Mataram (Inside Lombok) – Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB meminta besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) naik 12-15 persen di 2024 mendatang. Penyesuaian itu merujuk pada hasil survei kebutuhan hidup layak yang mengalami kenaikan mengikuti kenaikan harga barang dan jasa.
Ketua SPN NTB, Lalu Wira Sakti mengatakan KSPI bersama partai buruh telah melakukan survei kebutuhan hidup layak. Di mana dari 64 kategori kebutuhan hidup layak tersebut ditemukan rata-rata kenaikan harga itu sekitar 12-15 persen.
“Sama daerah (naik 15 persen), kita secara nasional harus minta 12-15 persen. Karena ingat kenaikan upah yang tiga tahun itu tidak pernah naik,” ucap Wira kepada Inside Lombok, Kamis (26/10).
Permintaan kenaikan upah berdasarkan indeks tertentu mulai dari 1,0-2,0 persen ini juga agar upah buruh swasta tidak lebih rendah dari kenaikan upah aparat negara yang kenaikan upahnya di 2023 mencapai 8 persen. Jika cara menghitungnya berasal dari inflasi 2,8 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, maka kenaikan upah justru bisa mencapai 18 persen tanpa mengikuti indeks tertentu.
“Kita bukan tidak setuju kenaikan upah mereka. Kalua kenaikan upah buruh ya harus sama cara menghitungnya. Sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, baru bisa kenaikan upah itu sama dengan upah PNS, TNI, POLRI. Kita ini kan pembayar pajak, yang menikmati mereka, tapi kenapa kita lebih rendah (dari segi upah)?” ungkapnya.
Menurutnya, jika perhitungan upah buruh menggunakan perhitungan yang sama dengan aparat negara, maka upah buruh naik menjadi 8 persen. Namun, jika memakai indeks tertentu sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenaker) nomor 18/2022 dengan besaran 0,1-0,8 persen, maka hitungan kenaikan upah buruh berkisaran 7 persen.
“Untuk itu kenapa alasanya harus naik upah dengan dua ketentuan tadi. Kemenaker seakan-akan tidak ada alasan hukumnya, saking kebingungan indeks ketentuan itu berapa di pakai. Jadi seperti orang galau untuk memutuskan kenaikan upah,” jelasnya.
Dikatakan, melihat kondisi saat ini pemerintah tidak mendorong untuk melakukan rapat dewan pengupahan. Baik itu di tingkat kabupaten/provinsi maupun di tingkat nasional. Penyebab dari ketidak ada rapat dewan pengupahan ini, karena pemerintah sibuk dengan urusan politik. Sehingga bagaimana cara menghitung indeks tertentu belum jelas.
“Itulah akal-akalan uu cipta kerja. Sudah benar kenaikan upah berdasarkan inflasi plus pertumbuhan ekonomi. Tidak tambahkan lagi dengan indeks tertentu. Yang dimaksud indeks tertentu itu bagaimana? Kan ini masih bingung, yang kita lihat,” tutupnya. (dpi)