Bella Ciao!
Judul lagu di atas seketika viral secara masif di seluruh dunia setelah menjadi soundtrack serial Money Heist —atau La Casa de Papel. Jauh sebelum itu, lagu ini telah akrab didendangkan dalam demonstrasi, terutama yang merespons isu-isu politik terkait nasib kaum buruh. Ia menyimbolkan kritik terhadap itu, serta semangat para demonstran dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum proletar. Anak-anak “kiri”, sapaan akrab para aktivis pengulik pemikiran Karl Marx dan Tan Malaka, pasti tahu sih lagu ini; tanpa harus viral di serial Money Heist.
For your information, guys, Money Heist Musim Kelima Volume 2—yang bagi saya merupakan bagian pamungkas dari serial ini—telah rilis sejak 3 Desember 2021 di Netflix. Bagi yang belum menonton, silakan siapkan kuota internet, sebat, dan secangkir kopi.
Karena sudah rilis beberapa waktu lalu, tentu di beberapa tongkrongan anak muda serial ini telah dibahas. Bagaimana tidak, di luar kualitas serial, branding dan teknik marketing serial ini dikemas secara ciamik! Masuk ke serialnya, kalian akan dapati sebuah cerita perampokan yang cerdik nan picik; pastinya menguras energi dan pikiran. Saya jadi sedikit berimajinasi: semisal kasus perampokan yang dipimpin oleh El Profesor ini tak ditangani oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepolisian Spanyol, melainkan Sherlock Holmes, tentu kisahnya akan imbang, atau mungkin akan banyak kejutan lain. Bila benar adanya begitu, pastinya Sherlockian harus merayakan gumaman imajinasi saya ini. Hehe
Let me tell you about the point of view yang menarik dalam serial Money Heist. Dari sekian banyak adegan di serial ini, saya tertarik pada salah satu adegan yang menggambarkan tokoh Tokyo—untuk tahu ini siapa, silakan tonton serialnya, ya!—sedang ngobrol dengan El Profesor. Dalam adegan tersebut Tokyo merayu El Profesor dengan kalimat, yang kurang lebih, begini:
“Orang bilang banyak hal seksi di dunia ini. Dansa, otot, rambut pirang, dan aksen Prancis. Profesor tahu apa yang kuanggap seksi? Kepintaran! Bilamana seseorang berbincang denganmu dan kamu sangat mengaguminya. Aku tak tahan ketika ada yang berbincang denganku mengenai hal-hal baru yang tidak kuketahui, tidak ada yang membuatku merasa mencintai dan jatuh cinta kecuali isi kepalamu, kepintaranmu!”
Nah, apa yang dikatakan Tokyo di atas menunjukkan kecenderungan Sapiophile atau sering juga disebut Sapiosexsual. Namun, dalam adegan di serial ini, Tokyo hanya sekadar merayu El Profesor dengan pendekatan Sapiosexsual; ia toh nyatanya tak benar-benar menyukai pria itu.
Apa itu Sapiosexsual?
Sederhananya, Sapiosexsual adalah kecenderungan seseorang memilih doi atau pacar atas dasar kecerdasan yang dimiliki si doi. Menurut situs kamus populer Merriam-webster.com, Sapiophile atau Sapiosexual adalah “_… is one whose romantic attraction to others is primarily based on intelligence.” Secara harfiah, berdasarkan akar bahasa Latin sapere—yang berarti “memiliki akal”, dan philos—yang dalam bahasa Yunani—berarti “kekasih”, “sayang”, atau “mencintai”. Oh, sapien juga berarti memiliki atau mengungkapkan kebijaksanaan yang besar. Sehingga, jika dicocok-cocokan, Sapiosexsual dapat berarti kecintaan atau kasih sayang terhadap kebijaksanaan.
Meski begitu, terkadang kecenderungan ini diilustrasikan seperti dua insan berlawanan jenis sedang berhubungan intim bergaya doggy style dengan salah satunya sambil membaca buku. Nah, judul artikel ini sudah sesuai, belum? Hehe. Tak ada yang ditelanjangi di sini selain si Sapiosexual sendiri; jadi jangan berharap lebih.
Back to the topic, dari sekian banyak pendapat yang bermunculan tentang Sapiosexsual ini, ada satu yang menarik untuk dijabarkan. Ialah dari penulis di Seventeen bernama Kelsey Stiegman, yang menyebutkan bahwa Sapiosexsual adalah campuran antara orientasi seksual dan fetish. Orang dengan kecenderungan Sapiosexual merasa begitu bergairah—baik secara mood (pikiran) maupun sexual (insting) terhadap orang yang menurutnya cerdas.
Lebih jauh, ternyata tren memilih pasangan berdasarkan kecerdasan ini sudah sangat populer bagi para mahasiswa di lingkungan kampus barat. Orang dengan orientasi Sapioseksual menganggap bahwa karakteristik paling menarik pada orang lain ialah kecerdasan yang dipunyainya. Mereka memilih pasangan yang berpikiran paling tajam dan berkeingintahuan kuat. Diskusi secara filosofis, serta membahas sastra romantik biasanya menjadi pintu gerbang terbaik bagi mereka untuk jatuh cinta.
Tak ada gombalan paling romantis selain berdiskusi tentang hal-hal baru; semakin cerdas pasangannya, semakin terpupuk pula rasa sayang dan nyaman pada hubungan dua insan penganut kecenderungan Sapiosexsual ini. Kecenderungan jatuh cinta berdasarkan kecerdasan ini tak pandang jenis kelamin, ia bisa terjadi pada laki-laki atau pada perempuan.
Para Sapioseksual bukanlah manusia kaya raya bermobil (warisan) mahal dengan kecerdasan di bawah rata-rata, bukan pula manusia matre yang bermimpi menemukan “dompet berkaki”. Bukan! Sepenuhnya bukan! Mereka ini justru hadir seperti “perpustakaan berjalan”—dan kerap mencari yang sejenis seperti mereka. Oleh sebab itu, tak jarang mereka mampu melihat, dan kemudian menghargai pengetahuan serta kefasihan orang lain.
Saya menerka, mungkin di antara pembaca sekalian pernah berpikir untuk menemukan pasangan berdasarkan kecerdasannya, persis seperti bagaimana seorang Sapiosexsual memilih pasangan. Saya menerka lagi, pembaca sekalian tersenyum-senyum sendiri sekarang. Hehe.
Itu ya, secuil tentang Sapiosexsual.
Pesan saya, hati-hati kalau mau jadi Sapiosexsual. Kecerdasaan hendaknya diposisikan sebagai sebuah kebebasan/kemerdekaan dan bersifat organik bila ingin dikembangkan—jangan dipaksakan berlebihan, gitu..
Juga, jangan pernah mencoba meromantisasi kecerdasan; menjadikan kecerdasan sebagai dalih untuk jatuh cinta kepada seseorang. Kenapa? Karena persentase kemungkinan kisah cintamu kandas itu lebih besar, guys. Akan ada konsekuensi pada pertemuan dua ego yang besar. Bayangkan, kalian sama-sama pintar, lalu suatu hari harus menghadapi masalah hebat yang melibatkan prinsip/nilai kecerdasan kalian masing-masing. Jika insting yang melibatkan cinta dan kasih sayang tak lagi menemukan benang merahnya, maka pikiran masing-masing akan berusaha mengambil alih untuk memenangkan prinsip/nilai pribadi. Huhu
Arfi Hidayat, Mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berasal dari Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Beratribusi kepada dirinya untuk menulis dan bertahan waras.