Dewasa ini, membaca memang masih menjadi hobi yang “eksklusif”. Padahal, membaca bisa dilakukan siapa saja, dan manfaatnya pun sangat kaya. Di antaranya: mengasah imajinasi dan memperluas pengetahuan. Selain itu, ternyata ada manfaat lain dari kegiatan membaca—yang baru saya sadari beberapa waktu lalu.
Membaca novel, alih-alih buku nonfiksi berisikan teori-teori serius, misalnya, sangat membantu saya yang seringkali merasa diri antisosial ini. Pada mulanya, saya merasa membaca novel bukanlah sesuatu yang berbobot karena “hanya” fiksi—tidak berdasarkan pada kenyataan. Namun, setelah saya kulik ulang, saya keliru.
Novel merupakan salah satu hasil karya sastra. Menurut Plato, karya sastra merupakan hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan. Dengan kata lain, karya sastra harus merupakan peneladanan semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Berangkat dari situ, tidak mengherankan jika seringkali, saat membaca novel ada perasaan familiar atau terhubung dengan alur cerita dan bahkan terhadap sudut pandang tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut. Meskipun fiksi, jika merupakan cerminan dari kenyataan, maka sudah tentu tidak ada yang murni bersifat fiktif, kan?
Sejak menjadikan novel sebagai bahan skripsi, saya jadi terbawa-bawa terus untuk melakukan analisis terhadap novel tiap kali membaca. Yang menjadi fokus saya, sejak skripsian, adalah kondisi psikis atau emosi para tokoh dalam novel. Melalui para tokoh dalam novel tersebut, saya merasa seperti bertemu dengan berbagai jenis manusia. Selain membantu saya untuk memahami diri, saya pun jadi seperti dibuat awas terhadap kondisi orang lain. Dari situ, saya mulai lebih terbuka untuk belajar memahami dan berempati kepada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai seorang pengajar yang banyak berinteraksi dengan siswa, saya merasa lebih hidup ketika mampu memahami siswa saya. Sampai sekarang, saya masih sering terkejut sendiri kalau ternyata saya bisa, kok, seluwes itu berkomunikasi dengan orang asing. Meski setelah itu jadi tertutup lagi. Tidak hanya saat mengajar, ternyata saya pun telah lebih mampu untuk berbasa-basi dengan orang lain. Hal itu tetap mengejutkan bagi saya yang dulu selalu berpikiran bahwa orang asing tetaplah orang asing dan tidak terlalu perlu melakukan ramah-tamah.
Selain bisa menjadi lebih sociable, saya merasa membaca beragam novel membuat saya tidak mudah menjustifikasi orang lain hanya dari tampilan luar atau cara bicaranya. Membuat saya setuju dengan pepatah, “Dont judge a book by its cover”. Karena, kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik punggung seseorang, apa yang dipikul pundak seseorang, yang membuat dia berlaku atau bertindak atau berkata seperti yang kita lihat atau dengar secara kasat mata.
Akhir kata, membaca bukanlah hal yang berat dilakukan jika kita tahu ragam manfaatnya; terlebih jika kamu adalah orang yang sulit bersosialisasi. Nah, salah satu kiat yang bisa saya sarankan adalah: ayo membaca lebih banyak! Tokoh-tokoh dalam novel yang kamu baca bisa jadi mirip dengan orang-orang yang biasa kamu temui, sehingga kamu lebih bisa menyiapkan mental saat harus berhadapan dengan mereka.
Amira Amalia, penulis di blog pribadinya dan pengajar—yang ternyata lebih banyak belajar dari murid-muridnya sendiri. Dapat disapa di akun Instagramnya: @aamliaz