Mataram (Inside Lombok) – Hoaks masih menjadi salah satu senjata yang digunakan para oknum untuk menggoyahkan persepsi publik di masa-masa pemilihan umum (pemilu), baik saat pemilihan presiden (pilpres) hingga pemilihan kepala daerah (pilkada). Produksi hoaks pun sering dimunculkan sebelum, saat, hingga setelah pemilu.
Jika melihat beberapa contoh kasus, maka hoaks sebenarnya bisa dikenali ciri-cirinya. Berikut beberapa contoh kasus yang telah dihimpun Inside Lombok terkait hoaks yang disebarkan sebelum, saat, hingga setelah masa pemilu:
Hoaks Sebelum Pemilu
Pada periode sebelum pemilu, hoaks biasanya menyasar para kandidat yang bertarung di kontestasi politik. Catatan Tim Cek Fakta kompas.com pada pemilu 2024, ada lima jenis hoaks yang intens muncul menjelang pemilu.
-
Hoaks Dukungan
Tipe hoaks ini seringkali mengedepankan klaim bahwa kandidat tertentu telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak penting, seperti partai hingga tokoh publik. Di tingkat nasional, saat pilpres 2024, sempat beredar sebuah gambar di Facebook berisi klaim NasDem resmi mendukung Ganjar. Padahal, NasDem saat itu mendukung Anies Baswedan.
Tidak jauh berbeda, saat pilkada NTB 2024 kemarin, klaim dukungan dari Tuan Guru Bajang (TGB) M Zainul Majdi muncul dari banyak sumber. Paslon nomor urut 01, Sitti Rohmi Djalillah – W Musyafirin disebut mendapat dukungan dari mantan Gubernur NTB dua periode itu. Bahkan dimunculkan foto TGB berfoto dengan gaya menunjukkan satu jari saat sedang duduk dengan calon gubernur NTB 02, Zulkieflimansyah. Faktanya, foto TGB yang duduk bersama Zulkieflimansyah itu telah mengalami pengeditan, di mana foto sebenarnya TGB mengangkat dua jari sebagai simbol dukungan untuk paslon 02, Zulkieflimansyah – Moh Suhaili FT.
2. Hoaks Duet Paslon
Hoaks berikutnya yang sering muncul sebelum pemilu adalah menduetkan pasangan calon, meski para kandidat maupun partai pengusung belum mengumumkan. Contohnya, pada pilpres 2024 lalu muncul berbagai narasi soal paslon yang akan maju, mulai dari Prabowo-Mahfud MD, Anies-Gibran hingga Ganjar-Erick Thohir. Bahkan sempat muncul hoaks duet Jokowi-Prabowo akan maju di Pilpres 2024, meskipun saat itu Jokowi telah menjabat dua periode sebagai Presiden RI.
3. Hoaks Pengunduran Diri
Jenis hoaks ini biasanya muncul untuk menarasikan seorang kandidat batal bertarung di pemilu. Contohnya, saat pilpres 2024 sempat muncul klaim bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan batal mencalonkan diri sebagai presiden, padahal narasi itu tidak benar atau hoaks.
4. Hoaks Terjerat Kasus
Hoaks terkait kandidat yang maju pemilu terjerat kasus biasanya bersifat menyerang, untuk menurunkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Jika ditilik kembali, di skala pilpres Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang saat itu maju sebagai calon wakil presiden sempat diisukan terjerat kasus korupsi, begitu juga dengan calon presiden yang berpasangan dengannya, Anies Baswedan yang disebut telah menjadi tahanan sejak 28 Agustus 2023.
Sementara itu, di skala pilkada NTB lalu calon wakil bupati terpilih, Indah Dhamayanti Putri sempat diisukan dijemput Kejaksaan Agung atas kasusnya saat menjabat Bupati Bima.
