan benih untuk ditanam lagi, itu sistem berkat dukungan semua pihak,” katanya.
Menurut dia, peningkatan produksi benih bawang putih guna memperluas tanaman hortikultura itu sebagai upaya pemerintah menuju swasembada pangan untuk bawang putih dan menghilangkan ketergantungan impor dari luar negeri.
Kementan juga menegaskan bahwa kebijakan wajib tanam dan memproduksi bawang putih sebanyak lima persen dari pengajuan impor, akan terus dilanjutkan dan disempurnakan.
Kebijakan tersebut diyakini bukanlah penyebab atau pemicu kenaikan harga salah satu bumbu dapur tersebut di tingkat konsumen beberapa waktu lalu.
“Sampai dengan 2021, pemerintah memproyeksikan pasokan bawang putih konsumsi dalam negeri masih mengandalkan impor. Sementara, produksi dalam negeri difokuskan untuk memenuhi kebutuhan benih tanam,” kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Moh Ismail Wahab.
Pada 2019 ini saja, katanya, Kementan terus berupaya menggenjot produksi bawang putih lokal di lebih dari 100 kabupaten seluruh Indonesia melalui dana APBN.
Wajib tanam importir digadang menjadi pendukungnya. Meski dalam pelaksanaannya diwarnai berbagai kekurangan, program wajib tanam ini terbukti mencatatkan berbagai keberhasilan di antaranya seperti dilansir data BPS tentang kenaikan luas panen 250 persen dan produksi 200 persen tahun 2018 dibanding tahun sebelumnya.
Ia memaparkan, wajib tanam importir hanyalah salah satu pendekatan yang dilakukan pemerintah guna mendukung pencapaian target swasembada selain melalui dana APBN.
Pelibatan importir dalam proses wajib tanam dimaksudkan agar tumbuh kepedulian dan komitmen kebersamaan dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional khususnya bawang putih. (Ant)