Minggu lalu saya pergi rekreasi ke Pantai Kerandangan. Seperti lokasi rekreasi pada umumnya, di sana ramai oleh pengunjung lainnya dan para pedagang—baik yang menetap di satu titik atau pun yang berpindah-pindah dengan bakul kecil di motor. Dari luasnya tempat itu, ternyata saya kesulitan menemukan titik yang bersih untuk diduduki.
Ada banyak sampah bertebaran di rumput-rumput; padahal hamparan rumput di sana cukup instagramable sebagai latar berfoto. Bukankah dengan hadirnya sampah-sampah justru menurunkan kadar ke-instagramable-annya? Saya sempat memotret sunset, dan mendapati hasil yang ironi: setengah ke atas dari potret tersebut sangatlah indah karena sinar matahari menciptakan siluet pepohonan kelapa dan waru yang estetis, sedangkan setengah ke bawah adalah rerumputan bertabur sampah wadah mi instan, plastik cilok, kotak mika rujak, gelas plastik kopi, plastik es kelapa muda, dll. Akhirnya yang saya upload di media sosial hanyalah bagian atasnya saja.
Saya pikir, masalah sampah di atas mungkin juga masih ada di banyak lokasi rekreasi atau ruang publik lainnya di Lombok. Bila berkaca pada Pantai Kerandangan tersebut, saya ingat bahwa di sana tong sampah memanglah tidak begitu banyak disediakan. Kalaupun tersedia, mereka hanya ada di dekat lokasi jualan sate bulayak; tidak tersebar di dekat rerumputan yang di sana juga banyak orang duduk-duduk—termasuk saya kala itu.
Mungkin orang-orang mempertimbangkan jarak antara tempat duduknya dan tong sampah yang tersedia, sehingga lebih memilih membiarkan sampahnya berserakan sembarangan alih-alih dibuang ke tong sampah. Memanglah itu bisa jadi salah satu faktor entengnya pengunjung membuang sampah sembarangan, dan dari sana pula kita bisa melihat satu solusi: sediakan tong sampah lebih banyak dan tersebar di beberapa titik sekitar pantai—tidak hanya di dekat titik makan sate bulayak.
Berpikir lebih jauh, solusi di atas rasanya tak cukup untuk membuat sampah-sampah hilang dari ruang publik. Sebab, bicara tong sampah, di ruang publik sekelas Taman Udayana—yang notabene menyediakan banyak tong sampah di beberapa titik—pun masih sering kita temukan sampah berceceran. Artinya, selain ketersediaan tong sampah, kesadaran pengunjung untuk tidak buang sampah sembarangan juga perlu ditingkatkan.
Berpikir bahwa, “Ah, nanti kan ada yang beresin sampah-sampah ini. Biarin sudah dibuang di sini!” tampaknya lumrah dalam benak kita karena setiap ruang publik—terutama di Kota Mataram—terdapat tim kebersihan (biasanya berompi kuning, ya?). Akan tetapi, apakah kita lantas bergantung sepenuhnya kepada mereka? Saya pikir idealnya tidak demikian.
Mengapa? Karena ada “sampah” yang bukan berasal dari manusia dan bukan tanggung jawab individu manusia, misalnya: dedaunan kering yang gugur dari pepohonan pinggir jalan, dan kotoran hewan liar—seperti burung, kucing, anjing. Hal-hal semacam itulah yang diurusi oleh tim kebersihan. Di luar itu semua, sampah yang dihasilkan oleh manusia—pengunjung atau pun pedagang—memang seharusnya menjadi tanggung jawab si pembuat sampah itu sendiri.
Kita belum (atau tidak sedang) mengkhawatirkan kesan pariwisata Lombok di mata dunia, melainkan mengoreksi kebersihan ruang publik di pulau sendiri demi kita sendiri sebagai penduduknya. Wisatawan luar negeri memang perlu dipikirkan kenyamanannya bila bertandang kemari, tapi kenyamanan kita sendiri juga tak kalah penting untuk dipikirkan. Dengan mengubah sudut pandang seperti itu, kita pun mengubah posisi diri kita terhadap pulau ini. Sebagai yang berdomisili di sini, kita berhak menikmati segala keindahan yang ada. Selanjutnya, jika ada hak, maka ada kewajiban, bukan?
Sejalan dengan hak tersebut, kita wajib menjaga keindahan setiap ruang publik yang kita kunjungi. Salah satu caranya adalah dengan tidak enteng buang sampah sembarangan. Bilamana di ruang publik yang kita kunjungi tak tersedia tong sampah, paksalah diri untuk simpan sampah itu sampai menemukan tong sampah terdekat. Memang terkesan berat, tapi efeknya akan sangat baik dalam jangka panjang. Meskipun, tentu saja, ketersediaan tong sampah yang cukup di setiap ruang publik tetap sangat diharapkan.
Dengan tersedianya tong sampah, ditambah dengan kesadaran tinggi pengunjung dan pedagang, idealnya ruang publik akan terbebas dari sampah yang berserakan sembarangan. Bisa kita bayangkan betapa menyebalkannya ketika kita: sudah siap berpose keren tapi tak sengaja menginjak genangan kuah mi instan yang dibuang sembarangan bersama wadahnya; atau tak sengaja menginjak plastik bekas cilok sehingga sausnya muncrat ke kaki ketika jalan-jalan dengan gebetan; atau sulit menemukan tempat menggelar tikar untuk piknik estetis hanya karena sampah bertebaran sepanjang penglihatan.
2022
Ilda Karwayu; menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram. Sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI). Bisa disapa melalui akun instagramnya: @ildakarwayu.