5. Hoaks Pembubaran Partai
Narasi hoaks terkait bubarnya partai juga sering mewarnai proses sebelum pemilu. Contohnya, saat pilpres 2024 kemarin sempat muncul unggahan di kanal Facebook yang menarasikan Surya Paloh membubarkan NasDem. Setelah dilakukan penelusuran, judul video yang beredar tidak sesuai dengan isinya. Di mana video hanya menampilkan momen Surya Paloh memberikan keterangan pers terkait kasus korupsi BTS 4G yang menjerat Johnny G Plate.
Hoaks Saat Pemilu
Selama proses pemilu berlangsung, tidak jarang hoaks-hoaks yang telah dijalankan sejak sebelum pemilu dimulai terus dimunculkan narasinya. Namun, muncul juga model hoaks baru, seperti klaim elektabilitas lewat berbagai survei.
Contohnya, selama Pilkada NTB ada beberapa hoaks survei yang mengatasnamakan lembaga tertentu. Meski kemudian lembaga tersebut mengeluarkan bantahan dan klarifikasi resmi atas hoaks yang beredar.
Pada helatan Pilkada Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, sedikitnya ditemukan dua survei palsu yang mengatasnamakan lembaga tertentu. Pertama, survei yang mencatut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan kedua survei yang mengatasnamakan Litbang Kompas. Kedua lembaga ini – baik Litbang Kompas maupun SMRC – telah membantah pernah menerbitkan hasil survei terkait elektabilitas kandidat Pemilihan Gubernur NTB.
Litbang Kompas menegaskan hasil survei Pilgub NTB 2024 yang beredar dan mengatasnamakan lembaga tersebut merupakan informasi keliru. Adapun Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Deni Irvani menyatakan tidak pernah melakukan maupun merilis hasil survei Pemilihan Gubernur Tingkat Provinsi di NTB pada 2024 ini.
“Kami pastikan bahwa informasi tentang hasil survei perolehan suara ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di provinsi NTB 2024 yang beredar itu tidak benar alias hoaks,” tegas Deni pada 15 November 2024.
Hoaks Setelah Pemilu
Setelah pemilu, gelombang serangan hoaks biasanya belum mereda. Justru serangan-serangan spesifik untuk penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mahkamah Konstitusi, hingga sistem pemilu itu sendiri.
Contohnya, saat pemilu 2024 ini, Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang digunakan KPU untuk mengumpulkan hasil rekapitulasi suara sempat mengalami gangguan. Kendala teknis ini pun dikaitkan dengan aksi penggelembungan suara yang dilakukan KPU terhadap salah satu paslon, di mana kecurangan itu dinarasikan masif terjadi.
Faktanya, Sirekap hanyalah alat bantu KPU dalam mempublikasikan hasil rekapitulasi suara sebagai bentuk transparansi. Sedangkan rekapitulasi suara masih menggunakan sistem hitung secara manual yang digunakan secara berjenjang mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten hingga provinsi.
Contoh lainnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili sengketa pemilu sempat diserang hoaks dengan narasi mendukung salah satu paslon tertentu di pemilu 2024 ini. Muncul juga isu hoaks yang menyebut gugatan Paslon tertentu dikabulkan MK, padahal faktanya MK belum memutuskan.
Khusus di NTB, sempat muncul hoaks terkait sistem pemilu yang masih lemah sehingga memunculkan potensi kecurangan. Hoaks ini muncul lewat unggahan video di Facebook yang mengklaim surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 06 Desa Juran Alas, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa ditemukan telah tercoblos sebelum proses pilkada untuk paslon nomor urut 03, Lalu Muhamad Iqbal – Indah Dhamayanti Putri.
