“Orang kaya memiliki TV kecil dan perpustakaan besar, dan orang miskin memiliki perpustakaan kecil dan TV besar.” Zig Ziglar (penulis Amerika Serikat 1926-2012).
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) meluncurkan data jumlah pengunjung: 1500 s.d. 3000 orang per bulan. Bagi mereka, jumlah itu sudah lumayan untuk mengindikasikan minat masyarakat mengembangkan diri melalui literasi. Sayangnya, rasio buku yang dapat dipinjam oleh pengunjung perpustakaan hanyala satu banding sembilan puluh. Artinya, setiap orang harus mengantre bersama delapan puluh sembilan orang lainnya sebelum bisa meminjam satu buku yang ingin dibacanya.
Rasio di atas tak jauh berbeda dari rasio pengunjung di perpustakaan-perpustakaan desa. Apakah aneka bacaan yang tersedia tak cukup jumlahnya? Padahal, idealnya, perpustakaan desa hadir untuk menjawab kebutuhan praktis masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosial maupun ekonomi. Kita bisa membayangkan, seandainya buku tata cara manajemen pasar dan distribusi barang tersedia di desa berpenduduk mayoritas petani kopi, maka buku-buku semacam itu pasti dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembaruan strategi penjualan para petani.
Pada 2019 lalu, hasil survei dari Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), menyebut tingkat literasi di Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Jika benar Indonesia seterpuruk itu dalam realitas literasi, maka dapat diduga persoalannya ada pada ketersediaan buku yang dapat dibaca, bukan pada minat.
Di sisi lain, buku menjadi salah satu modal utama yang mestinya dikelola negara untuk kepentingannya mendongkrak kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), sebagaimana yang dilakukan negara-negara maju. 2012 lalu, diketahui bahwa Jepang menerbitkan 40.000 judul buku per tahun, India 60.000 judul buku per tahun, pun Cina sekitar tak kalah banyaknya: 140.000 judul buku per tahun. Indonesia? Kita hanya berada di angka 18.000 judul per tahun; angka ini sangat kecil.
Dalam kenyataannya, sektor-sektor penting di bidang ekonomi dan politik global sekarang ini dikuasai oleh negara-negara yang konsisten menerbitkan buku lebih dari 40.000 per tahun. Apakah Indonesia tidak kepingin?
Sumber Daya Manusia (SDM)
Bicara efek—jangka panjang—membaca buku SDM Lombok terhadap kemampuan profesionalnya, mari menarik contoh ke salah satu event terbesar di Lombok tahun ini: MotoGP 2022. Pemerintah telah melakukan kontrak sepuluh tahun dengan Dorna Sports untuk mengadakan event-event olahraga bertaraf internasional di Indonesia, khususnya di Sirkuit Mandalika. Dengan adanya kontrak tersebut, diharapkan akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia dan mampu menyerap tenaga kerja lokal.
Seturut dengan itu, dalam rapat dengan Komisi X DPR RI Maret lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, sekitar 6.900 tenaga kerja terserap ke dalam sejumlah sektor usaha terkait dengan ajang MotoGP Mandalika 2022. Peningkatan ekonomi melalui pelebaran lapangan kerja di proyek panjang ini jelas berpotensi bagus. Terlebih lagi dampaknya di luar Sirkuit Mandalika yang menjalar hingga ke sektor dagang, akomodasi dan transportasi, hingga UMKM.
Namun selama periode MotoGP Mandalika 2022 berlangsung, banyak juga kelompok masyarakat yang melakukan protes karena tidak mendapatkan kesempatan bekerja di gelaran dunia itu. Perlu diketahui bahwa tidak terserapnya sejumlah kelompok tersebut tak hanya disebabkan oleh akses yang sempit, tetapi juga kemampuan/keahlian profesional mereka yang belum menjawab kebutuhan penyelenggara.
Bahkan di wilayah Sirkuit Mandalika sendiri, tenaga kerja lokal yang berpartisipasi paling banyak diposisikan pada tugas-tugas pelayanan kebersihan atau marshal. Betapa kecil presentase mereka yang menempati posisi profesional. Dalam gambaran kronologis ini, bisa dibaca, gerakan pemerintah dalam membuka lapangan kerja melalui proyek jangka panjang bersama Dorna Sports, tidak sejalan dengan persiapan yang dilakukan.
Kualitas SDM yang tersedia tidak sepenuhnya dapat menjawab kebutuhan proyek. Komposisi angkatan kerja di NTB pada Agustus 2021 terdiri dari 2,66 juta orang penduduk yang bekerja dan 82,50 ribu orang pengangguran. 6.900 tenaga kerja yang terserap selama periode MotoGP Mandalika 2022 seperti yang disebutkan Mentri Sandiaga, tentu masih jauh dari harapan. Dengan kondisi demikian, sungguh menyedihkan mendapati pemerintah—yang melalui pelatihan-pelatihan teknisnya—justru hanya beroerientasi pada penyerapan sementara.
Alih-alih melakukan hal itu sekadarnya, pemerintah mestinya kembali ke akar persoalan; yakni pada literasi—yakni kemampuan manusia membaca, memahami, serta mereproduksi teks. SDM mestinya lebih dari sekadar pekerja yang menjalankan perintah, melainkan juga sebagai individu yang dapat melakukan improvisasi kreatif berdasarkan kesadaran organik dengan semangat jangka panjang. Menggunakan kesadaran itu pula, mereka tidak hanya siap bekerja, pun juga bisa membuka lapangan kerja dengan memanfaatkan momen yang sedang berlangsung.
Kesadaran semacam itu tentu tak dibangun dalam waktu yang sebentar, dan tanpa kecakapan literasi. kecakapan literasi yang terjadi di lingkungan sosial, terutama pada skup lokal, masih berjalan tertatih-tatih. Perpustakaan, pun yang harusnya menjadi pusat pengembangan diri, terjebak dalam kondisi yang anomali.
Literasi adalah satu kasus penting yang berada di wilayah mendasar. Abainya pemerintah menjawab persoalan literasi, sama dengan menutup potensi terbentuknya SDM yang mensejahterahkan.
Pemerintah masih punya waktu cukup panjang sebelum kontrak berakhir untuk memperbaiki problem SDM dari hal-hal mendasar. Tidak benar rasanya melihat SDM lokal justru hanya menjadi orang asing di rumah sendiri dan tidak tersentuh dampak konkret dari bayangan kesejahteraan yang berada di dekat mereka.
Robbyan Abel Ramdhon, suka berkebun, memasak dan mendengarkan musik lofi.