31.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024
BerandaBerita UtamaMasjid vs Rentenir di Tengah Perbankan Digital

Masjid vs Rentenir di Tengah Perbankan Digital

Mataram (Inside Lombok) – Sejak 2019 Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami percepatan pembangunan, terutama dengan adanya proyek besar Sirkuit Internasional Mandalika di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok Tengah. Oleh pemerintah, proyek ini dicanangkan meningkatkan posisi NTB, terutama Pulau Lombok, sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas, sehingga mendukung peningkatan ekonomi bagi daerah maupun masyarakatnya. Tentu, mencapai tujuan itu tidak semudah membalik telapak tangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) NTB mencatat angka kemiskinan di NTB hingga September 2022 lalu justru mengalami kenaikan 12,8 ribu jiwa atau 0,14 persen. Naiknya angka kemiskinan disebut merupakan dampak pandemi Covid-19, kenaikan harga BBM, dan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Sampai dengan Maret 2022, jumlah penduduk NTB yang masuk kategori miskin ekstrem bahkan mencapai 176 ribu jiwa atau 3,29 persen, di mana 90 persen di antaranya didominasi kelompok masyarakat dari sektor pertanian, perikanan dan peternakan.

Seperti membangun ironi-nya sendiri, di tengah percepatan pembangunan yang terjadi di NTB, masih ada ratusan ribu masyarakat miskin yang berusaha bertahan menghadapi kondisi ekonomi mereka. Termasuk dengan menjerat diri di belenggu hutang. Nyatanya, praktik-praktik rentenir dengan berbagai modus masih menghantui masyarakat, berlomba dengan perbankan yang secara legal menyusun program-program yang diproyeksikan bisa membantu masyarakat.

Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mengakui masih banyak masyarakat NTB, terutama pelaku usaha mikro dan pedagang-pedagang kecil yang selama ini lebih nyaman dan lebih mudah meminjam ke rentenir meski dengan bunga tinggi. Jumlah masyarakat yang mengakses pinjaman di rentenir pun sempat dikhawatirkan meningkat, terutama saat pandemi Covid-19 melumpuhkan berbagai sektor pada awal 2020 lalu.

“Akibat berbunga tinggi, akhirnya jadi beban yang sangat berat dan membuat lingkaran setan kemiskinan yang susah diputus,” ujarnya. Hal itu pun dinilai berhubungan langsung dengan literasi keuangan yang belum merata di masyarakat.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2022, baru 65,45 persen masyarakat NTB yang memahami literasi keuangan untuk menentukan dan mengukur pengelolaan keuangannya, sedangkan akses pada produk atau jasa layanan keuangan sekitar 82,34 persen.

Untuk itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB menggerakkan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), di antaranya OJK, Bank Indonesia (BI), Bank NTB Syariah, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) NTB untuk mewujudkan program melawan rentenir berbasis masjid (Mawar Emas). Program tersebut mengedepankan sistem ekonomi syariah yang diadopsi NTB sejak 2018 untuk bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang terjerat hutang di rentenir.

Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) NTB, Baiq Mulianah selaku eksekutor program Mawar Emas menerangkan niat mulai program tersebut memang berbenturan dengan kondisi masyarakat yang sulit lepas dari jeratan hutang, terlebih di rentenir. “Ini adalah sebuah pilihan berat ya sebenarnya. Agak susah juga diberantas, karena itu (praktik rentenir, Red) sama usianya dengan usia peradaban. Karena memang ada celah dari sistem nilai kita, sistem kehidupan sosial kita terkait dengan bagaimana rentenir ini tumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Untuk itu, yang bisa dilakukan program Mawar Emas adalah mendorong perbankan menyusun layanan keuangan yang memudahkan masyarakat miskin mengambil pinjaman modal. Melalui program itu, perbankan dan penyedia layanan keuangan lainnya diminta memberi pinjaman modal tanpa bunga bagi masyarakat yang memiliki usaha ultra mikro.

Mawar Emas dan Peran Sosial Perbankan

Pinjaman modal Mawar Emas diberikan secara berkelompok pada jemaah masjid yang nantinya akan dibina untuk memperoleh bantuan Rp1-3 juta dari Bank NTB Syariah, PNM Mekar, dan yang terbaru dari Bank Syariah Indonesia (BSI).

Diterangkan Mulianah, akses pinjaman modal di Bank NTB Syariah dan BSI misalnya mengedepankan pinjaman dengan akad qardhul hasan, atau pinjaman tanpa imbal jasa (bunga) yang diberikan kepada pihak yang membutuhkan dengan memenuhi kriteria tertentu.

“Mawar Emas ini sasarannya adalah ibu-ibu jemaah masjid yang memiliki usaha ultra mikro yang membutuhkan pembiayaan Rp1-3 juta, tapi tidak langsung begitu saja nasabah bisa akses Rp3 juta. Ini harus bertahap dulu supaya ada uji petiknya,” jelas Mulianah.

