Mataram (Inside Lombok) – Lahan pertanian di NTB dari tahun ke tahun jumlahnya semakin menurun. Karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang tidak dapat dihindari, terutama untuk pembangunan pemukiman atau perumahan, gudang, pabrik dan bendungan.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB, peruntukkan alih fungsi lahan sawah di NTB, khususnya Pulau Sumbawa sebagai berikut, Kabupaten Sumbawa seluas 3.794,30 hektare (Ha), Kabupaten Bima seluas 2.958,50 Ha, Kabupaten Dompu seluas 1.668,40 Ha. Kemudian, KSB dan Kota Bima masing-masing seluas 607,60 Ha dan 395,10 Ha. Kemudian di Pulau Lombok, wilayah tertinggi alih fungsi lahan adalah Kota Mataram 638,10 Ha, Kabupaten Lombok Barat 1.624,80 Ha, Kabupaten Lombok Tengah 3.118,59 Ha, Kabupaten Lombok Utara 5.061,50 Ha dan Lombok Timur 6.891,20 Ha.
“Pertumbuhan penduduk yang pesat, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian, nilai ekonomi lahan, sosial budaya, kurangnya minat generasi muda untuk mengelola lahan pertanian dan lemahnya regulasi pengendalian alih fungsi lahan,” ungkap Kepala Distanbun NTB, Fathul Gani, Senin (8/8).
Ada tiga faktor mengapa terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Pertama, faktor eksternal yang disebabkan adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi dan ekonomi. Kedua, faktor internal seperti kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Ketiga, faktor kebijakan yang disebabkan oleh aspek regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
“Berkurangnya lahan pertanian, sudah pasti menimbulkan dampak negatif yang sangat luas pada beberapa aspek,” ujarnya.
Diakuinya alih fungsi lahan pertanian sangat sulit dicegah selama kebijakan pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Distan NTB pun mengajukan empat kebijakan prioritas yang diusulkan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan. Yaitu, menyusun perda tentang LP2B dan alih fungsi lahan di setiap kabupaten/kota.
“Menetapkan zonasi lahan-lahan sawah yang dilindungi. Menetapkan bentuk insentif dan disinsetif terhadap pemilik lahan. Membentuk komisi pengendali konversi lahan sawah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” paparnya.
Sementara itu, memang di Pulau Sumbawa, daerah tertinggi alih fungsi lahannya ada di Kabupaten Sumbawa. Disusul Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, KSB dan Kota Bima, karena lahan-lahannya banyak digunakan sebagai gudang dan pabrik, bendungan atau embung, untuk permukiman atau perumahan tidak terlalu signifikan. Pembangunan tersebut lebih banyak menggunakan lahan-lahan kurang produktif. Sementara jumlah area persawahan atau produktif sangat terbatas.
“Kita sebagai daerah lumbung nasional, lahan NTB yang masih produktif harus kita tetap jaga. Agar tidak terlalu masif kegiatan alih fungsi lahan ini,” imbuhnya. (dpi)