Mataram (Inside Lombok) – Upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk menata pengembangbiakan ternak sapi potong di Pulau Sumbawa sekaligus mengendalikan penyebaran sejumlah penyakit strategis bagi ternak sapi potong di Pulau Lombok terancam terganggu. Pasalnya, Ombudsman NTB berhasil mengungkap aksi manipulasi dan praktek maladministrasi yang dilakukan dalam pengiriman sapi potong tersebut.
Kepala Ombudsman NTB, Adhar Hakim, menerangkan bahwa dari hasil investigasi selama periode Maret hingga Mei 2019 di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Lombok Timur, Tim Ombudsman NTB menemukan dugaan praktek maladministrasi dalam pengiriman sapi potong dari Pulau Sumbawa ke Pulau Lombok.
“Tim Ombudsman RI Perwakilan NTB menemukan beberapa fakta di lapangan mengenai adanya manipulasi terkait data sapi potong yang akan dikirim dari Kabupaten Sumbawa ke Lombok Timur. Ombudsman juga menemukan fakta, sapi-sapi anakan berbobot dibawah 200 kilogram dan sapi potong justru tidak dipotong tapi di jual di jalanan dengan memanipulasi proses pengiriman resmi,” ujar Adhar, Senin (06/05/2019) melalui pernyataan resminya.
Selain itu, Adhar menerangkan bahwa berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengeluaran Atau Pemasukan Ternak dan Bahan Asal Ternak di Provinsi NTB, maka berat badan ternak sapi potong yang boleh dikirim keluar antar pulau harus mencapai bobot minimal 300 kilogram. Namun untuk memperlancar lalulintas pengiriman, para pengusaha ternak sapi tersebut membuat kesepakatan dengan Gubernur NTB pada Maret 2019, yang menyatakan bahwa bobot sapi potong yang boleh keluar dari Pulau Sumbawa minimal 250 kilogram.
“Namun demikian berdasarkan hasil investigasi Ombudsman RI Perwakilan NTB diduga kuat telah terjadi manipulasi data bobot sapi potong yang dikirm keluar dari Pulau Sumbawa menuju Pulau Lombok,” tegas Adhar.
Aksi manipulasi data sapi potong itu sendiri sudah dimulai sejak di area Holding Ground di Bangkong, Kecamatan Labuhan Badas, Sumbawa, yang notabene dibawah Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa. Ombudsman RI Perwakilan NTB menemukan fakta bahwa di Holding Ground di Bangkong tersebut banyak terdapat anakan sapi yang bobotnya dibawah 200 kilogram.
Anakan sapi dengan bobot dibawah 200 kilogram dengan ciri fisik berat badan tidak sesuai ketentuan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2005 inilah yang kemudian dikirim masuk ke Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sumbawa Besar. Sapi anakan tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk sapi potong yang akan dikirim.
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sumbawa Besar sendiri tidak dapat berbuat apa-apa karena tupoksi atau kewenangan dari Stasiun Karantina Pertanian hanya untuk mengecek kesehatan hewan yang masuk ke dalam Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sumbawa Besar dan tidak memiliki kewenangan dalam memeriksa berat badan ataupun ciri fisik hewan yang diterima.
Menurut Adhar kondisi ini menjadi sangat memungkinkan karena evaluasi dan pengawasan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Sumbawa terlihat lemah. Anakan sapi inilah yang kemudian keluar dari Pulau Sumbawa dan dikirim ke Pulau Lombok melalui jalur laut dari Pelabuhan Pototano menuju Pelabuhan Khayangan, Lombok Timur.
Ombudsman NTB mencatat pengiriman sapi potong dari Pelabuhan Badas ke Pelabuhan Khayangan setiap hari sekitar 15 truk. Dalam satu minggu biasanya pengiriman lima hari, yakni Senin hingga Jumat. Setiap truk diisi 15 ekor sapi. Dalam 15 ekor sapi inilah akan disisipi sekitar lima anakan sapi. Dan dari 15 ekor sapi tidak semua akan dipotong, tapi justru akan diperjual belikan.
“Padahal ijin pengangkutan dari Kabupaten Sumbawa ke Lombok Timur menggunakan ijin angkut ternak potong,” ujar Adhar.
Adhar menyebutkan bahwa praktik manipulasi data seperti ini selain dapat mengancam upaya pengembangan Pulau Sumbawa sebagai pusat pengembangan sapi potong juga mengancam kesehatan hewan-hewan ternak yang ada di Pulau Lombok. Seperti diketahui pada tahun 2017 Pulau Lombok telah mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Pertanian RI sebagai wilayah yang bebas dari penyakit strategis seperti Antrax, Rabies, dan Broselosis.
Dengan tidak terkontrolnya hewan yang masuk ke Pulau Lombok maka dikhawatirkan penyebaran penyakit terhadap hewan ternak juga tidak dapat dikontrol. Selain itu, dengan diperjualbelikannya hewan ternak yang masih dalam kategori anakan, dikhawatirkan juga akan mempengaruhi jumlah populasi hewan ternak yang ada di Pulau Sumbawa, dan lambat laun dikemudian hari akan menjadi masalah besar.
“Tindakan tegas harus segera diambil apalagi mengingat sebentar lagi akan memasuki Idul Fitri dan Idul Adha dimana warga memerlukan daging sapi dalam jumlah banyak,” ujar Adhar.
Dengan adanya temuan tersebut maka Ombudsman NTB sendiri telah meminta kepada pihak-pihak terkait untuk memperketat pengawasan terhadap alur distribusi hewan ternak. Khsusunya hewan ternak dengan ijin potong dari Pulau Sumbawa ke Pulau Lombok. Selain itu Ombudsman akan mengambil langkah-langkah koordinasi dengan institusi-institusi terkait guna mencari solusi dari permasalahan yang ada.