Selain itu, pinjaman modal di Mawar Emas juga diharuskan berkelompok agar mengedepankan fungsi sosial. Posisi masjid pun menjadi krusial dalam skema solusi yang diusung Pemprov NTB tersebut. Terutama bagi mereka yang telah aktif memanfaatkan masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga tempat aktivitas sosial masyarakat.

Berdasarkan catatan Dewan Masjid Indonesia NTB, setidaknya ada 9.996 masjid di NTB. Sebuah proyeksi positif muncul dari Gubernur NTB saat membayangkan seluruh masjid tersebut menjadi tempat diselenggarakannya program Mawar Emas, di mana para pelaku usaha ultra mikro berkumpul, diajarkan mengatur modal, dan menata usaha mereka agar lebih produktif.

“Saya bisa bayangkan, kalau semua masjid dapat memberdayakan ekonomi syariah melalui program Mawar Emas, insyaallah masyarakat akan sejahtera,” ujar Zulkieflimansyah.

Realisasi program Mawar Emas sendiri pada 2022 lalu telah mencapai 10 angkatan yang mencakup 25-30 masjid. Artinya ada 250-300 masjid yang telah didorong mengakomodir program tersebut. “Sudah hampir 1.500 masyarakat yang mengakses, dan itu sudah masuk ke tahap kedua. Artinya yang awalnya pinjam Rp1 juta (sudah bisa) naik jadi Rp2 juta,” papar Mulianah.

Realisasi pinjaman dari Mawar Emas sendiri telah lebih dari Rp1,37 miliar. Selain diberikan pinjaman, penerima manfaat juga diberikan pendampingan dan pemberdayaan berkelanjutan untuk usahanya. Di mana para takmir masjid telah dilatih untuk melakukan pendampingan itu.

Setelah kondisi ekonominya lebih stabil, Mulianah juga menyebut penerima manfaat Mawar Emas bisa juga mengakses produk-produk komersial dari perbankan yang menyediakan program tersebut. “Di Bank NTB Syariah misalnya, (ada) produk tunas yang pinjaman sampai Rp5 juta,” jelasnya.

Direktur Utama Bank NTB Syariah, Kukuh Rahardjo menyebut program Mawar Emas telah dimanfaatkan masyarakat untuk peningkatan kapasitas usaha mereka. Berdasarkan catatan pihaknya, sejak Mawar Emas diluncurkan pada 2020, program itu mampu menekan catatan kredit bermasalah atau non performing financing (NPF) di tingkat nol persen. Hal itu didukung dengan peran takmir masjid yang aktif melakukan pendampingan bagi para debitur Mawar Emas.

Diterangkan Kukuh, akses permodalan melalui program Mawar Emas sebelumnya dibatasi Rp1 juta dengan jangka waktu pengembalian 12 bulan. Selama mengangsur pinjaman itu, nasabah tidak dibebankan bunga apapun dan hanya mengembalikan sejumlah yang diterima.

Persyaratan klaim pinjaman sendiri tidak dipersulit, sesuai arahan OJK dan MES NTB, di mana pengajuan bisa melalui takmir masjid. Kendati, calon nasabah harus memiliki catatan baik agar proses pencairan pinjaman tidak terhambat.

Selain itu, calon nasabah juga diharapkan aktif dalam kegiatan majelis taklim atau pengajian di masjid setempat. Partisipasi aktif ini dibuktikan oleh rekomendasi takmir masjid kepada ibu rumah tangga calon nasabah.

Masyarakat yang memiliki beban hutang pada rentenir pun menjadi prioritas, sehingga pinjaman yang diberikan bisa dipakai untuk melepaskan jerat hutang itu ataupun mengembangkan usaha dalam jangka panjang. Mereka yang lancar dalam pengembalian pembiayaan tersebut bahkan dapat mengajukan kembali tambahan pinjaman modal usaha.

Terpisah, Funding Transaction Representatif BSI, Ghinaa Fatinasari menerangkan pihaknya menerapkan program Mawar Emas di NTB dengan memanfaatkan peran Divisi Maslahat. “Jadi itu penampung seperti uang zakat dan sebagainya. Itu berupa bantuan yang kami minta untuk dikelola oleh pihak MES. Nanti MES yang memberikan kepada penerima manfaat, orang yang di rasa berhak, orang yang dirasa memenuhi syarat untuk diberikan pinjaman tersebut,” ujarnya.

Akad qardhul hasan yang menjadi basis perjanjian pinjaman dengan nasabah itu pun diharapkan memudahkan. Terlebih dari pihak bank sendiri jika berbicara bisnis diakuinya tidak mendapat keuntungan langsung.

“Jadi itu benar-benar untuk menyalurkan dana umat, untuk membantu juga,” ujar Ghinaa. Menurutnya, manfaat tidak langsung program Mawar Emas bagi perbankan seperti BSI adalah promosi yang memberi eksposur di masyarakat terkait keberadaan bank tersebut. Sehingga masyarakat, hingga kelompok yang belum dekat dengan inklusi keuangan, juga mengenal layanan-layanan yang ada di perbankan penyedia Mawar Emas.

