32.5 C
Mataram
Jumat, 22 November 2024
BerandaEsaiMengapa Perempuan Harus Berdaya Secara Ekonomi dan Politik?

Mengapa Perempuan Harus Berdaya Secara Ekonomi dan Politik?

Hari ini, perkembangan dan tuntutan zaman semakin pesat terlihat demi tercapainya pembangunan yang inklusif. Hampir di semua aspek kehidupan baik itu ekonomi, pendidikan, politik, dan lainnya mengalami perkembangan. Akan tetapi, tidak serta merta semua SDM lantas ikut menyesuaikan dalam perubahan dan perkembangan yang terjadi tersebut.

Terkhusus pada perempuan, terdapat beragam disparitas atau perbedaan hak, akses, bahkan kesempatan yang cukup kontras dibanding dengan laki-laki. Masalah perbedaan gender kemudian sering memposisikan perempuan sebagai korban sampai hari ini. Posisi perempuan sebagai korban ditunjukkan dalam beberapa kondisi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), pembatasan hak untuk mengenyam pendidikan, dan pelatihan atau workshop yang kurang substantif secara ekonomi masih ditujukan untuk perempuan.

Beragam kondisi di atas memperlihatkan bahwa perempuan sebagai pihak yang tidak diprioritaskan dalam pembangunan secara ekonomi, karena laki-lakilah yang dianggap lebih perlu dan berhak untuk unggul dalam urusan perekonomian. Anggapan-anggapan terkait perbedaan kepentingan perempuan dan laki-laki dalam bidang ekonomi ini masih diyakini oleh banyak kalangan, bahkan di negara maju sekalipun. Dalam beberapa budaya atau kultur masyarakat, laki-laki dianggap harus mendominasi hingga memunculkan ketidaksetaraan dan perbedaan pengalaman serta kesempatan antara perempuan dan laki-laki.

Keseluruhan masalah dan pengalaman perempuan dalam segala aspek kehidupan sangat berkaitan erat dengan kebijakan dan dinamika politik. Kurangnya perwakilan perempuan dalam politik kerap menjadi penyebab utama ketidakberdayaan perempuan secara sistemik. Akan tetapi, persoalan keterwakilan perempuan hanyalah sebagian permasalahan yang ada di hilir.

Penyebab awal minimnya keterwakilan perempuan dalam politik adalah masih menjamurnya stereotip yang melekat pada perempuan. Salah satu streotip yang kerap muncul berupa domestikasi, yang mengharuskan perempuan untuk berperan hanya pada ranah domestik saja atau pengiburumahtanggaan. Alhasil, terjadi bias dalam memilih seorang calon legislatif yang akhirnya lebih didominasi oleh laki-laki dibanding perempuan.

Tak hanya itu, beban ganda (peran ranah domestik dan publik sekaligus) yang selalu disematkan pada perempuan sedikit banyak menghambat potensi perempuan untuk menjadikan dirinya sebagai perwakilan daerah. Narasi yang mengharuskan perempuan untuk menyelesaikan urusan ranah domestik terlebih dahulu sebelum terjun ke ranah publik menjadi bukti bahwa ketidakadilan gender masih terjadi di masyarakat. Keyakinan tersebut sudah membudaya dan langgeng di masyarakat kita. Dengan demikian, kuota afirmasi 30 persen perempuan yang tidak tercapai akan mempengaruhi pemberdayaan untuk perempuan hampir secara keseluruhan.

Dilansir dari VOA Indonesia, Berdasarkan penelitian Pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina PhD, terdapat beberapa temuan. Pertama, Working Paper IMF (International Monetary Fund) tahun 2020 yang bertajuk ‘Gender Inequality and Economic Growth’ menyampaikan bahwa tingginya andil perempuan akan mempengaruhi pertumbuhan industri yang lebih cepat. Pertumbuhan ini akan dicapai hanya jika ketidakadilan gender dapat dihilangkan beserta adanya kondisi yang memposisikan perempuan dan laki-laki di posisi yang sama. Dengan demikian, agregat pendapatan ekonomi pun akan meningkat 6,6 persen dan 14,5 persen lebih tinggi dari kondisi awal setelah satu atau dua generasi.

Kedua, jika tingkat keadilan gender tinggi, semakin tinggi pula dukungan pertumbuhan ekonomi yang mengalokasikan tenaga kerja perempuan pada sektor produktif. Adanya partisipasi aktif akan membuat perempuan berdaya secara politik yang kemudian akan diikuti dengan berdaya secara ekonomi. Dapat dikatakan bahwa perempuan harus berdaya secara ekonomi dan politik, karena status berdaya tersebut menjadi indikator penting untuk kemajuan bangsa dan peradaban. Berdayanya perempuan dalam politik baik secara keterwakilan atau partisipasi aktif dalam memilih membuat kelompok perempuan turut berperan dalam merealisasikan pembangunan yang inklusif.

Demi menuju pembangunan yang lebih inklusif untuk setiap aspek kehidupan, pemangku kebijakan harus memiliki komitmen penuh pada upaya pengarusutamaan gender sesuai Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 demi mengeliminasi beragam ketidakadilan gender. Tak hanya itu, masyarakat juga berperan penting untuk menuntaskan permasalahan ketidakadilan gender yang dapat dimulai dari membuang stereotip-stereotip kontraproduktif pada perempuan agar memunculkan dukungan yang tidak bias. Jika dukungan penuh menyertai perempuan pada politik, akan berdampak positif pula pada isu pemberdayaan beserta deretan permasalahan yang selama ini dialami perempuan akibat ketidakadilan gender. lanjutnya, perwakilan perempuan juga akan terlibat dalam mendesain dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang responsif gender. Ruang-ruang pengambilan keputusan sudah seharusnya diisi dengan narasi keadilan gender, terkhusus oleh perempuan.

Dari uraian yang sudah dipaparkan, terlihat jelas bahwa urgensi dan kepentingan yang hari ini harus diupayakan adalah mendukung dan menormalisasi keterwakilan perempuan dalam politik. Lagi-lagi, perempuan harus berdaya secara ekonomi dan politik, karena setiap masalah yang dialami perempuan akan berdampak secara signifikan pada keseluruhan masyarakat. Apabila perempuan direpresentasikan dalam ruang politik, kebutuhan dan kepentingan perempuan dapat terpenuhi.

Tentu saja perwakilan perempuan yang akan “maju” harus memahami secara mendalam kompleksitas permasalahan perempuan yang terjadi hari ini, terkhusus di akar rumput. Sudah saatnya kita kembali saling bahu-membahu untuk mewujudkan pembangunan inklusif di segala aspek, terkhusus di sektor ekonomi politik—karena akan berpengaruh pada aspek-aspek kehidupan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, hingga hukum. Kondisi ekonomi politik yang sehat harus diupayakan melalui representasi yang suportif dan tidak bias, karena mendiskreditkan dan memberikan label negatif pada satu jenis kelamin merupakan tradisi dan budaya kolot yang sudah harus ditinggalkan.

 

Hilda Aulia Rahmi, Ketua Umum Satgas Anti Narkoba Sekolah NTB

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer