Mataram (Inside Lombok) – Tingkat hunian kamar hotel (okupansi) di NTB di penghujung 2022 lalu sekitar 70 persen. Meski lebih tinggi dibanding posisi pada 2021 lalu, okupansi ini dinilai masih rendah. Antara lain karena terpengaruh cuaca yang tidak menentu dan diberlakukannya Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama pasal perzinahan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini menerangkan untuk tingkat okupansi hotel di akhir tahun kemarin terbilang beragam. Berdasarkan catatan pihaknya, untuk wilayah Lombok Barat okupansi 65 persen, Lombok Tengah 80 persen, Lombok Utara termasuk Tiga Gili 80 persen, Lombok Timur 55 persen, dan Mataram 60 persen.
“Kenapa tidak 100 persen seperti tahun lalu. Karena sekarang ini, pertama karena faktor cuaca ekstrem, kedua adanya info UU perzinahan yang sangat mempengaruhi,” ungkap Wolini, Rabu (4/1).
Diakuinya adanya UU perzinahan sangat mempengaruhi kunjungan hotel yang kebanyakan didominasi oleh tamu lokal maupun domestik. Kecuali di Tiga Gili yang memang didominasi wisatawan mancanegara (wisman) dari Bali.
“Kalau wilayah lain dengan okupansi seperti itu, paling dari 30 persen mancanegara. Karena banyak wisatawan yang tanya ke hotel terkait dengan UU tersebut,” terangnya.
Kendati, dari pihak hotel juga sudah menjelaskan kepada para tamu yang bertanya terkait dengan UU perzinahan. Bahkan sebelum Natal dan Tahun Baru, PHRI sudah melakukan rapat dan pertemuan untuk pembahasan UU tersebut.
“Kita dari PHRI menjelaskan kepada tamu bahwa UU itu berlaku nanti di 2025. Kebanyakan wisatawan mancanegara yang tanya, kalau lokal kan sudah tau,” ujarnya.
Saat ini untuk rata-rata okupansi hotel di NTB sebesar 70 persen. Padahal biasanya di nataru beberapa hotel sampai menerima daftar tunggu. Namun pada 2022 kemarin justru tidak ada.
“Biasanya kita full, sekarang tidak sampai. Paling hanya 70 persen saja,” katanya.
Sebelumnya, ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra mengaku keberatan dengan adanya UU KUHP yang baru disahkan oleh DPR RI beberapa waktu lalu. Pasalnya mengganggu kenyaman wisatawan, terlebih dengan pasal perzinahan. Bahkan dari PHRI pusat telah melakukan gugatan atas aturan tersebut.
“Pariwisata kita baru pulih, sudah ada aturan-aturan seperti itu. Harusnya buatlah aturan yang membangkitkan pariwisata. Dari PHRI pusat sudah melakukan itu (gugatan, Red),” katanya. (dpi)