Tantangan Digitalisasi

Meski program Mawar Emas disebut berjalan lancar di sisi perbankan, tantangan lainnya diakui muncul. Terutama terkait digitalisasi layanan yang saat ini berlomba-lomba dilakukan perbankan untuk mendekatkan diri ke masyarakat.

Ghinaa sendiri optimis layanan digital akan disambut baik oleh masyarakat, termasuk untuk program Mawar Emas. “Insyaallah masyarakat saat ini sudah paham teknologi. Masyarakat juga sudah semakin paham mudharat apabila meminjam di rentenir. Mungkin di sini juga harus ada peran pemerintah memberikan edukasi ke masyarakat, terutama masyarakat kecil,” ujarnya.

Tantangan lain soal digitalisasi itu juga disinggung Direktur Pembiayaan Bank NTB Syariah, Muhamad Usman yang menyebut pemain di pasar perbankan di NTB banyak sekali bank nasional. Untuk meningkatkan peran bank daerah, salah satu upayanya dengan meningkatkan digitalisasi atau digital banking.

Bagi Bank NTB Syariah yang sebelumnya merupakan bank konvensional dan berkonversi pada 24 September 2018 tentu menghadapi tantangan untuk tetap eksis di tengah gejolak digitalisasi itu. “Karena itu, kami merumuskan strategi pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung digital banking. Tujuannya, untuk menghadirkan produk TI yang berkualitas,” ujarnya, dikutip dari berita di laman Bank NTB Syariah.

Diterangkan, strategi pertama Bank NTB Syariah tetap eksis adalah harus mampu menyuguhkan produk dan layanan perbankan dengan cepat, transparan, aman, dan mudah kepada seluruh stakeholder melalui sarana teknologi informasi yang modern. Kedua, mampu meningkatkan kualitas infrastruktur teknologi dan reliability system teknologi transaksi perbankan.

“Ketiga, menciptakan arsitektur dan platform TIK yang handal dan mampu berinteraksi dengan sistem lainnya. Untuk menghasilkan proses kerja yang lebih ringkas, transparan, dan efisien,” terang Usman.

Mengakomodir program Mawar Emas sendiri memiliki potensi mendorong perbankan lebih dikenal masyarakat. Mengingat akses keuangan ke rentenir lebih dipilih masyarakat, salah satunya karena perbankan memiliki stigma hanya menyediakan pinjaman dalam jumlah besar yang harus disertai jaminan. Padahal ada program-program pinjaman dan kredit lain yang juga lebih ramah untuk masyarakat kecil.

Mulianah selaku Ketua MES NTB menyebut digitalisasi program Mawar Emas saat ini sedang dikembangkan dengan menggandeng PT SPS (Sarana Pembayaran Syariah). “Program Mawar Emas ini kita MES terus berbenah, mendampingi, memverifikasi penerima, melatih takmir masjid dan sebagainya,” jelasnya. Menaruh program Mawar Emas di deretan layanan digital, termasuk bagi perbankan yang mengakomodir program tersebut, tentu bisa menjadi pintu masuk untuk mempercepat perluasan program itu di masyarakat.

Selain digitalisasi layanan perbankan, digitalisasi sistem keuangan masyarakat juga menjadi sorotan. Deputi Kepala Perwakilan BI NTB, Akmaluddin Suangkupon misalnya menyebut digitalisasi keuangan bisa juga diterapkan di masjid, seperti basis yang diambil program Mawar Emas.

Digitalisasi dalam sistem pembayaran bukan hanya karena biaya pengelolaan uang cash yang relatif besar, dan risiko dalam menghimpun dana secara tunai. Tetapi juga karena perkembangan teknologi dalam sistem pembayaran. Saat ini sebagian besar masyarakat sudah banyak menjadi pengguna dompet digital.

Menurutnya, digitalisasi di masjid merupakan langkah nyata bank sentral memberikan fasilitas dan business matching yang melibatkan rumah ibadah dengan perbankan. Dengan cara elektronik atau digital, rumah ibadah memiliki inti dasar cash management. Pengurus rumah ibadah tidak perlu lagi repot ke bank untuk mengurus dana sosial yang masuk.

Hal itu sangat mungkin dilakukan di NTB. Mengingat NTB merupakan daerah dengan penduduk mayoritas muslim, dan memiliki ribuan masjid yang menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat.

“Untuk itu Takmir dan Remaja masjid di Pulau Lombok sudah dilatih pengelolaan masjid berbasis digital dalam rangka pengembangan ekonomi umat berbasis masjid,” terangnya.

BI berharap dengan manajemen digital, pengelola rumah ibadah bisa lebih efisien dalam pengelolaan dana sosial. Selain itu, pemakaian QRIS bisa membuat rumah ibadah produktif dalam melayani kegiatan zakat, infak, sedekah, dan wakaf karena layanan digital tersebut.

“Manakala ada keberhasilan pengelolaan, maka agar mengadopsi konsep dan pondasi pemikirannya, kemudian sesuaikan dengan kebutuhan untuk pengembangan ekonomi umat,” imbuhnya. (r)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer