26.5 C
Mataram
Sabtu, 4 Mei 2024
BerandaBerita UtamaPerppu Cipta Kerja Terbit, Serikat Pekerja Sebut Pengkhianatan Terhadap Buruh 

Perppu Cipta Kerja Terbit, Serikat Pekerja Sebut Pengkhianatan Terhadap Buruh 

Mataram (Inside Lombok) – Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (Perppu) Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja masih jadi perdebatan. Gelombang protes dari serikat pekerja pun menyeruak, lantaran aturan ini disebut bisa menjadi awal perbudakan modern terhadap pekerja.

Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB, Lalu Wira Sakti menilai Perppu Cipta Kerja memuat rumusan yang memungkinan kerja paksa pada buruh. Di mana outsourcing ini dilakukan seumur hidup, sehingga masa depan buruh jadi suram.  

“Masih seperti Omnibus Law, seakan-akan ini pengkhianatan terhadap buruh. Tidak ada perubahan, masih mencederai hati buruh,” ungkap Wira, Rabu (4/1).

Diterangkan, potensi gugatan atas Perppu Cipta Kerja akan dibahas di partai buruh dan akan masuk dalam pembahasan rapat kerja nasional mendatang. Menurut Wira, Perppu Cipta Kerja sangat merugikan posisi pekerja. 

- Advertisement -

Alasan utama kerugian di sisi pekerja itu lantaran sebagian besar pasal dalam klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja tidak ada bedanya dengan Undang-Undang Omnibus Law. Di mana posisi pekerja masih tetap lemah. Apalagi mengatur 10 kategori pekerja yang bisa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Larangan PHK sepihak itu termaktub dalam Pasal 153 Perppu Cipta Kerja.

“Contoh PHK, perusahaan bisa memberhentikan pekerja kapanpun mereka mau tanpa ada batasan. Dengan alasan perusahaan tidak mampu mereka (pekerja, Red) bisa di-PHK,” jelasnya.

Tak hanya itu, soal pemberian upah yang sebelumnya formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Namun di dalam Omnibus law atau Perppu Cipta Kerja, kenaikan upah hanya berdasarkan inflasi atau pertumbuhan. Artinya bisa menggunakan inflasi atau pertumbuhan ekonomi tergantung keputusan pemerintah.

“Masa depan pekerja tidak ada, benar-benar diperbudak di negara sendiri,” ucapnya.

Kemudian aturan kontrak kerja dianggap berat sebelah karena tidak memiliki batas waktu, sehingga lebih menguntungkan pengusaha. Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pekerja bisa dikontrak paling lama dua tahun dan diperpanjang satu tahun. Setelah itu perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap.

“Sangat disayangkan karena outsourcing akan dialami pekerja sepanjang hidup mereka. Sedangkan UU No 13 2003 ada batasan 3 tahun di-outsourcing,” terangnya.

Diterangkan, sejak empat bulan lalu serikat pekerja sebenarnya telah mengajukan draf perppu kepada pemerintah. Usulan itu mengenai banyak hal, termasuk formula pengupahan. 

Sesuai jadwal, maka di pekan pertama Januari seharusnya perwakilan pekerja bertemu kembali untuk memfinalkan draf yang sudah ada. Namun ternyata perppu yang keluar berbeda 99 persen dengan draf yang diajukan perwakilan pekerja pada pemerintah. (dpi)

- Advertisement -

Berita Populer