Di awal-awal tahun 2000an, saya ingat sekali Lombok sering dipromosikan sebagai ‘Saudarinya Pulau Bali’, salah satunya tertulis di ruang reklame di bagian utama Eks Bandara Selaparang: ‘Lombok, The Sister of Bali’—kurang lebih begitu bunyi reklamenya. Dari tagline itu saya menangkap kesan tersirat sebuah inferioritas, pengakuan di depan dunia bahwa Bali selalu lebih superior. Seolah-olah tagline itu mengatakan dengan logat Sasak, “Eee, tamu, tahu saya kamu suka Bali. Tapi kalo’ kamu selese liburan di Bali, mampir ke Lombok, semetonnya Bali. Dia sama cantiknya.”
Sekarang, 2022, Lombok tidak lagi harus menggunakan tagline ini karena sedang dalam perjalanan memantaskan diri menjadi lebih menarik. Lombok sedang dan akan terus mengalami lompatan peluang ekonomi, lompatan promosi budaya, dan semakin mendekati tagline iklan baru. Tidak lagi ‘Lombok, The Sister of Bali’, tetapi ‘Lombok, The New Bali’. Tidak lagi ada implikasi, “Kalau habis dari Bali, mampir ke Lombok.” Lombok sekarang mengatakan, “Ke Lombok saja, sekarang lebih menarik dari Bali.” Meski harus menyebut Bali, ini lebih pede dari tagline sebelumnya.
Nah, karena Lombok semakin banyak dipidang oleh kesempatan ekonomi dan para investor, Lombok bisa belajar dari sisi lain cerita Putri Mandalika. Lombok harus pintar melakukan manajemen konflik ketika dihadapkan pada banyak pilihan pinangan. Lombok tidak harus mengorbankan dirinya, menjadi nyale yang walaupun telah menjadi berkah bagi banyak orang, semakin kesini menjadi organisme yang regenerasinya semakin melemah. Seperti spesies cacing laut yang tidak akan selalu ada di pesisir kita jika kita tidak jaga dari festivalisasi dan penangkapan yang berlebihan (Bachtiar, 2017).
Lombok harus tetap ada dan lestari, tumbuh sehat, tumbuh cantik dengan elegan. Kuncinya? Persiapkan pemuda dan pemimpin masa depannya dengan pendidikan kesadaran dalam bentuk literasi kritis. Dibutuhkan literasi kritis untuk membumikan pendidikan yang tepat bagi Lombok. Pendidikan yang berprinsip keseimbangan. Kita sangat serius membangun, tapi pura-pura serius di penghijauan. Kita serius menambah lapangan kerja, tapi pura-pura serius di keadilan sosial. Lombok harus selalu tepat berada di titik seimbangnya dalam suatu titik konteks, baik ruang dan waktu. Misalnya, ketika pemerintah Kota Mataram menumbangkan pohon-pohon di tengah kota pada 2021 lalu, berapa banyak yang harus ditanam untuk membayar hilangnya serapan karbon? Dengan prinsip keseimbangan dan kemampuan warganya untuk memahami masalah secara jernih, kita bisa lebih terarah menyuarakan kritik dan memberi bonus saran pada pemerintah. Tidak serta merta mencak-mencak sebagai ungkapan emosional semata.
Ada banyak permasalahan yang harus diperhatikan oleh kita bersama jika tidak ingin pembangunan ekonomi Lombok menimbulkan beberapa potensi permasalahan; seperti ketidakseimbangan ekologis dan ketimpangan sosial. Tapi sebelumnya, kita amini dulu bahwa ekonomi adalah kunci pengentasan kemiskinan. Jumlah warga miskin NTB masih di 14 persen. Sangat tinggi. Akan lebih tinggi jika standar pendapatan kategori miskin dinaikkan. Kita sepakat kita setidaknya harus memenuhi kebutuhan dasar segmen masyarakat ini.
Oleh karenanya, Lombok harus menggeliat. Tapi selain ini, banyak tantangan lain. Misalnya, dari sisi ekologi. Kita gunakan data NTB untuk memberikan gambaran karena cukup sulit memisahkan angka pemerintah dengan basis per pulau. Banjir semakin sering terjadi (BPBD, 2021), tutupan karang di Sekotong berkurang drastis (Bachtiar, 2019), 302 desa di NTB dilanda kekeringan (BPBD, 2019), 40 persen sumber mata air di Lombok Timur hilang (PU Lotim, 2021), dan 51 persen mangrove di Pulau Lombok rusak (Wagub, 2019). Masih banyak data kerusakan lingkungan yang berasal dari pemerintah sendiri. Selain itu, kita masuk ke data pendidikan sebagai bidang yang terkait erat dengan literasi dan kesadaran lingkungan warga. Kita ambil data penelitan INOVASI sebelum pandemi. 75 persen Kelas 4(SD) masih gagal menjawab soal Matematika 238 dikurangi 129. Belum lagi kemampuan memahami isi bacaan sederhana di mana 66 persen siswa kelas 8 (SMP) masih gagal. Buta huruf warga usia 45 tahun ke atas masih 31 persen. Bandingkan Bali yang hanya 13 persen. Data tersebut kemudian menyiratkan bahwa Pulau Seribu Masjid ini juga merupakan Pulau Seribu Tantangan.
