Kehidupan sosial masyarakat tidak bisa dipisahkan dari ritus atau ritual keagamaan yang berlangsung sejak awal peradaban manusia hingga saat ini—termasuk masyarakat Sasak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ritus atau ritual diartikan sebagai tata cara dalam sebuah upacara keagamaan. Di kehidupan masyarakat Sasak sendiri ada ritual yang sering dilaksanakan ketika menghadapi kematian orang lain, seperti nelung, mituq, nyiwaq.
Ritual-ritual di atas telah melebur dengan nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat. Peleburan tersebut ternyata memberikan manfaat sosial hingga saat ini, yakni memperkokoh hubungan antar masyarakat Sasak. Bila dipikir-pikir ke belakang, bagaimana sih awal munculnya ritual-ritual itu sampai akhirnya tetap kita jalankan hingga sekarang?
Seorang tokoh sosiologi, Peter L. Berger, berpendapat bahwa segala ritual yang dijalankan manusia ini merupakan konstruksi sosial; dan ia membagi konstruksi tersebut menjadi tiga tahap. Sebelum membahas itu, kita perlu tahu dulu bagaimana Peter L. Berger memandang manusia. Baginya, manusia terlahir ke dunia dalam keadaan belum selesai (utuh)—tidak punya mekanisme untuk bertahan hidup sejak lahir, berbeda dengan makhluk hidup berpindah lainnya—seperti hewan—yang secara natur/alamiah dilengkapi mekanisme kebertahanan hidup lengkap sejak lahir.
Coba deh pikir-pikir: ketika lapar, kelinci atau ayam bisa langsung mengunyah kangkung yang ada di hadapannya, sedangkan manusia harus merebus atau menumisnya terlebih dahulu. Perspektif Peter L. Berger ini mengungkapan bahwa manusia merupakan spesies yang perlu membangun dunianya sendiri, yang kemudian mengharuskan mereka menata/mengonstruksi hidupnya secara sosial. Nah, peristiwa itulah yang lambat laun membuat manusia punya mekanisme tahapan sosial atau nomus. Sekarang kita masuk ke tiga tahapan konstruksi menurut Peter L. Berger.
Pertama, “eksternalisasi” yang merupakan peristiwa di mana manusia secara terus menerus mengekspresikan dirinya di dunia/lingkungan sekelilingnya, baik dalam aktivitas fisik maupun aktivitas mental. Tahapan ini bisa dilihat pada ritual masyarakat Sasak saat melaksanakan upacara keagamaan seperti yang telah disebut di awal: upacara peringatan hari kematian dikenal dengan serangkaian upacara keagamaan saat malam ketiga (nelung), malam ketujuh (mituq), dan malam kesembilan (nyiwaq). Pelaksanaan berbagai upacara di hari tertentu tersebut mencerminkan sebentuk eksistensi dan kestabilan dunia sosial yang diciptakan manusia demi keberlangsungan peradaban sosialnya.
Kedua, “objektifikasi”, yakni proses pemantapan serangkaian ritual yang sudah terkonstruksi sebelumnya. Ritu-ritus tersebut dilaksanakan secara konsisten menggunakan berbagai macam legitimasi nilai yang diakui secara universal oleh manusia di lingkungan sosial setempat. Pada pelaksanaan nelung, mituq, dan nyiwaq tentunya legitimasi konstruksi agama menjadi dasar untuk melanggengkan berbagai bentuk ritual tersebut. Efek jangka panjang dari itu semua adalah nomus atau tatanan sosial yang diwariskan ke generasi-generasi seterusnya.
Tahapan ketiga adalah “internalisasi”, ialah proses manusia mempelajari dan beradaptasi terhadap ritual di masyarakat. Anak-anak yang hadir di ritual nelung, mituq, dan nyiwaq, sejatinya mereka sedang melakukan proses internalisasi terhadap ritual tersebut. Orang-orang dewasa memperkenalkan ritual, kemudian mereka mempelajari dan mencoba beradaptasi.
Nah, dari tiga tahapan di atas, kita dapat memahami (secara umum) asal muasal terbentuknya ritual keagamaan nelung, mituq, dan nyiwaq di masyarakat Sasak. Memang belum terlalu rinci ke sejarah peleburan—seperti yang disebutkan di awal. Namun, yang jelas, kita (sedikit tidak) mulai tahu bahwa konstruksi sosial merupakan salah satu indikator sebuah peradaban terus bertumbuh.
Hadi Hidayatullah, berkuliah di Program Studi Sosiologi Universitas Mataram. Dapat disapa melalui akun Instagram @_hadi_hidayatullah