Faktanya, klaim surat sudah tercoblos oleh paslon 03 itu tidak benar. Dikutip dari kompas.com, Bawaslu Kabupaten Sumbawa membenarkan adanya temuan surat suara yang tercoblos di TPS 06 Juran Alas. Namun surat suara yang tercoblos tidak hanya dari paslon nomor urut 03. Dari 62 surat suara pemilihan Gubernur NTB yang telah dicoblos sebelum proses pemilihan di TPS 06 Juran Alas, 60 suara untuk paslon nomor urut 03 Iqbal-Dinda, 2 suara untuk paslon nomor urut 01 Rohmi-Firin, dan 1 suara batal.
Mengapa Hoaks Terus Diproduksi?
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Mataram sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Melawan Hoaks Pilkada (KOMA) NTB, M. Kasim menerangkan selama pilkada NTB tahun ini haoks dan ujaran kebencian terbilang masif disebarkan. Menurutnya, kurangnya literasi masyarakat terhadap penggunaan teknologi digital turut berperan memungkinkan hoaks berkembang pesat.
Dijabarkan Cem, sapaan akrabnya, ada beberapa tujuan hoaks disebarkan:
- Sebagai propaganda untuk mempengaruhi persepsi publik,
- Sebagai sumber pencarian ekonomis oknum tertentu,
- Sebagai sarana menjatuhkan orang lain,
- Sengaja ingin mengganggu kondusifitas dan memunculkan ketidakpercayaan publik dengan proses penyelenggaran pemilu dan pilkada di semua wilayah.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan KOMA NTB, sekitar 60 persen hoaks dan ujaran kebencian di Pilkada NTB menyasar paslon nomor 03, Iqbal – Dinda. Hal ini lantaran ada istilah-istilah nyeleneh yang digunakan paslon ini saat debat dan dijadikan narasi negatif. Salah satunya saat Iqbal menyampaikan pernyataan “the mother of social problem is kemiskinan”. Didukung oleh simpati berlebihan dari pendukung paslon lainnya, pernyataan itu berubah menjadi meme olok-olokan dan ujaran kebencian yang disebarkan lewat berbagai platform media sosial.
“Kalau data kami banyak sekali ujaran kebencian kepada paslon 03. Bagaimana dengan hoaks. Ini muncul relatif sangat kecil dibandingkan dengan ujaran kebencian, karena memang masyarakat hanya asal bunyi saja,” ungkap Cem.
Cara Menghindari Hoaks
Kejelian dalam menilai sebuah informasi menjadi salah satu kunci agar tidak mudah terpengaruh hoaks. Upaya mengidentifikasi hoaks pun sangat membutuhkan kejelian ini. Berikut beberapa tips yang dapat dijalankan untuk mengidentifikasi hoaks yang mungkin beredar:
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoaks, Septiaji Eko Nugroho menguraikan lima langkah sederhana yang bisa membantu dalam mengidentifikasi mana berita hoaks dan mana berita asli. Berikut penjelasannya:
1. Hati-hati dengan judul provokatif
Berita hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif untuk memunculkan kesan negatif pada pihak yang menjadi sasarannya. Karenanya, jika pembaca menemukan sebuah berita atau artikel lainnya dengan judul provokatif, penting untuk mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi untuk membandingkan isinya. Langkah ini penting untuk mendapatkan kesimpulan yang berimbang, sehingga pembaca tidak terjebak hoaks akibat mempercayai satu sumber semata.
2. Cermati alamat situs
Usahakan mencari informasi dari situs yang terverifikasi sebagai institusi pers resmi, sebab informasi yang dihadirkan lebih mungkin melewati proses verifikasi. Sebaliknya, informasi yang disebarkan melalui tautan domain seperti blog dan lainnya biasanya berisi informasi yang cenderung meragukan kebenarannya, sehingga membutuhkan verifikasi lanjutan dari pembaca.
Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
3. Periksa fakta
Pembaca perlu memperhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya, apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat.
Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subjektif.
4. Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.
Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
5. Ikut serta grup diskusi anti-hoaks
Di Facebook terdapat sejumlah fanspage dan grup diskusi anti hoaks, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoaks atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang. (r)