Mataram (Inside Lombok) – Banyak nelayan di NTB yang masih terjerat hutang di rentenir. Terlebih di tengah kondisi pancaroba, sebagian nelayan terpaksa tidak melaut dan ada yang beralih profesi. Kondisi itu membuat para nelayan mau tidak mau berhutang ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB, Muslim menyebut kondisi yang menimpa nelayan itu sangat disayangkan. Mengingat pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM telah mendorong para nelayan maupun pembudidaya, untuk membentuk lembaga-lembaga ekonomi bersifat lokal, seperti koperasi untuk bisa bekerja sama dengan offtaker.
Adanya basis ekonomi lokal seperti koperasi nelayan itu dinilai dapat mengurangi para nelayan terjerumus pada pinjaman di rentenir dengan bunga tinggi. “Ini yang saya pikir belum terlalu optimal (pembentuk koperasi), karena mendorong kesadaran masyarakat secara kolektif itu ternyata tidak gampang,” ujar Muslim, Kamis (6/4).
Bahkan pihaknya sudah pernah mencoba mendorong agar masyarakat dapat membentuk lembaga-lembaga ekonomi tersebut. Namun tidak ada perkembangan. Karena para nelayan diakui lebih menginginkan hasil tangkapan langsung terjual.
“Ada kesan masyarakat ini ingin instan, tapi juga dalam tanda kutip mungkin juga ada penilaian mereka pemberian pemerintah ini agak lambat dan tidak terlalu ada ujungnya,” ungkapnya.
Menurutnya, hal ini yang perlu pemerintah benahi agar ada keyakinan masyarakat. Sehingga mereka mau membentuk lembaga-lembaga ekonomi dan tidak terjerat pada pinjaman rentenir. “Ini yang perlu kita benahi bersama sekaligus tantangan bersama menumbuhkan pola komunikasi dengan masyarakat kita,” jelasnya.
Dikatakan, pihaknya juga mendorong para nelayan bisa membudayakan pola hidup hemat dan gemar menabung saat masa surplus produksi. Hal itu untuk persiapan saat masuk paceklik atau musim barat.
Diakui Muslim, memang saat ini masih banyak nelayan terjerat pinjaman di rentenir. Di mana mereka akan meminjam ketika kondisi cuaca tak baik, kemudian pada saat panen baru mereka membayar pinjaman tersebut
“Ini contoh kasus yang terjadi di Lombok Timur, masalah lobster, jadi karena kemarin tingkat produksinya di nilai ekonomi tertinggi, rentenir itu berani memberikan bantuan pinjaman sampai Rp100 juta. Nanti dibayar dua kali panen,” terangnya.
Namun pada saat akan panen ternyata harga pasaran lobster justru anjlok, akhirnya nelayan terjebak pinjaman rentenir. “Sehingga saya bilang di sinilah arahan Menteri Koperasi dulu mendorong para pelaku usaha ini, khususnya pembudidaya ini harus secara kolektif membuat lembaga-lembaga ekonomi,” imbuhnya. (dpi)