Mataram (Inside Lombok) – Kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan di NTB terbilang masih tinggi, yakni mencapai sekitar 904 kasus. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB deretan kasus kekerasan ini kebanyakan terjadi di lingkungan rumah, di mana kasus kekerasan seksual mendominasi.
Ketua LPA Kota Mataram sekaligus Ketua Divisi Pelayanan Penanganan Kasus LPA NTB, Joko Jumadi mengatakan dari 904 kasus yang terjadi, kasus kekerasan seksual mendominasi dengan angka 362 kasus, kemudian 248 kasus kekerasan fisik dan 194 kasus kekerasan psikis. Seluruh kasus yang terjadi pun disebutnya telah menjadi perhatian bersama semua pihak untuk dituntaskan, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
“Dari 904 kasus ini sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak yang mencapai 600 orang korban. Sebagian besar menjadi pelaku tindak kekerasan ini yakni teman atau pacar,” ujar Joko, Kamis (7/12).
Sedangkan pelaku dari kalangan orang tua di tahun 2023 ini sebanyak 48 kasus yang rata-rata kasus seksual. Sedangkan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terdapat sekitar 133 kasus yang dilakukan oleh suami. Bahkan ada sekitar 18 guru yang dilaporkan sehingga ini menjadi atensi bersama pihaknya.
“Perkembangan teknologi informasi sebagai salah satu pemicu dari perbuatan tidak berprikemanusiaan ini. Kemudian lemahnya pengasuhan dan pengawasan, serta perilaku anak semakin liar akibat kemajuan teknologi,” terangnya.
Hal ini penting untuk disikapi sehingga kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dapat diminimalkan. Saat ini ada tren kenaikan kasus kekerasan anak dan perempuan di tahun 2022 ke tahun 2023. Tetapi kenaikannya tidak terlalu signifikan.
“Karenanya kita terus melakukan advokasi, sinergi dan kerjasama dengan berbagai kalangan dalam menekan kasus kekerasan tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, upaya perlindungan terhadap anak agar tidak menjadi korban kasus pelecehan seksual belum maksimal. Mengingat yang menjadi pelakunya adalah orang terdekat. Begitu juga di dunia pendidikan juga dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa.
Lebih lanjut, secara programatik yang bisa dilakukan terutama di lingkup pendidikan. Yaitu program sekolah ramah anak, desa ramah perempuan dan peduli anak. Kemudian puskesmas ramah anak, tempat ibadah ramah anak. “Hal ini yang harus segera diimplementasikan buka hanya sekedar papan nama saja,” ujarnya. (dpi)