Pernahkah kamu menemukan orang yang begitu percaya diri speak up di depan publik—seolah-olah ia tahu semua hal? Mungkin kamu pernah duduk nongkrong bersama teman- teman, dan menemukan hal semacam di atas. Merasa ada yang janggal, kamu pun segera googling hal-hal yang temanmu sedang jelaskan. Seketika kamu menemukan kekeliruan dari apa yang dijelaskannya. Kamu menatap temanmu, dan mendapati ia seperti sama sekali tidak sadar bahwa informasi tersebut keliru, tetapi ia begitu percaya diri sehingga segala yang disampaikannya tampak kuat. Padahal, sebenarnya ia sedang keliru menilai kemampuan dirinya. Nah, fenomena semacam itu disebut sebagai Dunning–Kruger Effect.
Dunning–Kruger Effect merupakan salah satu bias kognitif—kesalahan dalam berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi—yang dicetus oleh dua ahli psikologi: David Dunning dan Justin Kruger. Sebelum akhirnya menemukan efek ini, keduanya terpantik oleh satu kejadian unik kala itu, yakni:
Ada seseorang yang pergi merampok bank tanpa menutupi wajahnya dengan masker wajah, alih-alih melumuri wajahnya dengan air perasan lemon. Beberapa jam seteleah kejadian, ia tertangkap polisi karena wajahnya terekam kamera CCTV. Si perampok bingung, kenapa bisa wajahnya terekam CCTV padahal ia sudah melumuri wajahnya dengan air perasan lemon. Setelah ditelusuri, diketahuilah ternyata si perampok meyakini bahwa dengan melumuri wajah menggunakan air perasan lemon dapat membuat wajahnya tak terlihat di kamera. Keyakinan tersebut muncul dari fakta bahwa air perasan lemon memang bisa berfungsi sebagai tinta tak terlihat untuk menulis di kertas. Ketidaksadaran dalam dirinya bahwa ia telah salah menafsir informasi, serta adanya kepercayaan diri yang tinggi, membuat si perampok melakukan hal fatal.
Kejadian di atas akhirnya menjadi keran pembuka kasus-kasus lainnya yang serupa, yang akhirnya diteliti juga oleh David Dunning dan Justin Kruger. Dan, temuan mereka diberi nama Dunning–Kruger Effect—mengambil nama belakang mereka masing-masing. Secara umum, fenomena ini dapat kita lihat kronologinya sebagai berikut:
Ketika seseorang mempelajari sesuatu, dan ia merasa mengetahui hal yang sebelumnya tidak diketahui, ia akan merasa percaya diri. Sayangnya, berbekal pemahaman yang masih sedikit itu, ia tak segan-segan kemudian merasa diri sebanding dengan orang yang menekuni sesuatu tersebut—bahkan ahli di bidang itu. Semakin parah, ia selanjutnya akan berhenti (mencari/belajar) sampai di sana.
Yang menarik, ada fakta lanjutan bahwa jika proses belajar diteruskan, maka kepercayaan diri seseorang cenderung akan menurun seiring getolnya proses pembelajaran yang dilakukan. Semakin banyak hal yang dipelajari oleh seseorang, ia semakin merasa bahwa ternyata dirinya tidak mengetahui apa-apa. Kita di Indonesia pasti tak asing dengan pepatah, “Jadilah seperti padi, semakin bersi semakin merunduk.”
Saya pikir, setiap orang menolak untuk merasa bahwa dirinyalah yang paling payah dan tak berkemampuan apapun. Dan, karena ke-ego-an individu, bisa saja seseorang memalsukan perasaanya terhadap kemampuan yang sebenarnya dimiliki. Akibatnya, individu bisa saja mengabaikan kelemahannya dengan meningkatkan kepercayaandirinya. So, bukan tidak mungkin Dunning–Kruger Effect dapat merugikan diri sendiri—karena bersikap palsu—dan orang lain—karena penipuan publik.
Dunning–Kruger Effect ini bisa dialami oleh siapa saja, termasuk saya senidiri. Kejadian yang tak lumrah ini bisa saja menimbulkan masalah bagi diri kita sendiri; seperti cerita kejadian perampokan di atas, atau bisa saja menjadi biang kerok yang berkontribusi menimbulkan masalah di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu contoh Dunning–Kruger Effect yang merugikan orang lain: ketika warganet menyimak komentar—yang tampak “ilmiah”—dari seorang influencer atas pandemi Covid-19. Bagi yang kritis, maka akan segera mempertanyakan: apakah influencer itu punya kapasitas keilmuan/kepakaran untuk kita yakini komentarnya? Namun, bagi yang tidak/belum kritis, besar kemungkinan akan menelan mentah-mentah pendapat (yang belum teruji kebenarannya) tersebut.
Akhir kata, Umar bin Khatab pernah menyinggung tiga tahapan dalam menuntut ilmu, yakni (1) seseorang akan merasa sombong dengan pengetahuannya; (2) seorang akan merasa rendah hati ketika berproses; sampai akhirnya (3) seorang merasa pengetahuannya tidak ada apa-apanya.
Justru orang di tahapan ketiga tersebutlah yang giat terus berproses, dan ilmunya rutin bertambah. Pembahasan ringan ini tidak bertujuan untuk melebelkan siapa pun. Ini cukup jadi bahan untuk merefleksikan diri, kira-kira dalam hal belajar sesuatu posisi kita sekarang ada di mana, ya?
Kurniatul Aini, saat ini bekerja sebagai staf protokol salah satu universitas negeri di Lombok. Dapat disapa di akun Instagramnya: @niay.a