Mataram (Inside Lombok) – Sejak akhir 2018 beberapa retail besar di Kota Mataram telah menutup tokonya. Sebut saja Smart Club di Jalan AA. Gede Ngurah, Abian Tubuh, Cakranegara. Awal tahun ini Giant Extra Gegutu di Jalan Terusan Bung Hatta, Karang Baru, Selaparang yang dilaporkan akan menutup gerainya.
Menanggapi hal tersebut Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Nusa Tenggara Barat (NTB), Putu Selly Andayani, menyampaikan bahwa hal tersebut kemungkinan besar karena daya beli masyarakat NTB yang belum pulih sebagai dampak gempa beberapa waktu lalu. Menurut Selly, perkembangan ekonomi di NTB secara umum memang sedang mengalami masa-masa sulit.
“Ini akibat terdampak gempa yang belum pulih untuk daya beli masyarakat. Apalagi sekarang harga tiket melambung, juga ada bagasi berbayar. Semua itu pasti memiliki dampak negatif terhadap perkembangan ekonomi,” ujar Selly kepada Inside Lombok, Jumat (08/03/2019) melalui sambungan telepon.
Selly juga menerangkan bahwa dibukanya Giant Extra ataupun retail-retail besar lainnya pasti melalui perhitungan dan survey secara ekonomi. Namun dalam beberapa kasus, kendala-kendala yang berujung pana penutupan retail memang tidak bisa dihindari.
“Smart Club itu juga sudah lebih dulu tutup. Mudah-mudahan pariwisata segera pulih sehingga usaha-usaha ekonomi juga akan segera bangkit,” ujar Selly.
Menurut Selly, keberadaat retail-retail modern seperti Giant Extra, Hypermart, Smart Club dan lain-lain sangat membantu dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok di NTB secara umum, sesuai dengan Peraturan Kementrian Perdagangan (Permendag) Nomor 96 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Ada juga daging beku misalnya yang sesuai dengan HET. Artinya, ada opsi untuk masyarakat yang tinggal di Mataram,” ujar Selly.
Senada dengan itu, Pengamat Ekonomi sekaligus Guru Besar Ekonomi Universitas Mataram, Mansur Afifi, menganggap tutupnya retail-retail besar di Kota Mataram menyangkut tiga (3) alasan utama. Yaitu daya beli masyarakat yang tidak tumbuh signifikan, pola prilaku konsumsi masyarakat yang mengalami pergeseran, dan jenis barang konsumsi yang ditawarkan.
“Daya beli masyarakat tidak tumbuh signifikan, sehingga tidak memberikan peluang usaha bagi retail-ritail itu untuk berkembang. Pola prilaku konsumsi masyarakat juga sedang bergeser,” ujarnya ketika dihubungi Inside Lombok, Jumat (08/03/2019).
Ia melihat masyarakat tidak terlalu suka pergi berbelanja langsung, trendnya sekarang belanja online (daring). Jenis barang konsumsi juga ada pergeseran. Masyarakat kelompok menengah misalnya sekarang lebih suka menunda membeli barang-barang bermerek, lalu uangnya digunakan untuk pergi rekreasi. Jika dilihat orang pergi ke mall misalnya itu tidak semua membeli barang.
Mansur menambahkan, dari segi regulasi, retail-retail yang ingin mengembangkan sayapnya di NTB secara umum tidak mendapat kendala apapun. Namun pertumbuhan ekonomi memang menjadi penyebab utama tutupnya retail-retail tersebut.
“Regulasi tidak ada masalah. Mereka diberi kebebasan, tidak ada yang melarang. Justru kalau bicara soal ekonomi rakyat, terlalu banyak retail modern itu kurang bagus juga. Karena mematikan ekonomi rakyat. Yang perlu diperhatikan itu ekenomi kita mengalami perubahan, daya beli tidak naik-naik,” ujarnya.
Selama empat tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi NTb masih di bawah 5%. Baru tahun ini sedikit naik jadi 5.2%. Artinya daya beli masyarakat menurun.
“Pertumbuhan ekonomi itu tidak bisa dibohongi,” pungkas Mansur.