Di sinilah kita harus terus bergerak mengatasi permasalahan yang timbul akibat aktivitas ekonomi yang semakin menggeliat. Salah satunya dengan mempraksiskan pendidikan literasi kritis untuk meningkatkan kesadaran terhadap permasalahan lingkungan dan ketimpangan. Dengan banyaknya pilihan yang meminang, apa yang harus dipelajari oleh Putri Mandalika agar tidak terkena choice paralysis, lalu gagal me-manage konfliknya?
Saya yakin gerakan literasi harus menjadi napas utama gerakan kita, yaitu 3 in 1—literasi dasar, literasi terapan, dan literasi kritis. Untuk menjelaskannya, saya gunakan angka keuntungan PAD Lombok Tengah untuk event Mandalika tahun 2021 lalu. Literasi dasar itu adalah kemampuan mengetahui bahwa ‘69 miliar’ itu angka nol-nya sembilan. Literasi terapan itu adalah kemampuan menggunakan uang sebanyak 69 miliar untuk belanja dengan efisien. Literasi kritis itu adalah kemampuan mengetahui siapa saja yang menikmati 69 miliar itu dan bagaimana wacana keuntungan event IATC dan WSBK yang 69 miliar itu dijadikan political capital oleh pemerintah. Jelas? Tiga hal ini perlu dikuasai bagi siapa saja yang mencintai Lombok. Baru kita bisa melihat permasalahan dengan jelas.
Kita punya segudang masalah, tapi kita juga punya segudang potensi aksi. Apa saja yang bisa kita lakukan untuk Lombok?
Pertama, Lombok harus mengejar branding Pulau Sejuta Relawan dan dibarengi aksi untuk menghormati branding itu. Sejak gempa 2018, kita telah memperlihatkan gerakan warga yang luar biasa. Tahun 2019 kita pernah simposium relawan pendidikan. Ada ratusan jika tidak ribuan relawan pendidikan kita. Tentu harus ada peningkatan. Bukan hanya sporadis dan musiman, tapi berkelanjutan dan merata. Ada puluhan ribu mahasiswa, dan ratusan ribu pemuda. Harus diarahkan semua gerakan kerelawanan yang semakin banyak tapi belum menyatu. Branding bukan sekedar label. Harus dijadikan energi aksi.
Kedua, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan prinsip keseimbangan yang sesuai dengan konteks lokasi tertentu harus menjadi prinsip gerakan literasi di Lombok. Ada napas-napas yang harus selalu diembuskan. Wisata berbasis pemangku (stakeholder-based) harus diutamakan daripada wisata berbasis pemodal (capital-based), skill manusia Lombok harus selalu di-upgrade, investasi untuk lingkungan harus masuk prioritas, dan keadilan sosial harus menjadi ruh.
Ketiga dan yang utama: ‘jah berat ime mensang cucuk’. Berat tangannya, ringan mulutnya. Bergabunglah dengan organisasi, dan berwacanalah dengan sehat, dan wujudkan dalam aksi. Kampus, pemuda, pemerintah, warga, semua harus beraksi. Bukan hanya dengan aksi, tapi juga dengan empati.
Akhirul kalam pada lap terakhir ini, saya ingin menyampaikan kecintaan saya pada Lombok mas mirah, tempat banyak hal besar akan terjadi, penerima pinangan banyak pangeran dari seluruh penjuru. Semoga Putri Mandalika siap me-manage pilihan-pilihannya, sehingga tidak harus mengorbankan dirinya, dan bisa menjadi berkah bagi semua, sampai ke saudara-saudara kita di desa-desa yang ber’montong’, ber’lendang’, ber’karang’, ber’dasan’, bahkan sampai juga menjadi berkah untuk Pulau Sumbawa, dan berteman baik dengan Bali.
Ampure tiang bongoh. Silaq side komen saq penter-penter.
Ahmad Junaidi , penggagas dan pegiat Jage Kastare Foundation. Mengajar di FKIP Universitas Mataram.